Diare Politik



Kasus korupsi berjamaah kembali menyeruak ketengah masyarakat ketika berita tentang pengadilan anggota DPRD Padang yang diputuskan oleh Pengadilan Tinggi Padang hari selasa 18 April 2006 lalu. PT padang akhirnya memutuskan memperkuat keputusan Pengadilan Negeri Padang tanggal 14 Juni 2005 lalu mengenai kasus korupsi DPRD Padang Periode 1999-2004.

Sejenak ingatan kita melayang kembali beberapa tahun silam ketika istilah korupsi berjamaah menjadi sangat popular. Korupsi anggota DPRD Padang ini dikatakan berjamaah karena dilakukan oleh nyaris segenap anggotanya. Terungkapnya kasus ini menunjukkan indikasi bahwa masyarakat sudah muak dengan praktek penyalah gunaan kekuasaan.

Namun dibalik itu juga terdapat kotroversi megenai kasus yang melibatkan wakil rakyat ini. Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Seluruh Indonesia (Adeksi) dalam Musyawarah Nasional II mengeluarkan rekomendasi yang menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh anggota dewan dalam menetapkan anggaran bersama eksekutif tidak bisa digolongkan sebagai korupsi.

Memang kita akui selain karena rusaknya moral dalam kasus ini juga disebabkan oleh rancunya system perundang udangan sehingga sering terjadi salah tafsir atau malah terjadi nya “pengakalan” dalam menetapkan anggaran. Tumpang-tindihnya peraturan antara UU Otonomi Daerah (kini UU Pemda) dan Peraturan Pemerintah Nomor 110/2000 (kini PP Nomor 24/2004) tentang Kedudukan Keuangan DPRD sering kali menimbulkan salah tafsir dalam pelaksanaannya

Namun penjelasan diatas tidak lah bisa menjadi pembenaran bagi mereka yang terlibat dalam kasus ini mengingat dari sisi modus/model, dalam mekanisme penyusunan dan penetapan anggaran DPRD tersirat unsur kesengajaan untuk mengabaikan rambu-rambu yang telah ditetapkan.

*****

Kasus yang serupa memang bukan hanya terjadi di Sumatera Barat dan Padang namun juga menyebar ke daerah lain di Indonesia. Secara umum data Indonesia Corruption Watch (ICW) dari Januari hingga Desember 2004 mengenai kasus korupsi yang melibatkan anggota Dewan menunjukkan bahwa, dari sisi jumlah kasus, perbuatan korupsi yang melibatkan anggota DPRD merupakan jumlah terbanyak, yakni 102 kasus dari total 239 kasus korupsi yang muncul di sebagian besar wilayah di Indonesia.

Secara umum terdapat dua model korupsi DPRD yang dapat kita temukan. Model pertama adalah menggelembungkan batas alokasi penerimaan anggota Dewan atau yang lebih akrab disebut mark-up. Dikatakan sebagai praktek mark-up karena PP No. 110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD sebenarnya telah membatasi secara terperinci penerimaan anggota Dewan yang bisa ditoleransi sesuai dengan tingkat pendapatan asli daerah (PAD).

Model kedua adalah korupsi dalam pelaksanaan program kegiatan Dewan. Dari aspek tindakan, korupsi jenis ini adalah korupsi yang paling telanjang dan nyata. Ini sebagaimana telah dilakukan oleh anggota DPRD Kota Padang yang telah memalsukan tiket pesawat perjalanan dinas (SPJ fiktif) hingga mencapai Rp 10,4 miliar.

Terkait dengan model korupsi yang dilakukan DPRD Padang ini dengan memanipulasi dokumen pertanggung jawaban penggunaan APBD adalah merupakan perbuatan yang nyata nyata melanggar hukum melakukan tindakan memperkaya diri sendiri dengan merugikan Negara.

Sedikit perbedaan dengan model korupsi pertama yang merupakan persekongkolan dua pihak (eksekutif dan legislatif) dengan memanfaatkan kewenangan yang dimiliki untuk membuat peraturan dan celah perundang-undangan yang tumpang-tindih. Korupsi DPRD Sumbar bisa digolongkan ke dalam model ini. Kasus ini bermula ketika dalam penyusunan APBD 2002 anggota dewan mengacu pada UU no 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Dasar hukum ini sebenarnya digunakan pula oleh DPRD lain di seluruh Indonesia. Namun rupanya, tindakan anggota dewan ini dianggap melanggar PP 110 tahun 2000 mengenai kedudukan keuangan dewan. Sehingga atas dasar hal ini, para anggota dewan dituduh telah melakukan tindakan korupsi terencana. Padahal para anggota dewan tersebut sudah melakukan judicial review ke mahkamah agung yang hasilnya membatalkan PP 110 tahun 2000 ini. Sehingga, tindakan anggota DPRD yang tidak menggunakan PP 110 tahun 2000 dalam penyusunan APBD dibenarkan.

Terlepas dari kontroversi tentang benar atau tidaknya terjadi korupsi di DPRD yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, saya melihat hal ini merupakan sebagai gejala politik luar biasa dimana batang tubuh politik Indonesia sendiri sudah merasa muak dengan perilaku orang2 politik yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan mereka. Layaknya tubuh manusia akan megalami diare ketika didalam tubuh ada bakteri atau benda yang mengganggu kesehatan, begitu juga politik akan mengeluarkan politikus tak bermoral yang sangat membahayakan proses pertumbuhan politik yang selama ini di perjuangkan di Indonesia.

Bagaimanapun juga keputusan PT Padang layak diacungkan jempol dan harus kita berikan apresiasi secara mendalam karena menyiratkan gerakan anti korupsi semakin melaju terutama di Sumatera Barat. Sehingga keputusan tersebut bisa menjadi shock therapy bagi anggota DPRD 2004-2009 agar lebih hati hati dalam mengambil keputusan serta kembali menggunakan hati nurani dalam setiap tindakan dan perbuatan.

0 komentar: