Satu di antara dua matahari

Dimuat dI Teras Utama Padang Ekspres 2 Desember 2006

Menjelang Pemilu 2009 banyak bermunculan partai baru. Salah satu partai yang cukup mendapat perhatian adalah Partai Matahari Bangsa (PMB). Kemunculan partai ini menarik untuk disimak karena keberadaan partai ini merupakan inisiatif kader muda Muhammadiyah yang mengklaim bahwa PMB adalah partai resmi warga Muhammadiyah. Sementara secara de facto Muhammadiyah adalah basis pendukung Partai Amanat Nasional (PAN) yang saat ini dipimpin Soetrisno Bachir. Bagaimana bisa terjadi dualisme “matahari” dalam arus politik warga Muhammadiyah ?

Akumulasi kekecewaaan

Bermunculannya partai partai baru merupakan gejala politik yang biasa dalam proses demokratisasi. Partai baru itu ada yang tidak benar benar baru alias tukar nama karena partai sebelumnya tidak lolos electoral treshold dan ada juga partai yang benar benar baru meskipun sempalan dari partai yang telah ada sebelumnya.

Biasanya partai ini lahir karena akumulasi kekecewaan massa atau kader partai terhadap partai mereka sebelumnya. Fenomena ini bukanlah barang baru, sebut saja PDP yang lahir karena kekecewaan terhadap kepemimpinan Megawati di PDI-P. Kemudian PKNU yang lahir karena kecewa terhadap perpecahan di tubuh PKB. Begitu juga lahirnya PMB adalah karena kecewa terhadap PAN yang dirasa tidak mampu memperjuangkan aspirasi mereka

Setidaknya ada dua persoalan yang melatari kekecewaan tersebut., pertama pandangan mereka terhadap kinerja Partai yang diwujudkan angggota legislatif, kedua menyangkut aspirasi massa pemilih yang cenderung terpinggirkan. Sepertinya alasan kedua yang lebih dominan terhadap munculnya PMB.

Seperti yang dikemukakan Ketua Umum PMB Imam Daruqutni, PAN yang nota bene dilahirkan Muhammadiyah, dirasa banyak mengabaikan kepentingan warga Muhammadiyah. Dalam kepengurusan, warga Muhammadiyah mulai tersisihkan oleh orang orang yang bukan Muhammadiyah (free rider). Kalau dicermati memang kepengurusan PAN sepi dari alumni IMM yang merupakan lumbung kader Muda Muhammadiyah dan malah lebih banyak dihuni alumni HMI.

Kemudian minimnya perolehan suara PAN pada Pemilu 1999 dan 2004 dianggap karena PAN tidak menggunakan asas Islam sebagai landasan perjuangannya. Hal inilah yang banyak dikatakan sebagai faktor penyebab banyaknya suara warga Muhammadiyah yang lari. Mereka menganggap bahwa asas merupakan faktor fundamental bagi kesuksesan sebuah partai. Hal inilah yang barangkali mendasari PMB mengusung asas Islam sebagai landasan ideologi politiknya.

Pilihan baru

Menyimak perjalanan hubungan PAN dan Muhammadiyah, PAN hanya memperoleh suara maksimal 7% atau sekitar 7 juta suara bila dibandingkan jumlah anggota Muhammadiyah yang 30 juta orang tersebut. Realita seperti ini setidaknya menimbulkan ketidak puasan warga Muhammadiyah terhadap kendaraan politik mereka selama ini. Dalam bahasa lain hasrat politik warga Muhammadiyah tidak bisa tersalurkan sepenuhnya oleh PAN sejauh ini sehingga partai baru adalah salah satu pilihan yang logis.

Adanya dua partai yang sama sama mengklaim sebagai partainya Muhammadiyah ini sesungguhnya tidak akan membawa dampak langsung bagi Muhammadiyah. Sebagai lembaga sosial, Muhammadiyah sudah mempertegas dirinya tidak akan masuk ke wilayah politik praktis. Seperti yang dikatakan Din Syamsudin, Muhammadiyah adalah milik semua Parpol yang memperjuangkan misi Muhammadiyah.

Yang paling berpengaruh dengan kelahiran PMB tentu saja PAN yang memang kepengurusannya di daerah kental dengan nuansa Muhammadiyah. Karena memang di arus bawah, sebagian besar cabang dan ranting PAN didirikan atas inisiatif warga Muhammadiyah. Meskipun tidak ada hubungan struktural antara PAN dan Muhammadiyah, di antara keduanya kerap kali terjadi hubungan sinergis. Seringkali para aktivis PAN meminjam fasilitas Muhammadiyah untuk melakukan aktivitasnya. Hal ini bukan karena PAN-nya, tetapi karena memang orang yang berada di dalam dua organisasi tersebut itu-itu juga.

Dengan kelahiran PMB yang dimotori kader muda Muhammadiyah maka dominasi PAN terhadap warga Muhamadiyah terutama dikantong2 muhammadiyah seperti di Sumbar diprediksi akan berakhir. Kelompok ataupun pihak yang selama ini merasa terabaikan oleh PAN tentu saja memperoleh pilihan baru dalam menyalurkan aspirasi politiknya.

Kemelut PAN Sumbar

Di Sumbar sendiri gaung PMB telah cukup santer terdengar jauh sebelum partai ini dikenal publik. Tidaklah mengherankan karena PAN adalah salah satu partai paling berpengaruh di propinsi yang mayoritas masyarakatnya adalah warga Muhammadiyah.

Terlebih di Sumatera barat dinamika konflik antara Muhammadiyah dan PAN intensitasnya cukup tinggi. Pada Pilgub lalu misalnya calon Gubernur yang di sodorkan warga Muhammadiyah tidak mampu diakomodasi oleh PAN sehingga akhirnya calon aspirasi Muhammadiyah itu di usung oleh Parpol lain. Kasus ini merupakan preseden teramat buruk bagi PAN Sumbar. Saat dimana PAN mengkhianati basis massa yang merupakan “ibu” bagi PAN itu sendiri.

Fenomena suara terbanyak yang diusung oleh PAN di Pemilu 2004 lalu juga menyisakan banyak masalah. Mekanisme suara terbanyak yang awalnya di puji banyak pihak karena sangat demokratis ternyata telah menjadi bom waktu. Banyak masalah yang belum terselesaikan contoh nya di Kab. 50 kota, yang mendapat suara terbanyak sampai sekarang belum duduk di kursi legislatif.

Kekecewaan demi kekecewaan yang dialami oleh massa dan simpatisan PAN di Sumbar sepertinya akan menjadi amunisi politik bagi PMB untuk menarik dukungan warga Muhammadiyah di Sumbar.

Oleh karena itu mencermati dinamika politik Indonesia dan Sumbar khususnya kedepan akan amat menarik.. Menyimak kata- kata Ahmad Dani “tidak boleh ada dua matahari dalam satu keluarga” begitu pula bagi warga Muhammadiyah yang dihadapkan pada pilihan dua matahari, apakah memilih matahari biru ataukah lebih senang memilih matahari merah ? Sejarah akan memberikan jawabannya.

Dunia lain yang bernama kemiskinan

link

Sepertinya kemiskinan masih menjadi topik yang amat menarik untuk dibicarakan dan dikunyah-kunyah. Bukan saja karena banyaknya opini berbagai kalangan mengenai cara memberantas kemiskinan di media massa namun juga karena adanya “pengakuan” Pemerintah bahwa Indonesia dan Sumbar khususnya memang miskin dan untuk itu perlu merencanakan program pengentasan kemiskinan berbasis nagari.

Secara SDA Sumbar memang tidak menonjol dibanding daerah lain begitu pula SDM yang semakin melorot dari waktu kewaktu. Namun kali ini kita tidak akan membicarakan mengenai konsep pengentasan kemiskinan terkait dengan SDA namun kita akan melihat sebuah dunia lain yang bernama kemiskinan

Dunia yang datar

“Dunia itu datar,” tulis Thomas Friedman dalam bukunya The World is Flat, A Brief History of The Globalized World in The 21st Century. Ungkapan tersebut menggambarkan, bagaimana dunia saat ini sudah begitu terintegrasi. Dengan globalisasi beserta kemajuan telekomunikasi, dunia telah menjadi “satu lapangan permainan”.

Bagi Friedman, dunia yang datar merupakan berkah bagi kehidupan manusia. Dalam bidang ekonomi, China dan India telah menikmati berkah tersebut melalui berbagai macam outsourcing pekerjaan dari Amerika Serikat dan Jepang. Hasilnya, pekerja di China dan India memperoleh upah lebih tinggi dibandingkan sebelumnya dan tentu saja: proses pembelajaran. Sesuatu yang mustahil terjadi tanpa adanya internet dan berbagai piranti lunak (software) yang menghilangkan kendala jarak dan batas-batas negara.

Secara sosial-politik, dunia yang datar menghancurkan monopoli informasi oleh para elite dan penguasa otoriter. Ini melahirkan relasi yang lebih egaliter karena masyarakat secara luas mampu mengakses informasi melalui internet, televisi, dan berbagai kemajuan telekomunikasi lainnya.

Namun kalau ditilik di Indonesia terdapat kesenjangan antara si kaya dan miskin dalam mengakses permainan global. Terjadi dua dikotomi antara orang kaya yang bebas dan menikmati permainan global tersebut serta kaum miskin yang mayoritas yang larut dalam kubangan kemiskinan.

Menurut Friedman globalisasi saat ini adalah yang ketiga. Globalisasi yang pertama antara tahun 1492—1800. Inti dari fase ini adalah pertarungan antarnegara dalam kompetisi global. Globalisasi tahap kedua yang terjadi antara tahun 1800—2000 merupakan kompetisi antarperusahaan.

Globalisasi yang terjadi saat ini menempatkan individu sebagai aktor utama untuk melipatgandakan keuntungan di level global. Terdapat kesempatan yang lebih besar bagi setiap individu untuk ikut bermain dari manapun mereka berasal. Tidak ada lagi monopoli bangsa tertentu melainkan semua individu dari bangsa manapun berhak memperoleh kesempatan sama dalam permainan global ini.

Dunia yang datar memang mendatangkan perubahan yang luar biasa bagi kesempatan berusaha namun sepertinya masih menyisakan dikotomi antara kaya dan miskin. Kaum miskin -secara alamiah- sulit memanfaatkan kemajuan ekonomi dan teknologi informasi. Mereka tak punya sumber daya untuk mengakses internet, menafsirkan informasi secara memadai andai mereka mampu memperolehnya, dan bersaing dalam berbagai kesempatan yang tersedia dari globalisasi. Hambatan struktural ini membuat kaum miskin seperti hidup terasing dalam gegap gempita kemajuan.

Dalam banyak hal kebebasan informasi telah memperlebar kesenjangan ekonomi. Masyarakat yang memiliki akses terhadap tekonologi informasi setiap detik bisa memantau informasi dan perkembangan dunia lain. Sementara itu masyarakat miskin tetap buta informasi sehingga mereka tetap menjadi kaum yang termarjinalkan.

Dunia yang datar, dengan demikian telah memberikan kesempatan yang lebih egaliter antara kelas atas dengan kelas menengah. Juga antarbangsa, antara negara maju dengan negara berkembang. Namun, kaum miskin sebagai individu-individu tetap terkucil dilindas kemajuan jaman.



Isolasi Kaum Miskin


Sesungguhnya kaum miskin menghadapi tiga jenis isolasi sekaligus. Ini membuat mereka tidak bisa mengambil peran, dalam dunia yang seterbuka apapun.

Pertama, adalah isolasi ekonomi. Kaum miskin tidak punya kemampuan untuk ikut dalam proses produksi, baik sebagai pengusaha, pemilik modal, pemilik tanah, bahkan pekerja. Akibatnya, mereka juga tidak memiliki daya beli memadai untuk konsumsi. Globalisasi dan kemajuan teknologi informasi bahkan makin membuat mereka susah mengikuti ritme perubahan dalam perekonomian.

Kedua, isolasi politik. Bahkan dalam sistem yang paling demokratis dan terdesentralisasi sekalipun, kaum miskin tetap terisolasi dari sistem politik. Kontrak politik baru yang terjadi pascareformasi politik 1998 praktis hanya terjadi antara elite dengan kelas menengah atau dalam relasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Akibat isolasi politik ini, kebijakan publik tidak mampu menolong ”kekalahan” kaum miskin di pasar.

Ketiga, isolasi pendidikan yang melengkapi penderitaan kaum miskin akibat isolasi ekonomi dan isolasi politik. Anak keluarga kaum miskin tidak mendapat akses memperoleh pendidikan yang layak. Terjadilah reproduksi kemiskinan. Ketika berlangsung kemajuan luar biasa dalam metode pendidikan dan hasil-hasil riset dari berbagai penjuru dunia dapat diakses dengan mudah di situs-situs internet, kaum miskin hanya menjadi penonton setia.

Berkaitan dengan ketiga isolasi tersebut, pemerintah Indonesia dan Sumbar khususnya harus mampu melaksanakan dua kebijakan secara pararel. Pertama, memfasilitasi dan mendorong kemampuan berkompetisi individu dan pelaku usaha Indonesia di ”lapangan permainan” dunia yang datar. Kedua, berpihak kepada kaum miskin dengan menempatkan mereka sebagai prioritas dalam pengambilan kebijakan. Tidak mudah untuk melakukannya, tetapi untuk itulah pemerintah ada.

Kemiskinan salah siapa ?

Teras Utama Padang Ekspres 15/8/2006

*************************************
Beberapa waktu lalu, kita dikagetkan oleh berita yang cukup mengharukan. Pemerintah kota Padang melakukan razia terhadap pengemis dan anak jalanan di sepanjang kota Padang. Razia seperti ini sudah berulang kali dilakukan namun sepertinya angka pengemis dan anak jalanan terus bertambah sehingga cukup jadi alasan buat pemerintah untuk memberantas mereka

Mengapa angka jumlah pengemis dan anak jalanan terus bertambah? Berbagai wacana bisa diungkapkan untuk menjawab pertanyaan ini. Tetapi, dari sekian banyak jawaban, yang jelas pengemis dan anak jalanan senantiasa datang dan bermunculan dari daerah-daerah miskin. Di mana ada kemiskinan, di situ ada pengemis dan anak jalanan.

Mengapa di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini masih ada penduduk yang memilih melanjutkan hidup dengan cara mengemis maupun menjadi anak jalanan? Padahal, jika kita perhatikan isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Di situ terbaca dengan jelas, bahwa di antara tujuan kemerdekaan adalah untuk kesejahteraan umum yang didasarkan pada, antara lain, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Begitu UUD 1945 Pasal 34 ayat (1) juga disebutkan: fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Lantas, mengapa negara tak mampu menjalankan tugas yang sudah diembannya sejak tahun 1945, ketika UUD 1945 pertama kali disusun?

Sebenarnya, negeri bukan tidak mampu. Bumi pertiwi yang kita diami ini menyimpan kekayaan alam yang luar biasa. Mengapa rakyatnya tetap miskin, karena negeri ini, lebih banyak diurus oleh orang-orang yang serakah. Karena keserakahan para pejabatnya, negara lalai dengan tugas pokoknya: menyejahterakan rakyat.

Kekayaan alam yang melimpah ruah itu dikuras, diekploitasi, untuk memperkaya diri sendiri. Padahal, sekali lagi, dalam UUD 1945, Pasal 33 ayat (3) tertulis dengan jelas bahwa “bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebenar-besar kemakmuran rakyat.”

Kondisi anak Indonesia, data terakhir menunjukkan, kesehatannya tergolong rendah dibandingkan negara-negara ASEAN lain seperti Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam, dan Vietnam. Itulah kenyataan yang harus kita terima. Dalam laporan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang dikeluarkan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Development Program), peringkat Indonesia terus merosot.

Kita tahu, faktor terpenting yang menentukan peringkat itu adalah menyangkut kesejahteraan ekonomi. Kemiskinan di negeri ini bukan hanya di Sumatera Barat. Kemiskinan sudah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya di desa-desa, tapi juga di kota-kota. Bahkan kemiskinan di kota lebih parah daripada kemiskinan di desa. Karena di desa meskipun miskin biasanya masih punya rumah. Kalau rumah tidak ada pun udara masih bersih, air relatif bersih, daun Perancih di pagar-pagar rumah dan pekarangan masih ada ada untuk direbus dan dijadikan lauk.

Tapi kalau kota, dari pemukimannya saja dianggap tidak legal, kegiatan ekonomi juga informal. Air bersih harus dibeli, udara kotor, tempatnya desak-desakan. Pekerjaan orang-orang miskin itu, di hampir semua peraturan pemerintah kota dianggap tidak legal, karena dianggap mengusik ketertiban, mengganggu keamanan dan keindahan.

Padahal mereka tidak bodoh. Kalaupun bodoh, tentu bukan karena mereka lahir terus bodoh. Tetapi ada satu sistem pengaturan yang membuat mereka tidak bisa menyerap pendidikan yang baik untuk dirinya. Ada satu struktur atau satu sistem yang membuat sekian banyak orang menjadi secara ekonomi terpinggirkan, secara politik juga terpinggirkan.

Padahal, sumber kekayaan alam kita begitu kaya. Tapi ada di tangan sedikit orang dengan didukung peraturan yang timpang. Inilah yang semakin memperkokoh kemiskinan struktural. Hak dan kewenangan untuk membuat kebijakan hanya ada di tangan sedikit orang, dan tujuannya untuk kepentingan dirinya bukan pada kepentingan mayoritas rakyat.

Dari turun-temurun, sudah berlangsung beberapa abad, ada komunitas yang memiliki hukum adat dalam mengelola kekayaan alam. Tiba-tiba ada kebijakan dari Pemerintah menyatakan hak pengusahaannya ada di perusahaan yang dimiliki sedikit orang. Maka, hutan yang luasnya ratusan ribu hektar, begitu gampang dikuasai sekelompok orang, dirampas dari komunitas masyarakat. negeri yang kaya, gagal menjalankan tugasnya karena ulah para pejabatnya yang tak becus memimpin. Negeri ini menjadi terpuruk seperti sekarang.

Untuk itu, dibutuhkan orang yang bersih menjadi pemimpin. Tapi, para pemimpin yang bersih banyak yang tidak mau karena melihat tidak mungkin kebobrokan ini bisa diberesi. Kalaupun mau, rakyat tidak memilihnya. Deraan kemiskinan dan kesulitan mencari uang yang halal membuat rakyat bersikap pragmatis dalam meniti kehidupannya, termasuk dalam memilih Presiden,Gubernur, Bupati ataupun Walikota. Yang menjadi pertimbangan rakyat dalam memilih mereka bukan karena bersihnya, tapi karena penampilannya, karena janji-janjinya untuk menyediakan kebutuhan hidup yang dihadapi rakyat sehari-hari.

Siapa pun yang menginginkan negeri ini jauh dari malapetaka kemiskinan. harus ikut bahu membahu memberantas korupsi, membersihkan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat sekitarnya, dari penyekit-penyakit kotor yang menyengsarakan rakyat. Para pejabat negara, dari Presiden, Gubernur hingga Wali Nagari harus diingatkan bahwa tugas pokoknya adalah menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya bukan memburu dan merazia masyarakat miskin dan melarat. Keserakahan penguasa, sebagian pengusaha, dan mungkin juga diri kitalah yang membuat sebagian besar rakyat semakin melarat, dan tak berdaya dalam kemiskinan.

Risaulai II

…………..

Daun kering itu perlahan jatuh ke tanah lembab
Tanah bau bangkai dan pesing tikus tikus kemanusiaan
yang penuh rongga rongga kosong
yang ditinggalkan hati kematian nurani

berharap tanah mendatangkan jutaan makhluk kecil
mengunyah tubuh pertanda tamatnya riwayat
tinggallah dunia tinggallah penderitaan
habislah sudah prahara duka nestapa

sang penyair mendadak terisak gundah gulana
kemudian terdiam seperti arca menatap hampa
betapa bodohnya manusia
jika hidup hanya untuk menderita

tidak..jangan pernah menggugat Dia yang Maha Pencipta
teriak ulama penuh wibawa

“percayalah Dia hanya menguji kita "

ah..Dia Maha Tahu buat apa menguji kita

"kalau begitu kita diciptakan untuk menyembahNya.."
sontak sang ulama mendongak pongah
mendongakkan kepalanya seakan tahu segalanya

Ah.. apa ubahnya Dia dengan penguasa Negara
Tirani yang haus disembah menari nari diatas kepala
Menyimpan nurani dan menguncinya hingga angin pun tak punya kuasa

Tidak..itu bukan Dia
Dia tidak selemah itu hingga butuh sembahan

Ulama terdiam membisu , penyair makin lara didera penyesalan dan air mata
Menangisi hidup yang entah buat apa
Separo hidup habis mengejar harta
Namun harta tak kunjung membahagiakannya

Sekilas ulama tersenyum simpul
Dengan mata teduh dia membuka sorbannya
Mengusap peluhnya dia berkata,
“Kesalahan ada pada dia yang telah melakukan dosa
Memakan buah larangan dan hukumannya adalah dunia”

Penyair mendadak terjaga
ya..itu dia..dialah penyebab segala derita
Yang tergoda rayuan wanita
Yang diusir dari kemewahan dan kemuliaan sorga

Sudah..semua kesalahan timpakan saja pada dia
Habis perkara..

Penyair melonjak kegirangan
Pertanyaan terjawablah sudah
Tiada lagi penyesalan dendam dan amarah
Derita hanyalah warisan

Sesaat penyair kembali terpaku dan terdiam
Bayangan kegembiraan sirnalah sudah
Berganti kegelapan yang makin pekat

Jika derita ini adalah warisan
Sanggupkah mempertanyakan keadilan ?

Hadapi dengan senyuman

ihadapi dengan senyuman
semua yang terjadi biar terjadi
hadapi dengan tenang jiwa
semua kan baik-baik saja

bila ketetapan Tuhan
sudah ditetapkan, tetaplah sudah
tak ada yang bisa merubah
dan takkan bisa berubah (dewa 19 )

hidup ini ujian, begitu kata ulama
hidup adalah taman bermain, begitu kata pujangga
benar, begitulah hidup, selalu punya dua sisi
sisi sisi yang saling mengisi
satu mengisi lainnya agar keseimbangan tetap terjaga

kemaren kita bermain di pesisir pantai
menikmati desiran angin menyapu kulit
berlarian dikejar ombak
luapan gembira memaku impian setegar karang
sedalam samudera

tapi ketahuilah kekasih..satu saat pasirpun bisa melukaimu
karang tajam sanggup mengoyak impianmu
ombak lihai menyaru jadi gelombang,
menghapus garis pantai dan garis keturunan,
saat dimana teriakan kesenangan berubah jadi nyanyian duka

Kalau hidup adalah Taman bermain
kita adalah pengisi taman itu
larut bermain dan kadang terluka
Lalu merengek kesana, ada juga yang bermerah muka
Kepada Dia yang sampai sekarang masih memperhatikan disana

Namun ketahuilah kekasih
Aku dan kamu tidak tahu, benar benar tidak tahu
Sedetik kedepan adalah misteri
secerah mentari pagi, atau..
Sekelam guratan takdir yang akan kita jalani,

relakanlah saja ini
bahwa semua yang terbaik
terbaik untuk kita semua
menyerahlah untuk menang

Kaulah mendung dan matahariku

Enam tahun lalu di kota itu
Sandal jepit jadi saksi awal perkenalanku dengan mu
Makhluk manis ganti kulit
Semburan air terjun membuat mataku menyipit
Itu gunung dan bukan bukit !


Kisah berlanjut di malam minggu
Saat melamarmu jadi permaisuriku
Layaknya orang gagu
Kau pun langsung mencium pipiku..

Sejak itu aku tersadar
Hidupku pun makin berbinar
Kau menjadi bunga hatiku
Penyemarak nyanyian kalbu


Kisah kita bukan pasaran
beda dengan kebanyakan
Kita jadi petualang
Hingga sampai ke kaliurang

Dingin malam bukan halangan
Motor butut jadi tunggangan
Engkau duduk teramat manis
Duh indahnya parang tritis

Kebersamaan bukan tanpa halangan
Banyak batu jadi rintangan
Kita dihantam badai larangan
Cinta tetap dalam genggaman

Kisah berlanjut ke metropolitan
Kau dan aku jadi gelandangan
Makan susah apalagi kemewahan
Kita tetap bergandengan tangan

Kau bukan wanita sembarangan
Hatimu sebening mutiara
Senyummu sungguh amat menawan
Aku girang tak terkira

Tak terasa bulan depan
Tepatnya tanggal sembilan
Moga Tuhan berketetapan
Aku dan engkau dipersatukan

Saat ini aku merasakan
Perasaan yang amat dalam
Sungguh aku merasa terharu
Kaulah mendung dan matahariku

Aku berjanji pada alam
Tak akan menyianyiakan
Anugerah indah ciptaan Tuhan
Kaulah bidadari impian

Jakarta 23 Juni 2006 : 15.00 WIB

Peranjat

mudahnya jadi pemimpi
Ditopang rasa pongah dan sedikit goresan
Mengandalkan keberuntungan maka semua akan tercipta bagiku

Ah dunia memang bulat dan berputar
Keberuntungan takkan selamanya mengiringi
Sedikit lecutan membuat tersadar
Ternyata aku hanya pecundang

Risaulai

Deraan itu menerpa lagi
Seakan tak kunjung usai
menikam hulu hati
aku kembali terkulai

Jika gelap pertanda pagi akan kembali
Bukan begitu nasibku
masih saja terseok seok menapaki jalan itu
Tak kuasa menyesali diri

Tanjakan semakin terjal
Keputus asaan terus menggerogoti
Akan kemanakah langkah ini mengantarku ?

Lorong itu semakin kelam
Aku menggigil kedinginan
Dekapan kasih Ibu melintas angan
Pernah kah kau merasakan ?

Kini Ibu tak mengenal dirinya lagi
Apalagi mengulurkan tangan lembutnya padaku
Kini aku sendiri tak ada waktu untuk berhibur diri
musti terus melangkah hingga habis waktuku

laksana daun kering menghempas bumi,
Menjemput nasibnya dimakan tanah
Seperti itu jugalah diriku kini

Minangkabau antara romantika dan perubahan

dimuat di opini Padang Ekspres
****************************

“Panakiak pisang sirauik, ambiak galah batang lintabuang, selodang jadikan niru, nan satitiak jadikan lauik, nan sakapa jadikan gunuang, alam takambang jadi guru”. Pepatah diatas merupakan cerminan pola pikir Minangkabau yang sangat mendasar dan bersifat terbuka terhadap semua pandangan, pendapat, agama yang memperkaya adat dan budaya. Sebuah falsafah social kemasyarakatan yang lahir dari budaya yang egaliter.

Belajar kepada alam adalah kata bijak yang selalu di dengung dengungkan dari generasi ke generasi Minangkabau. Dengan begitu Orang Minangkabau selalu memiliki pikiran yang terbuka serta mampu mengikuti perkembangan dunia yang terus berjalan secara linear. Hal ini juga terkandung kedalam pepatah Minang yang lain “ sakali ayia lalu sakali tapian barubah “ yang semakin mengokohkan masyarakat Minangkabau untuk bertekad selalu menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada,tentunya melalui proses penyaringan demi kesempurnaan adat dan limbago.

Kedalaman makna filosofi yang dikandung pepatah Minangkabau diatas sungguh sangat dirasakan oleh masyarakat Minang beberapa generasi lalu. Perombakan budaya dan adat besar besaran yang paling menentukan dalam Minangkabau mungkin adalah ketika terjadinya perang saudara antara kaum ulama pembaharu dengan kaum tua adat yang akhirnya berdamai di Bukit Marapalam.

Kedinamisan itupun berlanjut ke jaman perjuangan kemerdekaan dimana satu persatu tokoh Minangkabau muncul menjadi kaum intelektual yang mendorong lahirnya republic ini. Tak dapat disangkal saat itu suku minangkabau dikenal sebagai Gudangnya intelektual.

Bagaimana dengan Minangkabau saat ini ? Tampaknya pepatah yang mencerminkan perubahan yang dinamis tersebut semakin kehilangan rohnya. Dapat dilihat dengan tiadanya perubahan yang cukup berarti dalam khasanah kehidupan masyarakat. Sangat jarang Orang Minang masuk kedalam jajaran elite baik di pemerintahan ataupun pimpinan politik. Lalu apakah penyebab penurunan kualitas intelektual ini ?

Banyak ahli sejarah dan tokoh masyarakat berpendapat asal muasal kemunduran Minangkabau dari pentas nasional adalah dikarenakan kekalahan dalam pemberontakan PRRI silam. Akibat dari kekalahan itu sungguh luar biasa. Orang Minang kehilangan harga dirinya dan berlaku sebagai orang yang takluk (audrey Kahn).

Namun seiring perjalanan waktu sepertinya faktor Minang yang takluk itu musti dipertanyakan lagi. Masyarakat Minangkabau sudah kembali ke pemerintahan nagari sejak 6 tahun lalu begitupun otonomi daerah yang merupakan tujuan semula perjuangan PRRI telah dirasakan bersama..

Kalau memang sistem social dan politik masyarakat Minang sudah pulih seperti sebelum jaman pergolakan lalu kenapa respon masyarakat terhadap perubahan tidak seperti yang diharapkan ? Masyarakat Minang seolah olah tidak siap kembali ke zaman ber nagari. Banyak kalangan berpendapat hal itu disebabkan oleh “ketaklukan” terhadap masa lalu yang cukup lama ditanggung masyarakat sedangkan kalangan lain menganggap karena tidak adanya “user manual” mengenai kembali ke nagari tersebut.

Terlepas dari segala macam teori yang berkembang masyarakat Minangkabau memang sedang mengalami “muno” tidak mau tahu dengan perkembangan dinamika yang ada. Mereka seolah olah larut dengan budaya barat serta mengalami kejumudan yang berlebihan dengan membangga banggakan diri sendiri terkait dengan romantisme masa lalu.

Lantas bagaimana menyikapi problematika psikis masyarakat tersebut ? Sesungguhnya problem yang mendasar ini dialami oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari anak nagari, tokoh masyarakat, tokoh agama bahkan jajaran pemerintah. Boleh dikatakan tidak ada ide-ide brilian yang muncul dari pemerintah untuk kembali memajukan taraf hidup masyarakat apakah itu melalui pendidikan, ekonomi maupun khasanah budaya.

Pemerintah sebagai penanggung jawab pembangunan dan perubahan selalu memperlihatkan pemikiran yang standar . Padahal sesungguhnya yang dibutuhkan adalah pemikiran yang benar-benar baru diluar mainstream yang ada untuk mendobrak kebiasan lama penyebab kemunduran semangat perjuangan masyarakat, meskipun itu akan menentang arus. Semboyan “sakali ayia lalu sekali tapian barubah”, musti di masyarakatkan lagi. Ketika pembangunan harus merubah tatanan masyarakat atau budaya yang telah ada sebelumnya pemerintah mau tidak mau musti menjalankannya karena kodrat dari kebudayaan dan norma masyarakat adalah perubahan itu sendiri.

Sesungguhnya kita tidak perlu dulu memperdebatkan pola pendidikan apa yang cocok atau sistem apa yang baik bagi Sumbar saat ini. Sistem yang sempurnapun akan tidak berfungsi jika digerogoti oleh pihak yang menegakkan system tersebut.Yang perlu kita lakukan secepatnya adalah membangkitkan kembali “spirit” untuk menjadi yang terbaik dan berani menerima perubahan baik itu cara berfikir,berbudaya, bergaul, mengelola sumber daya/keelokan negeri dan yang terpenting objektif dalam menilai dan memahami diri sendiri.

Sejenak kita lupakan dulu kegemilangan masa silam, Kesalahan lain yang telah mendarah daging adalah kita terperangkap kedalam mitos mitos bahwa suku Minangkabau adalah suku yang hebat dan paling egaliter di Indonesia. Kita selalu terperangkap kedalam romantisme masa lalu ketika jaman Hatta, Natsir, Agus Salim, Tan Malaka menjadi tokoh yang turut membidani bangsa ini. Sehingga julukan orang minangkabau pun bertambah dengan “orang yang suka membicarakan kehebatan diri sendiri”.

Kita juga selalu membicarakan kekayaan alam yang cukup melimpah, obyek wisata alam yang sangat indah bahkan melebihi Bali. Itu tidak salah namun faktanya kita belum bisa menanfaatkan kelebihan alam itu dengan sebaik baiknya. Kenyataan menjelaskan kemajuan suatu suku bangsa atau masyarakat tidak dapat dijamin oleh tersedianya kekayaan alam. Bahkan Negara seperti Singapura dan Jepangpun bisa maju meskipun tanpa SDA yang memadai.

Meminjam kata kata Mari’e Muhammad kunci kemajuan suatu bangsa adalah kepemimpinan dan manajemen. Inovasi/perubahan, kepandaian, dan kelihaian menyerap teknologi dari bangsa lain yang lebih maju seraya mengembangkan teknologi yang ada dalam diri mereka sendiri.

Sesungguhnya hal itulah makna sebenarnya dari pepatah “alam takambang jadi guru” semoga kesadaran memaknai alam dengan terus mengikuti perubahan dan perkembangan jaman akan membangkitkan kembali spirit dan semangat masyarakat Minangkabau untuk mengejar ketertinggalan yang ada.

Politik Pengampunan.


Sepertinya keberuntungan selalu mengikuti kehidupan soeharto. Setidaknya bisa terlihat ketika setelah penjajahan jepang pangkatnya yang sersan langsung naik menjadi letnan colonel, kemudian ketika G/30/S meletus Soeharto adalah pihak yang paling diuntungkan yang akhirnya membawa Ia berkuasa di republic ini selama 32 tahun. Dan sekarang setelah soeharto tidak lagi berkuasa Ia masih di liputi keberuntungan karena petinggi bangsa ini terlihat melindunginya dari kejahatan korupsi maupun kemanusiaan yang terjadi selama Ia berkuasa.

Tidak ada peristiwa politik yang paling fenomenal yang lebih menarik, lebih kontroversial dan menyedot energi bangsa selain pro kontra kasus soeharto saat ini. Memburuknya kondisi kesehatan Soeharto menghasilkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) dari Jaksa Agung Abdurahman Saleh yang diperkuat oleh keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menghentikan pengadilan Soeharto sampai Ia sembuh. Keluarnya surat ini semakin menegaskan kearah mana kasus Soeharto ini akan dibawa.

Pengadilan Sinetron

Sesungguhnya polemik pengadilan Soeharto ini bermula sejak Ia lengser dari kursi presiden 8 tahun lalu. Kasus ini menggantung begitu saja tanpa ada arah yang jelas dalam penyelesaiannya. Tidak ada keputusan yang tegas dari presiden yang menggantikannya mulai dari BJ Habibie, Gusdur, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Ketidak tegasan pemimpin bangsa ini mungkin disebabkan karena kasus Soeharto ini begitu kotroversial dan berbahaya bagi pemerintahan mereka, ketika keputusan yang diambil tidak bisa memuaskan semua pihak yang pada akhirnya menimbulkan perpecahan dalam masyarakat yang berujung kepada ke tidak stabilan politik.

Kecemasan inilah yang ketika dicermati menjadi sebab utama mengapa pengadilan ini terkesan seperti skenario yang telah diatur sedemikian rupa agar masalah ini terus menggantung. Selalu ada dualisme sikap yang ditunjukkan pemerintah. Keputusan SBY untuk mengendapkan sementara kasus ini setelah ada keputusan dari jaksa agung sebelumnya yang menyatakan pengadilan dihentikan. Padahal kalau kita cermati kasus yang dituduhkan pada Soeharto barulah kasus korupsi di 7 (tujuh) yayasan yang beliau kelola. Kasus tersebut belumlah menyentuh kejahatan kemanusiaan / HAM serta korupsi yang lebih besar ketika ia masih berkuasa.

Ketidak tegasan sikap pemerintah memang tidak bisa dilepaskan dari unsur politik. Soeharto adalah penguasa yang berkuasa 32 tahun di republik ini. Selama berkuasa Soeharto telah membangun “kerajaan”nya sendiri yang diperkuat dengan menempatkan orang orang terdekatnya menduduki posisi strategis dalam pemerintahan hingga saat ini.

Orang orang soeharto itulah yang tersebar dalam jajaran pemerintahan menyiapkan skenario pembebasan Soeharto atas nama hukum. Skenario yang bisa kita perkirakan akan menjadi happy ending bagi Soeharto ketika “sakit” menjadi fakor kunci bagi dia dan kroni-kroninya mempermainkan hukum dengan memanfaatkan celah celah yang ada.

Tanggung jawab moral

Soeharto sungguh beruntung, setidaknya jika dibandingkan dengan koruptor lainnya. Jika dicermati sepertinya memang tidak ada lagi produk hukum yang dapat menjerat mantan penguasa orde baru ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diharapkan bisa mengambil alih kasus korupsi soeharto juga tidak dapat berbuat apa apa karena kasus ini sudah dalam proses pemeriksaaan pengadilan.

Begitu juga dengan wacana pengadilan in absentia merujuk ke pasal 38 UU Tipikor tidak dapat dilakukan mengingat pengadilan ini hanya bisa dilakukan jika terdakwa tidak hadir sebagai bentuk pembangkangan terhadap peradilan seperti apabila terdakwa melarikan diri, menyembunyikan diri atau berada di suatu tempat yang tidak dapat dijangkau.

Kondisi yang demikian seakan menjadi pembenaran bagi sebagian kalangan yang ber opini termasuk pemerintah agar Soeharto dimaafkan saja demi hukum dan menghingat jasa jasanya terhadap bangsa ini. Namun satu hal yang perlu diperhatikan siapa yang memiliki kewenangan untuk memafkan soeharto ?

Sesungguhnya kasus soeharto ini tidak menyangkut masalah politik dan hukum saja namun juga meliputi masalah moral. Betapa pelanggaran HAM begitu kentara semasa orde baru. Sebutlah pembunuhan ratusan ribu rakyat yang terlibat maupun yang tidak dalam G/30/S tanpa melalui pengadilan terlebih dahulu. Begitu juga bentrokan dengan Islam di tanjung priok, lampung penembakan misterius (petrus) dan banyak lagi kasus lainnya.

Dosa orde baru yang dipimpin soeharto tersebut tidak lah serta merta bisa dimaafkan begitu saja oleh pemerintah karena ini menyangkut tanggung jawab moral soeharto terhadap korban2 penindasan serta keluarganya. Sementara itu pemerintah walaupun punya kuasa politik namun tidaklah memiliki kewenangan secara moral untuk memaafkan Soeharto.

Mahkamah rakyat

Kecenderungan pemerintah dan perangkat pengadilan yang menghendaki dibebaskannya Soeharto dari jeratan hukum sesungguhnya menjadi preseden buruk bagi bangsa ini kedepannya. Tidak berdayanya hukum menyentuh symbol KKN di Indonesia itu akan berakibat buruk bagi pemberantasan KKN saat ini dan masa akan datang.

Terlepas dari apakah preseden ini merupakan keberuntungan yang senantiasa menaungi Soeharto atau bukan, pengadilan musti tetap dijalankan. Ketika perangkat hukum legal sudah tidak bisa diharapkan lagi maka pengadilan rakyat adalah satu2 nya jalan yang tersisa untuk menunjukkan bahwa kebenaran tidak boleh kalah. Pengadilan rakyat ini bukanlah pengadilan jalanan (street justice) seperti yang terjadi di Rumania. Namun pengadilan yang dilaksanakan oleh pakar2 hukum bersama rakyat yang dilengkapi dengan elemen2 pengadilan seperti halnya pengadilan biasa.

Walaupun pengadilan ini tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena tidak ada dalam UU Negara namun cukup ampuh untuk memberikan tekanan kepada pemerintah bahwa rakyat menghendaki keadilan dengan mengadili Soeharto. Mahkamah rakyat ini juga pembuktian rakyat bahwa jika pengadilan dilaksanakan dengan prinsip keadilan dan keterbukaan maka tidak ada lagi pengadilan yang penuh skenario yang berujung kepada politik pengampunan kepada penjahat- penjahat yang selama ini merugikan Negara.


Terlupa

Laki laki tua itu tertunduk lesu..
Terduduk lemas diatas kursi rotan warisan kakeknya…
Jeritan perut tak kunjung berlalu

Pilu…

Sepasang sandal tua berlain warna tergeletak tak berdaya..
Semut hitampun berbalik arah
Tak ada yang tersisa
tiada yang berharga

Ah..tidak juga…
Lencana gerilyamu masih ada pak tua..
Tersimpan disana
Buluh bambu penuh romantika
Sisa bayangan penuh warna
Dari engkau yang terlupa dan terhina

Kasihan pak tua..

selarik cahaya perlahan menembus kelam
Sungging senyum tersisa begitu tajam
Tubuh renta itu kini membisu .. diam..

Asa pun bertanya pada guratan nasib
Dimanakah Dia gerangan ?

Ah sudahlah…
Istirahatlah pak tua..

Rapuh

Aku tertegun …setelah tak satu kalimatpun yang mampu aku wujudkan…..perasaan ini kian mendera..melumat lumat kepercayaan diriku..
Entahlah....apakah karena dosa masa lalu..hingga Tuhan pun tak berkenan membantuku….?

Percakapan sore itu kembali terngiang ngiang..bersama periku…

bayang -bayang akan selalu mengejar kalau kita menghindarinya...tapi akan hilang kalau kita memeluknya

: emang bisa meluk bayang-bayang ?

: diamlah...hening sejenak ...lalu rasakan...bayang-bayang muncul dari indrawi.. dan membias dari pikiran...

: bukankah bayang bayang hadir sebagai pertanda kehidupan masih berjalan ?

: yap benar....
: masalahnya.. beberapa orang takut pada bayang2 nya sendiri....

: memang bayang2 bukan utk ditakuti tapi dijadikan teman kala sendiri
: sayang..kadang orang suka melupakan bayang-bayang ketika kegelapan menghampirinya

: nah itu dia!!!!! apapun masalah mu..jangan ditakuti dan dijadikan sebagai tekanan.. tapi jadikan teman...pemberi peringatan....

: oohh
: hidup bagaikan mimpi ketika kesenangan begitu cepat berlalu...
: yang tersisa hanya keluh kesah
: umpatan dan cacian menyertai dengusan kesombongan
: oh dunia..

: dan sementara engkau terus berkeluh kesah...mimpi buruk pun begitu panjang...kesenangan tinggal bayangan...umpatan dan cacian membungkam kesombongan....
: jadi jangan lewatkan mimpi mu yang pendek..karena dunia cuma bukan seribu satu malam...

: aku tau..setiap detak jantungku akan membawa ku kesana
: dan aku juga mengerti setiap angin yang berhembus membisikkan kata kata itu
: tapi kaki ku enggan melangkah
: batinku menjerit ..
: berontak ingin keluar bersama sukmaku
: meninggalkan ragaku yang rapuh
: terombang ambing angan2 yang menyesatkan
: dan sisombong pun tertawa pongah

: tak perlu melangkah...karena ia ada dalam engkau

: sayang...
: aku telah meninggalkan diriku
: diriku yang kumuh..
: berlumur dosa masa lalu
: berhiaskan fatamorgana keduniawian
: aku terbang..terbang..
: mencari takdirku
: walau aku sadar
: aku tak kan mampu meraih takdir
: biarlah
: kurelakan takdir itu sendiri yang akan menguak tabirnya

: mentari bernyanyi untuk setiap hati.. jadi jangan menyepi...

Dia periku…mungkin suatu saat dia akan menjadi peri biru..
Mendampingi ragaku yang kian melemah..menyongsong takdirku yang entah dimana…..

Supermailusi

Oh..Tidak..! suara itu kembali mengusik ketenangan tidurku..
Lirih…menelusuk dingin ke rongga sumsum …

Ayah..ayah…

Suara itu terdengar lagi..
Semakin jelas..semakin nyata…

Ayah…ayah…

Oh tidak..jangan memanggilku seperti itu..
Aku tidak berhak menyandang gelar itu…ohh..

Ayah…sepi..ayah…

Aku terkesiap..darahku membeku..
ya Tuhan…
aku telah melupakannya..
aku harus mengingatnya kembali…
menghiburnya…

Tenang anakku…ayah akan membawakanmu teman..
Jutaan adik2mu akan segera menyusulmu..
Ke lorong lorong gelap kamar mandi..
Ke selokan…
Ke sudut kamar kumuhku..
Ke bawah ranjang reotku..

Tunggulah anakku…
Adik adik mu akan datang
bersama lenguhan nikmat ayahmu..

May Day dan Kambing HItam Politik


Menarik apa yang dikatakan Presiden RI mengenai demonstrasi buruh yang berlaku di Gedung DPR kemarin. SBY mensinyalir ada kelompok kelompok yang hingga kini belum ikhlas menerima hasil Pemilu 2004 akibatnya mereka ingin menciptakan situasi yang tidak kondusif termasuk menunggangi aksi buruh.

Dalam politik kecurigaan itu adalah sah sah saja. Saat ini pemerintahan SBY – JK memang mendapat banyak kritikan dari tokoh tokoh yang tidak puas dengan kinerja mereka. Salah satunya di motori Amien Rais yang nota bene mantan saingan SBY JK dalam Pemilu 2004. Namun tuduhan itu terkesan tidak simpatik dan malah menjurus mengkambinghitamkan buruh sebagai elemen yang harus bertanggung jawab terhadap kekisruhan bangsa ini. Apalagi tuduhan SBY tersebut dilayangkan ketika beliau masih berada di Amman Yordania.

Tuntutan buruh

Aksi demo buruh yang mewarnai Jakarta beberapa hari ini memperlihatkan pada kita akan pentingnya peran buruh dalam perekonomian Indonesia. Apindo memprediksikan demo pertama 1 Mei yang lalu pengusaha mengalami kerugian ratusan Milyar rupiah akibat tidak beroperasinya pabrik pabrik. Menilik besarnya peran buruh bagi kemajuan perekonomian bangsa ini seharusnya buruh dijadikan mitra sejajar pengusaha. Selama ini tidak ada yang berusaha memahami kemauan buruh, yang terjadi malahan eksploitasi berlebihan oleh pengusaha .

Eksploitasi buruh sudah cukup lama di Indonesia. Sejak sebelum kemerdekaan kehidupan buruh sangat sulit. Upah mereka sangat rendah belum lagi tempat tinggal/ barak yang sangat kumuh dan tidak memenuhi sanitasi kesehatan yang baik. Kehidupan buruh sudah agak membaik ketika UU No 13/2003 diberlakukan.

Seiring membaiknya kehidupan buruh persoalan lain muncul. Pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM sementara itu angkatan kerja semakin bertambah dan beban perusahaan otomatis meningkat. Untuk membantu pengusaha dan menarik investor baru maka pemerintah memutuskan merevisi UU No 13/2003 yang akhirnya menimbulkan gejolak demonstrasi.

Sesungguhnya jika dicermati aksi demonstrasi ini bergolak karena buruh murni mempertahankan hak haknya semata. Tuntutan mereka hanya sebatas soal soal kebutuhan primer (basic needs) , mereka tidak menuntut soal kebutuhan sekunder (second needs) apalagi third needs seperti halnya tuntutan buruh luar negeri. Mereka hanya menuntut hak hak dasar mereka tidak dihilangkan, hak hak yang masih berada ditataran pemenuhan kebutuhan pokok seperti gaji untuk makan, hak kesehatan dan pesangon.

******

Maraknya aksi buruh di Jakarta dan sejumlah daerah menyebabkan popularitas pasangan SBY-JK menurun dibanding periode lalu. Menurut hasil penelitian Lingkaran Survei Indonesia (LSI) popularitas SBY-JK menurun hingga 40 %. Penurunan ini juga terkait dengan banyaknya kebijakan yang tidak popular diantaranya kisruh PT. Freeport serta penjualan ijin pengolahan blok Cepu ke ExxonMobil.

Sepertinya masyarakat mulai mencurigai kekuasaan SBY saat ini sudah menjurus seperti halnya kekuasaan mantan penguasa orde baru Soeharto. Banyak mengeluarkan kebijakan tidak populis dan lebih menghargai dan mengakomodasi kepentingan pengusaha besar maupun investor asing daripada kepentingan rakyat biasa.

Pengamat Politik Indra J. Piliang dalam tulisannya di sebuah harian nasional menyatakan bangkitnya tanda tanda neokonservatisme dalam tubuh keluarga cikeas. Diawali dengan dipilihnya Hadi utomo sebagai ketua umum Partai Demokrat yang merupakan kendaraan Politik SBY. Kemudian yang paling menonjol adalah polemic pengangkatan Panglima TNI yang berlarut2. Tarik ulur antara pilihan mantan presiden Megawati dan pilihan SBY sendiri gamblang memperlihatkan betapa persaingan mereka belumlah selesai usai Pemilu 2004 yang lalu.

Pengangkatan Pangkostrad Jenderal Erwin Sujono memperkuat kecurigaan itu. Erwin yang merupakan Ipar SBY sendiri ditengarai di pasang untuk melanggengkan kekuasaan SBY hingga 2009 nanti. Apalagi Pemerintahan SBY-JK sepertinya akan tetap mengeluarkan kebijakan yang tidak popular seperti kembali menaikkan harga BBM. Bila aksi ketidak puasan rakyat memuncak SBY-JK tidak terlalu khwatir kekuasannya akan roboh karena TNI dibelakang mereka.Berbagai kecurigaan dan kritikan yang muncul memang cukup beralasan mengingat betapa pengalaman masa lalu tentara menjadi alat pendukung utama kekuasaan..

Melihat kekuasaan SBY yang begitu besar dengan full backup dari TNI maka kecurigaan SBY terhadap adanya kelompok2 yang menunggangi buruh menyisakan kekhawatiran besar bagi bangsa ini.Terlepas dari benar atau tidaknya kecurigaan SBY terhadap aksi itu ataupun hanya sekedar untuk kembali menaikkan pamornya yang semakin melorot dapat memicu gelombang demonstrasi besar besaran di seluruh Indonesia . Bukan mustahil Demonstrasi itu akan diikuti oleh aksi anarkis yang lebih dahsyat dibanding aksi di gedung DPR kemaren. Apalagi kalau ancaman buruh akan mengadakan mogok masal diwujudkan akan semakin menambah keterpurukan ekonomi Bangsa

Kemungkinan terburuk bisa terjadi ketika aksi massa tersebut mengancam Pemerintahan SBY dan tidak mustahil Ia akan memanfaatkan kekuatan yang di kuasainya yaitu TNI untuk memberikan tekanan (pressure) ataupun tindakan kekerasan terhadap Demonstran. Jika hal itu sampai terjadi maka demokrasi yang selama ini mulai berjalan baik akan berjalan mundur kebelakang dan demokrasi di bangsa ini tinggal menunggu ajalnya.

May day…..May Day…!


Di Muat di Teras Utama Padang Ekspres 3 Mei 2006

Sekilas kata kata itu mengingatkan kita akan teriakan yang sering di perdengarkan lewat radio komunikasi ketika Tim SAR (Search and Rescue) sedang mengadakan misi penyelamatan darurat. Istilah itu juga mengingatkan saya akan sebuah Film aksi Holliwood (saya lupa judulnya) ketika pilot pesawat Tempur yang kena tembakan berusaha menghubungi pangkalan udara .

Namun May Day ini bukanlah dalam konteks panggilan darurat tersebut namun merujuk peringatan hari buruh sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Mei setiap bulannya. Pada saat tulisan ini ditulis puluhan ribu masyarakat kelas pekerja dari berbagai daerah di Indonesia berbaris mengitari Bunderan Hotel Indonesia . Mereka menyatakan aksi ini sebagai wujud solidaritas buruh Indonesia untuk mempertahankan hak haknya terkait dengan revisi UU No 13/2003.

*****

May Day sendiri akar historisnya adalah perlawanan buruh yang mengadakan demonstrasi besar besaran untuk mengurangi jam kerja mereka di Amerika tanggal 1 Mei 1886. Unjuk rasa itu diwarnai oleh pengorbanan yang tidak sedikit termasuk korban nyawa ratusan pekerja yang tewas di tangan aparat kepolisian. Peristiwa ini kemudian disepakati sebagai hari buruh sedunia pada Kongres Sosialis Dunia yang diselenggarakan di Paris Juli 1889.

Hari Buruh atau May Day selalu menjadi tonggak sejarah bagi kaum buruh serta masyarakat kelas pekerja lainnya bagaimana pentingnya perjuangan dan pengorbanan untuk menuntut sebuah perubahan. May Day bukan hanya sekedar symbol perlawanan terhadap rasa keadilan, tetapi lebih dari itu berkenaan dengan banyaknya persoalan perburuhan yang sangat penting dan mendesak segera diselesaikan.

System perburuhan di Indonesia memang penuh kompleksitas. Disatu sisi Pengusaha yang menanamkan modalnya di berbagai industri menghendaki UU Buruh direvisi dengan mengurangi hak hak buruh sehingga beban mereka sedikit berkurang akibat krisis dan kenaikan BBM. Sementara disisi yang lain Buruh tetap ingin mempertahankan hak hak mereka demi hidup yang layak. Tarik menarik argument antara Pengusaha dan kalangan buruh hendaknya memberikan pemahaman bagi Pemerintah tentang bagaimana kebijakan yang selama ini diterapkan meninggalkan persoalan yang rumit.

Kegagalan Pemerintah dalam mengatasi permasalahan perburuhan terutama disebabkan oleh dua faktor yang dominan, pertama laju pertumbuhan jumlah angkatan kerja tidak seimbang dengan perluasan lapangan kerja yang ada. Kebijakan ekonomi selama ini lebih tertumpu kepada pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi oleh perluasan lapangan kerja. Pemerintah lebih focus untuk menarik perhatian para investor namun masih mengabaikan hak pekerja.Saat ini menurut Survei Serikat Pekerja Merdeka Indonesia menyebutkan kini pengangguran di Indonesia mencapai 40 juta orang lebih. Sementara menurut data LIPI dalam setahun terdapat 2,5 juta angkatan kerja, sementara yang mungkin diserap hanya sebanyak 1.375 ribu orang pertahun.

Sempitnya lapangan kerja mengondisikan buruh tetap bekerja di lingkungan yang tidak diharapkan. Masyarakat kelas pekerja yang tidak pernah diperhatikan nasibnya merasa terancam ketakutan kehilangan pekerjaan, kondisi tersebut membuat mereka terpaksa tunduk pada kemauan perusahaan. Sehingga pengusaha mempunyai kekuatan untuk menekan upah (press- ure). Dalam kondisi seperti ini, kekuatan tawar menawar pekerja (bargainning-power) tidak ada lagi.

Kedua, berkaitan dengan sistem kebijakan negara yang memihak kepada pengusaha (pemilik modal), yang semua ini terkait kepentingan ekonomi yang didapat negara. Krisis ekonomi yang berkepanjangan membuat Pemerintah berusaha semaksimal mungkin mendatangkan investor asing. Untuk menarik perhatian para investor tersebut Pemerintah merasa perlu untuk menciptakan iklim usaha yang menarik serta menguntungkan bagi mereka.

Dengan menggulirkan rencana revisi UU buruh/2003 sedikit banyak memperlihatkan bahwa pemerintah menggunakan cara pandang ekonomi neo klasik Yakni, jika kondisi manajemen perusahaan baik dan kondisi ketenagakerjaan bagus akan mendorong hadirnya investasi asing di Indonesia sehingga akan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Dan jika dunia usaha mampu tumbuh positif maka keuntungan negara akan meningkat, kemudian bisa dialokasikan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.

Namun yang perlu diingat melemahnya kemampuan pengusaha dan industri terutama disebabkan oleh kebijakan pemerintah sendiri antara lain kenaikan BBM, angka inflasi yang tinggi menyentuh level 2 digit. Sedangkan factor perburuhan dan tenaga kerja hanya memberikan implikasi kecil dan menempati urutan ketujuh dalam hal penghambat investasi Indonesia. Malahan unjuk rasa buruh yang berkepanjangan menentang revisi UU ketenagakerjaan sendiri justru kontra-produktif dengan upaya pemerintah memperbaiki iklim investasi.

Sesungguhnya tuntutan buruh saat ini masih berada dalam jangkauan perusahaan karena memang mereka tidak menuntut macam macam. Tuntutan mereka hanya sebatas soal soal kebutuhan primer (basic needs) , mereka tidak menuntut soal kebutuhan sekunder (second needs) apalagi third needs seperti halnya tuntutan buruh luar negeri. Mereka hanya menuntut hak hak dasar mereka tidak dihilangkan, hak hak yang masih berada ditataran pemenuhan kebutuhan pokok seperti gaji untuk makan, hak kesehatan dan pesangon.

Jika Pemerintah tidak sensitif terhadap hal ini dan tetap berpihak kepada kepentingan pengusaha besar dan membiarkan Buruh tetap tertindas maka kita hanya akan menunggu saatnya pemerintah dan pengusaha meneriakkan panggilan darurat May Day…May Day…karena buruh se Indonesia melakukan mogok kerja membuktikan ancaman mereka hari ini.

Diare Politik



Kasus korupsi berjamaah kembali menyeruak ketengah masyarakat ketika berita tentang pengadilan anggota DPRD Padang yang diputuskan oleh Pengadilan Tinggi Padang hari selasa 18 April 2006 lalu. PT padang akhirnya memutuskan memperkuat keputusan Pengadilan Negeri Padang tanggal 14 Juni 2005 lalu mengenai kasus korupsi DPRD Padang Periode 1999-2004.

Sejenak ingatan kita melayang kembali beberapa tahun silam ketika istilah korupsi berjamaah menjadi sangat popular. Korupsi anggota DPRD Padang ini dikatakan berjamaah karena dilakukan oleh nyaris segenap anggotanya. Terungkapnya kasus ini menunjukkan indikasi bahwa masyarakat sudah muak dengan praktek penyalah gunaan kekuasaan.

Namun dibalik itu juga terdapat kotroversi megenai kasus yang melibatkan wakil rakyat ini. Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Seluruh Indonesia (Adeksi) dalam Musyawarah Nasional II mengeluarkan rekomendasi yang menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh anggota dewan dalam menetapkan anggaran bersama eksekutif tidak bisa digolongkan sebagai korupsi.

Memang kita akui selain karena rusaknya moral dalam kasus ini juga disebabkan oleh rancunya system perundang udangan sehingga sering terjadi salah tafsir atau malah terjadi nya “pengakalan” dalam menetapkan anggaran. Tumpang-tindihnya peraturan antara UU Otonomi Daerah (kini UU Pemda) dan Peraturan Pemerintah Nomor 110/2000 (kini PP Nomor 24/2004) tentang Kedudukan Keuangan DPRD sering kali menimbulkan salah tafsir dalam pelaksanaannya

Namun penjelasan diatas tidak lah bisa menjadi pembenaran bagi mereka yang terlibat dalam kasus ini mengingat dari sisi modus/model, dalam mekanisme penyusunan dan penetapan anggaran DPRD tersirat unsur kesengajaan untuk mengabaikan rambu-rambu yang telah ditetapkan.

*****

Kasus yang serupa memang bukan hanya terjadi di Sumatera Barat dan Padang namun juga menyebar ke daerah lain di Indonesia. Secara umum data Indonesia Corruption Watch (ICW) dari Januari hingga Desember 2004 mengenai kasus korupsi yang melibatkan anggota Dewan menunjukkan bahwa, dari sisi jumlah kasus, perbuatan korupsi yang melibatkan anggota DPRD merupakan jumlah terbanyak, yakni 102 kasus dari total 239 kasus korupsi yang muncul di sebagian besar wilayah di Indonesia.

Secara umum terdapat dua model korupsi DPRD yang dapat kita temukan. Model pertama adalah menggelembungkan batas alokasi penerimaan anggota Dewan atau yang lebih akrab disebut mark-up. Dikatakan sebagai praktek mark-up karena PP No. 110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD sebenarnya telah membatasi secara terperinci penerimaan anggota Dewan yang bisa ditoleransi sesuai dengan tingkat pendapatan asli daerah (PAD).

Model kedua adalah korupsi dalam pelaksanaan program kegiatan Dewan. Dari aspek tindakan, korupsi jenis ini adalah korupsi yang paling telanjang dan nyata. Ini sebagaimana telah dilakukan oleh anggota DPRD Kota Padang yang telah memalsukan tiket pesawat perjalanan dinas (SPJ fiktif) hingga mencapai Rp 10,4 miliar.

Terkait dengan model korupsi yang dilakukan DPRD Padang ini dengan memanipulasi dokumen pertanggung jawaban penggunaan APBD adalah merupakan perbuatan yang nyata nyata melanggar hukum melakukan tindakan memperkaya diri sendiri dengan merugikan Negara.

Sedikit perbedaan dengan model korupsi pertama yang merupakan persekongkolan dua pihak (eksekutif dan legislatif) dengan memanfaatkan kewenangan yang dimiliki untuk membuat peraturan dan celah perundang-undangan yang tumpang-tindih. Korupsi DPRD Sumbar bisa digolongkan ke dalam model ini. Kasus ini bermula ketika dalam penyusunan APBD 2002 anggota dewan mengacu pada UU no 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Dasar hukum ini sebenarnya digunakan pula oleh DPRD lain di seluruh Indonesia. Namun rupanya, tindakan anggota dewan ini dianggap melanggar PP 110 tahun 2000 mengenai kedudukan keuangan dewan. Sehingga atas dasar hal ini, para anggota dewan dituduh telah melakukan tindakan korupsi terencana. Padahal para anggota dewan tersebut sudah melakukan judicial review ke mahkamah agung yang hasilnya membatalkan PP 110 tahun 2000 ini. Sehingga, tindakan anggota DPRD yang tidak menggunakan PP 110 tahun 2000 dalam penyusunan APBD dibenarkan.

Terlepas dari kontroversi tentang benar atau tidaknya terjadi korupsi di DPRD yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, saya melihat hal ini merupakan sebagai gejala politik luar biasa dimana batang tubuh politik Indonesia sendiri sudah merasa muak dengan perilaku orang2 politik yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan mereka. Layaknya tubuh manusia akan megalami diare ketika didalam tubuh ada bakteri atau benda yang mengganggu kesehatan, begitu juga politik akan mengeluarkan politikus tak bermoral yang sangat membahayakan proses pertumbuhan politik yang selama ini di perjuangkan di Indonesia.

Bagaimanapun juga keputusan PT Padang layak diacungkan jempol dan harus kita berikan apresiasi secara mendalam karena menyiratkan gerakan anti korupsi semakin melaju terutama di Sumatera Barat. Sehingga keputusan tersebut bisa menjadi shock therapy bagi anggota DPRD 2004-2009 agar lebih hati hati dalam mengambil keputusan serta kembali menggunakan hati nurani dalam setiap tindakan dan perbuatan.

Agama dan Pencerahan


Salah satu gejala intelektual yang paling menarik saat ini khususnya di kota kota besar adalah kembalinya minat untuk mempelajari Agama. Semaraknya kelompok-kelompok kajian Agama Islam,baik dalam lingkungan kampus bahkan dikalangan Pejabat yang ramai ramai mengundang Ulama untuk mengadakan Pengajian dengan bayaran yang cukup tinggi.

Kecenderungan untuk berpaling ke Agama bukan hanya pada dataran teoritis tapi juga melingkupi sikap dan perilaku.Semakin bertambahnya jumlah peserta jamaah Haji, semaraknya busana busana Muslimah di sekolah sekolah dan kampus,semaraknya upacara keagamaan seperti Istighotsah,munculnya kecenderungan Tasawuf serta tumbuhnya kaum yang mengklaim sebagai Puritan membuktikan asumsi asumsi di atas.

Dengan latar belakang dan dorongan apapun tumbuhnya minat untuk mempelajari Agama yang direfleksikan dalam kegiatan Ritual dan seremonial menarik untuk dicermati. Lebih dari itu kecenderungan itu muncul pada masyarakat yang masih diliputi berbagai penyimpangan seperti kemaksiatan yang merajalela,korupsi kolusi, eksploitasi tubuh wanita ,prostitusi dan maraknya tempat hiburan malam dan judi. Disini terdapat dua fenomena yang saling bertolak belakang,disatu sisi bergerak kearah kecenderungan terhadap agama dan disatu sisi masih terus berkembangnya bentuk bentuk penyimpangan.

Yang menarik dari fenomena diatas adalah pertanyaan : apa yang menyebabkan kecenderungan orang berpaling keagama ?

Kegilaan Modernisasi

Modernisasi identik dengan pembebasan hasrat dari kekangan baik berupa aturan2 maupun norma norma yang selama ini mengatur ritme kehidupan masyarakat. Moralitas atau etika sosial yang menjadi standar perilaku interaksi antar manusia mulai ‘jungkir balik’ secara dramatik sepanjang sejarah peradaban umat manusia ketika kapitalisme yang sesungguhnya lahir secara utuh. Hugh Dalziel Duncan melukiskan kapitalisme sebagai peradaban yang bercirikan uang, dimana uang pertama kali dipercakapkan dalam ranah peristilahan transendental.

Kapitalisme menawarkan ruang dimana hasrat dan keinginan dapat mengalir secara bebas bersamaan dengan mengalirnya capital dan komoditi. Kapitalisme merasuki mental secara kolektif sehingga menciptakan norma sendiri serta mencetak manusia yang consumeristis.

Perubahan budaya dan gaya hidup tersebut sedikit atau banyak akan menimbulkan kegoncangan atau konflik baik pada individu maupun kelompok Kalau konflik ini mencapai titik kritis orang akan mencari pemecahannya pada agama. Maka agama dipelajari secara intensif dan mendalam serta berupaya mengamalkannya sehingga ditemukanlah kedamaian. Bertolak dari sini diadakannya kajian agama, agama dibahas dan didiskusikan secara terbuka untuk memahami dan menghayati kembali pesan yang dikandungnya sehingga symbol agama memperoleh bentuk baru dengan bingkai purifikasi bahkan menimbulkan fundamentalisme.

Realitas sosial

Berpalingnya manusia pada agama disamping adanya dorongan emosional untuk memahami agama secara mendalam,juga dapat disebabkan adanya kekecewaan pada realitas sosial yang dihadapi seperti kekacauan keluarga, kejenuhan akan kemewahan hidup yang tidak mampu memenuhi kebutuhan batinnya serta yang paling dominan saat ini adalah efek dari tingkat kemakmuran yang semakin menurun sehingga lalu orang mencari pemecahannya dalam agama.

Disamping itu ada yang disebabkan oleh adanya dorongan dari masyarakatnya.Ia akan menemukan identitasnya dalam masyarakat,ketika ia berprilaku yang sesuai dengan agama.Ia belajar bukan untuk menemukan sesuatu yang hakiki tetapi untuk mendapatkan pengakuan. Mungkin juga ada yang melakukan tanpa adanya suatu target atau motif apapun tetapi ia melakukannya karena terpengaruh oleh tren yang ada pada mesyarakat.Bahkan disebabkan oleh adanya tekanan yang berasal dari luar dirinya seperti problem ekonomi, situasi politik yang mengecewakan maupun tekanan dari elit politik yang berkuasa.

Disinilah tampaknya secara sosiologis fungsi agama menjadi penting dalam kehidupan manusia dimana perubahan dan pengetahuan tidak berhasil dalam memberikan sarana adaptasi atau mekanisme penyesuaian yang diharapkan bahkan menimbulkan konflik. Dari sudut pandang fungsional, agama menjadi penting sehubungan dengan unsur unsur pengalaman manusia yang diperoleh dari ketidak pastian,ketidak berdayaan yang memang merupakan karakteristik fundamental manusia.

Memalingkan masyarakat dari segala bentuk elemen modernisme berupa materi ditengah dunia yang justru tergantung pada materi memang sesuatu yang hampir mustahil. Fungsi agama di era modernisasi ini setidak tidaknya berusaha meminimalisasi berbagai paradoks didalam masyarakat modern itu melalui pencerahan terhadap kekaburan dan ketidak pastian yang ada.

demokrasi pornografi


Masyarakat Indonesia termasuk diantara masyarakat paling problematic di dunia. Fenomena pro kontra Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) sedikit banyak membuktikan hal itu.. Tidak hanya masyarakat awam, tokoh pers , seniman dan bahkan agamawan turut bersuara mengenai perlu tidaknya RUU ini. Sebuah produk hukum yang benar-benar menguras energi banyak kalangan.

Pro kontra berkepanjangan ini tidak akan usai bila belum memahami bangunan masyarakat Indonesia sesungguhnya. Masyarakat Indonesia dan kompleksitas kebudayaannya masing masing adalah plural dan heterogen. Tersebarnya 500 suku bangsa di Indonesia mencerminkan bahwa kadangkala berbagai kelompok masyarakat di Indonesia tidak bisa disatukan kepentingannya dengan yang lain.

Ke-heterogenan masyarakat Indonesia ini tak pelak juga memunculkan berbagai polemic yang sangat melelahkan. Selain polemic agama juga terdapat polemic etnis serta sentiment gender. Keseragaman yang dipaksakan lewat RUU ini boleh jadi merupakan tindakan kekerasan social atas adat istiadat dan budaya manusia yang telah menjadi entitas kolektif sejak ratusan tahun lalu atau malah pengingkaran dari dasar negara Pancasila ?.

Demokrasi Pancasila

Keanekaragaman budaya, agama,etnik, norma social berpotensi menimbulkan ketegangan dalam relasi antar individu maupun kelompok dimasyarakat. Begitu juga ketika mempersoalkan antara posisi agama dan Tuhan dalam Negara. Sesungguhnya ketika bangsa ini dibangun founding fathers kita telah memahami bahwa dialog dan interaksi rasional mempunyai tempat yang penting didalam merumuskan identitas sebagai bangsa yang . Satu kesadaran yang berawal dari kearifan untuk menangkal disintegrasi bangsa dikemudian hari akibat potensi konflik yang dimiliki bangsa ini. Produk dari pemahaman tersebut lahirlah Pancasila sebagai dasar filsafat Negara.

Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang melindungi hak hak minoritas. Melalui demokrasi Pancasila kita memahami bahwa Indonesia bukanlah Negara agama dan juga bukan Negara sekuler sehingga dalam struktur Negara tidak menempatkan Agama dan Tuhan dalam konstitusi tertinggi.

Tirani mayoritas ataupun diktator minoritas memang menjadi salah satu kelemahan demokrasi yang sama sama kita sadari. Ketika mayoritas dalam suatu Negara menjadi penentu dengan mengabaikan suara minoritas maka ruang agama pun bisa diusung keruang public/Negara maka lahirlah aturan aturan seperti halnya RUU APP ini. Katakanlah mayoritas umat Islam di Negara ini menginginkan diterapkan RUU APP namun agama lainnya ataupun etnik dan norma social lainnya yang nilainya sedikit berlainan dengan Islam akan menjadi minoritas yang tertindas meminjam istilah Thomas Hobbes dalam Leviathan.Di era demokratisasi seperti sekarang, pola pemberlakuan undang-undang yang cenderung menjadi “leviathan” tidak boleh terjadi. Dengan pemaksaan berlakunya undang undang tertentu yang menafikan kepentingan kelompok etnis minoritas, berarti mengingkari Pancasila sebagai dasar Negara yang berujung kepada disintegrasi bangsa.

Solusi

Menyadari akan potensi konflik berkepanjangan yang telah mengarah ke disintegrasi bangsa hendaknya kita mulai berbicara ke tataran yang lebih praktis untuk menciptakan dataran bersama (common ground). Harus kita akui telah terjadi keresahan yang menyeluruh terutama dari kalangan Islam tentang maraknya pornografi dan pornoaksi terutama di media. Untuk itu kalangan media dan seniman pun musti menyadarai bahwa harus ada aturan yang memuat tentang batasan batasan empiric tentang pemuatan materi yang mengarah ke pornografi maupun pornoaksi.

Ada beberapa pilihan yang logis diambil, pertama; menyetujui adanya UU tentang pornografi namun musti dilalui dengan merevisi ketat RUU sekarang ini yang bisa diterima semua pihak. Untuk itu dalam masing2 kesepahaman tadi pendukung RUU musti memberi pengakuan kepada penentang RUU bahwa musti ada bagian tertentu yang musti diperbaiki atau dihilangkan. Terutama tentang perlunya batasan dan definisi dari porno, erotica serta indicent (tak sopan). Kedua ; membatalkan UU APP dan memperkuat aturan tentang pornografi yang di dalam KUHP. Dalam hal ini penentang RUU APP harus menyadari bahwa pornografi memang musti dibatasi dan diatur dalam pasal tertentu dalam KUHP. Ketiga; membatalkan UU APP namun memperketat UU Pers dan UU penyiaran. Dalam hal ini lebih ditekankan kepada pengaturan media massa sebagai elemen yang paling dominan dalam menyebarkan budaya posmo yang berbau pornografi dan pornoaksi. Keempat ;menjadikan RUU APP ini sebagai perda saja mengingat RUU ini lebih pas diperuntukkan bagi daerah-daerah yang mayoritas penduduknya muslim. Bagi daerah-daerah yang mayoritas penduduknya bukan muslim, tidak perlu dipaksa untuk menerima RUU ini.

Menyoal budaya korupsi


Artikel “KORUPSI: (Seolah-olah) Bagian dari Budaya Manusia” (Harian Padang Ekspres, 04 Maret 2006), menarik untuk dicermati. Pertama, karena salah satu penulisnya adalah pejabat pemerintah (gubernur) yang sering menjadi subyek dan objek dominan dari epidemi korupsi itu. Kedua, meski bukan topic baru, namun gejala korupsi dan upaya pemberantasannya merupakan mandat reformasi yang masih belum tuntas hingga kini.

Korupsi, bukan budaya?

Saya sepakat dengan pemahaman bahwa korupsi bukan bagian dari budaya manusia jika merujuk kepada definisi budaya sebagai nilai-nilai moral yang dianggap baik oleh masyarakat. Saya juga percaya bahwa tendensi untuk “open” dan permisif terhadap praktik korupsi bukanlah budaya masyarakat Indonesia (juga masyarakat manapun). Korupsi juga bukan praktik khas masyarakat Indonesia karena korupsi merupakan sebuah anomali dalam sistem (apapun) dan potensial terjadi di manapun (universal).

Jika demikian halnya maka muncul pandangan (1) terdapat sesuatu yang “salah” dalam sistem tersebut sehingga terdapat ruang atau celah yang memungkinkan terjadinya korupsi; (2) sistem sudah “benar” sehingga yang jadi soal adalah kualitas dan moralitas individu yang terlibat dalam sistem itu. Dalam kasus Indonesia, kedua pandangan itu cenderung terbukti. Birokratisme dalam sistem politik dan ekonomi Indonesia dihiasi banyak celah yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bermoral sehingga benih2 korupsi tumbuh amat suburnya.

Itulah antara lain yang kemudian menimbulkan budaya koruptif tadi.Tak heran saat ini korupsi telah bergerak kearah budaya yang semakin diterima oleh masyarakat ketika korupsi telah begitu melembaga dan ketika moral bangsa semakin mengalami dekadensi dan degradasi. Korupsi yang dulu tabu dan dianggap sangat memalukan kini terang terangan dilakukan tidak lagi minoritas namun telah merasuki mayoritas anak bangsa. Ketika hal ini dibiarkan bukan mustahil korupsi yang sekarang dianggap kejahatan akan berkembang menjadi suatu yang diterima dan dianggap biasa oleh masyarakat..

Menghilangkan praktik korupsi yang telah berurat dan berakar di Negara ini memang tidak semudah membalik telapak tangan. Menurut Prof Selo Sumarjan korupsi adalah suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat seperti halnya kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia. Yang dibutuhkan adalah penanganan yang jelas, sistematis dan berkelanjutan. Paling tidak ada dua pendekatan yang ramai diperbincangkan yaitu pendekatan prefentif ( pencegahan) serta pendekatan represiv (pemberantasan). Permasalahannya pendekatan mana yang lebih pas merujuk kondisi bangsa saat ini ?

Prevention

Jalan keluar yang ditawarkan dalam tulisan Gubernur Gamawan fauzy tentang perlu adanya kurikulum yang sadar korupsi termasuk kedalam tindakan prefentiv/pencegahan. Menumbuhkan kebencian didalam diri siswa terhadap korupsi dan menganggap korupsi adalah perbuatan yang merendahkan harga diri dia dan keluarganya adalah langkah awal dari penumbuhan kesadaran anti korupsi.

Sebenarnya pendekatan ini telah lama di pahami dan diterapkan di Negara ini. Pendidikan dan pengajaran di sekolah sekolah telah menempatkan korupsi sebagai musuh bersama, begitu juga dengan ceramah ceramah di mesjid yang meninjau korupsi dari sudut agama. Betapa ajaran agama kita mengandung nilai nilai yang menempatkan suap dan korupsi sebagai perilaku yang sangat rendah dimata Tuhan dan masyarakat serta tergolong kepada perbuatan mungkar. Dalam al-Qur'an misalnya, ada ayat yang menyatakan ; "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar." (al-Ankabut; 45).

Realita sesungguhnya himbauan agama itu tidak digubris sebagian masyarakat bahkan oknum agamawan sendiri karena begitu kuatnya pengaruh budaya kapitalis menggerogoti nilai budaya yang menyelusup hingga sendi sendi agama. Sejarah mencatat ketika kasus korupsi DPRD Sumbar terkuak pelaku pendidikan dan pemuka agama (buya) sendiri terjebak kedalam lingkaran hitam yang bernama korupsi.

Represif

Pendekatan represif lebih ditekankan kepada pemberantasan pelaku koruptor itu sendiri. menurut saya pendekatan inilah yang paling pas dengan kondisi masyarakat Indonesia. Koruptor kelas kakap yang mendominasi pelaku korupsi tidak akan tersentuh seketika kalau hanya diperangi dengan tindakan preventif. Kehadiran KPK di Negara ini untuk melakukan penindakan korupsi melalui jerat hukum menjadi agenda utama dalam memberantas korupsi. Dari hal tersebut dipersepsikan bahwa korupsi akan dapat diberantas dan dihabisi dengan mengadili ataupun menindak secara hukum koruptor kelas kakap, mulai dari birokrat, konglomerat hingga mantan Presiden.

Ibarat tubuh manusia, kondisi bangsa ini sudah terlalu parah, bagian yang sudah digerogoti kanker ganas tidak mempan diobati dengan tindakan prefentif namun musti di amputasi dalam arti lain menjerat semua koruptor dengan produk hukum. Tindakan represif ini terbukti manjur ketika diterapkan oleh China. Di Negara non demokrasi tersebut hampir setiap hari ada koruptor yang ditembak mati. Hasilnya selain mengurangi jumlah koruptor juga menimbulkan efek jera dan rasa takut bagi masyarakat lainnya. Dengan begitu pencegahan (preventif) epidemic korupsi pun berjalan dengan sendirinya.

Dalam prosesnya tindakan represif ini tidak hanya ditekankan kepada pelaku saja melainkan secara sistemik melakukan perubahan juga pada pelaku dan struktur yang menentukan wajah system saat ini. Struktur yang ada saat ini musti dipreteli dan dibongkar satu demi satu dan kemudian dilakukan perubahan mendasar perbagian perbagian untuk dipasang lagi menjadi struktur yang bersih dari noda noda hitam masa lalu.

Saya yakin dan percaya Sumatera Barat kedepan akan semakin jauh dari korupsi jika pemimpinnya paham dan mengerti akar permasalahan korupsi serta mempunyai grand design yang jelas tentang cara dan arah pemberantasan korupsi. Kalo mau jujur sesungguhnya bukan hanya metode atau pendekatan konsep yang dibutuhkan namun intensitas dan kesungguhan dari Pemerintah/Pemimpin untuk segera mengambil tindakan. Dan pemimpin itu sudah kita punyai, semoga dengan kecakapan, kesadaran dan pengalamannya Gubernur Gamawan Fauzy akan membawa rakyat Sumbar ke dalam kehidupan yang bebas dari korupsi.

Tulisan ini dapat dibaca di Padang Ekspres

Valentine’s Day: generasi muda yang jadi korban


Lagi lagi menjelang tanggal 14 februari setiap tahunnya kontroversi terhadap perayaan hari kasih sayang ala barat ini kembali bergulir. Di edisi padang ekspres kemaren Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Limapuluh Kota, Drs H Achmad Anshori, DSc MPd, mengimbau agar setiap anak muda di 50 kota khususnya tidak merayakan hari valentine karena budaya tersebut tidak sesuai dengan agama Islam dan adat istiadat.

Larangan itu menjadi hal yang selalu berulang ulang disampaikan oleh kalangan yang prihatin terhadap terkikisnya budaya bangsa . Terutama dari kalangan agama yang menilai euofria kasih sayang ini tidak seharusnya dirayakan karena akar historisnya berasal dari budaya Kristiani. Sehingga ulama berpendapat perayaan ini adalah bid’ah dan khurafat karena tidak ada hukumnya dalam Syariah Islam.

Lalu kenapa himbauan ini dari tahun ketahun tidak mendapat respon yang berarti dari generasi muda ? sesungguhnya perayaan hari kasih sayang ini tidak lagi mutlak menjadi milik kaum kristiani yang mengingat akan kepahlawanan pendeta ST. Valentine saja namun lebih dari pada itu perayaan valentine telah menjadi lahan produktif bagi kalangan industri untuk menarik keuntungan berlimpah dalam waktu sesaat.

Valentine, industri dan racun sekuler

Tak dapat dipungkiri tanggal 14 february setiap tahunnya adalah tanggal yang ditunggu2 oleh anak muda di seantero jagad yang sedang di mabuk asmara. Mereka saling menyiapkan kado yang akan dipersembahkan kepada kekasihnya sebagai ungkapan adanya kasih sayang antara mereka. Tidak ketinggalan berbagai TV swasta pun ikut memeriahkan penyambutan momen tahunan ini dengan menyajikan tayangan diorama percintaan yang memukau berunsur cinta yang mengatas namakan kasih sayang.

Momen kasih sayang universal ini amat sangat mudah ditandai. Jauh hari sebelum momen ini tiba kita telah banyak melihat kartu ucapan selamat, cendera mata dan tren fashion berwarna merah jambu telah menyerbu ruang hidup kita. Tak ketinggalan hotel hotel ber kelas menyediakan makan malam romantis yang ditujukan bagi pasangan pasangan muda Betapa saat itu ruang imajinasi kita ikut larut dengan keromantisan yang dijual oleh kalangan pengusaha yang sangat jeli membaca peluang pasar.

Dari sana kita pahami bahwa terdapat sekelompok pengusaha yang meraup keuntungan dengan cara mengeksploitasi momen valentine tersebut dimana mereka menjadikan anak anak muda yang merayakan sebagai pasar mereka yang sangat potensial. Namun yang memprihatinkan kita adalah disamping menggelar dagangan mereka juga merusak jiwa anak muda dengan pemikiran dan pemahaman yang mereka susupi melalui euphoria Valentine’s Day. Pemikiran/konsep generasi muda telah diresapi oleh racun ideology kapitalisme yang berasaskan doktrin sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Bagi golongan muda ini merayakan Valentine’s Day dianggap tidak bertentangan dengan aqidah yang mereka pegang. Mereka sejatinya telah terpedaya dengan slogan-slogan dari Barat yang disuntikkan ke dalam pemikiran mereka.

Memahami persoalan

Peran serta kaum kapitalis memanfaatkan momen valentine’s day ini nyata nyata telah menggeser makna valentine’s day itu terutama dikalangan generasi muda. Generasi muda saat ini tidak melihat perayaan hari kasih sayang itu sebagai penghormatan terhadap kepahlawanan ST valentine yang mati karena membela cinta namun mereka hanya sekedar ikut memanfaatkan momentum ini untuk mengungkapkan cinta kepada pasangan mereka tanpa perlu mengetahui asal usul perayaan itu sendiri. Generasi muda telah menjadi korban dari kalangan Industri yang mengail laba sebesar besarnya dengan mengindahkan moral dan aqidah anak bangsa lewat doktrin sekuler. Ini musti kita garis bawahi agar ada pertemuan antara persepsi golongan agamawan dengan persepsi yang terbentuk di golongan generasi muda sendiri. Sebab jika masing masing golongan tidak paham substansi permasalahannya maka kontroversi ini tidak akan pernah berakhir.

Yang perlu kita lakukan sebagai kalangan yang prihatin terhadap perkembangan moral anak bangsa ini bukanlah dengan sekedar memberikan pelarangan terhadap mereka semena mena namun musti dibarengi dengan pengajaran norma agama, aqidah, sejarah serta pengetahuan kontemporer di keluarga dan sekolah sekolah. Tanamkan pada mereka bahwa kasih sayang tidak hanya kasih kepada pacar, pasangan hidup, tetapi juga kasih orangtua kepada anak-anak, dan juga sebaliknya kasih anak-anak kepada orangtua serta kasih sayang kepada sesama manusia. Pengungkapan kasih sayang tersebut tidak ditentukan oleh tanggal tertentu namun diwujudkan dalam pergaulan sehari hari. Hanya dengan menumbuhkan kesadaran dari dalam jiwalah kita bisa membentengi gempuran luar biasa ajaran sekuler melalui kaki tangan kapitalis dengan produk produk duniawinya.