Baliak ka Nagari, Baliak ka Surau


Minangkabau saat ini dikenal sebagai suku yang paling banyak membicarakan dirinya sendiri. Hal ini tak lepasa dari romantisme masa lalu dimana Bangsa ini terbentuk dari campur tangan Orang Minang sebutlah hatta, Natsir, Agus Salim, Tan malaka. Hal ini memang tak terbantahkan karena sejarah tak bisa dilupakan. Orang Minang dimasa lalu dikenal sebagai Gudangnya Intelektual yang cemerlang diakui dunia Internasional.

Surau adalah elemen penting mengapa Orang Minang beberapa decade lampau sanggup diperhitungkan oleh semua elemen bangsa ini. Beranjak dari Budaya masyarakat dimana setiap lelaki di Minang yang beranjak dewasa sudah malu untuk tinggal dirumah Ibunya, sehingga mereka memutuskan untuk tinggal di Surau. Surau adalah suatu tempat dimana mereka mengaji, membahas Ilmu Agama hingga masalah social politik maupun membincangkan pergerakan melawan penjajahan Belanda dan Jepang. Sehingga tak mengherankan bila dalam diskusi panjang tersebut menghasilkan eksperimen ideology yang cukup mencengangkan. Hatta dengan demokrasi, Natsir dengan Islam, Sutan Syahrir dengan sosialis, Tan Malaka dengan komunismenya, Sutan Takdir Alisyahbana dengan Liberalisme Kapitalisnya. Kesemua pemikiran itu bisa berkembang sedemikian rupa ditunjang oleh kondisi Bangsa saat itu yang berjuang mencari kemerdekaan dan setelah merdeka kemudian mencari jati dirinya.

Pemberontakan PRRI 1958

Pemberontakan ini menjadi titik tolak mundurnya Intektual Minang dalam percaturan Politik maupun pendidikan. Setelah pemberontakan ini selesai orang muda Minang tidak sanggup lagi menengadahkan kepalanya malah kebanyakan menyembunyikan identitas sebagai Orang Minang. Kemudian terjadi eksodus besar besaran Orang muda Minang meninggalkan nagarinya dan merantau kedaerah lain. Hal ini tak lepas dari pola pemumpasan gerakan ini dimana pihak pusat menerapkan azas” musuh lawan adalah kawan”. Azas inilah yang menjadi dasar Pemerintah Pusat menggandeng PKI dalam merehabilitasi daerah konflik. Setelah daerah kembali aman, orang orang PKI mengambil alih hampir semua lini dalam pemerintahan daerah, wali nagari dan lainnya. Realita ini semakin membuat Orang minang yang dikenal sangat anti PKI semakin terjepit. Setiap kegiatan yang berbau keagamaan maupun Sospol di intimidasi oleh PKI sehingga lambat laun Peran Suraupun sudah mulai terbengkalai dan ditingalkan. Perubahan system pemerintahan dari Nagari menjadi desa ditengarai juga semakin memperparah keadaan dan semakin memudarkan identitas Minang sebagai gudangnya kaum Intelektual.

Baliak ka Nagari sebuah solusi

Sejak reformasi bergulir, daerah sedikit punya nafas untuk menentukan kebijakannya sendiri. Komitmen Pemerintah Propinsi agar Sumbar kembali ke pemerintahan Nagari merupakan suatu langkah yang tepat. Namun pelaksanaannya sepertinya hanya sampai pada tingkat administratif saja. Namun yang substansinya baliak ka nagari ialah kembali menerapkan adat dan budaya Minangkabau seutuhnya tidak hanya dalam wilayah administrative tapi juga meliputi kembali ke sistim adat secara keseluruhan. Surau sebagai elemen yang sangat menentukan dalam pendidikan Sumbar harus dibangkitkan kembali. Diperlukan tekat yang kuat dari penyelenggara Propinsi untuk mewujudkan hal ini baik berupa Perda atau keputusan dari pemerintah Provinsi agar setiap Nagari di Sumbar mendirikan satu surau pernagari serta memfasilitasi infrastruktur maupun suprastrukturnya. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan kita nanti bisa melihat tumbuhnya kembali surau dan generasi muda Minang kembali menyelami ilmu pengetahuan secara lebih mendalam. Beberapa tahun kemudian kita akan melihat munculnya Surau Politik, Surau Kimia, Surau Matematika, Surau IPtek sehingga Minangkabau tidak lagi membicarakan diri sendiri namun Bangsalah inilah yang akan membicarakannya.

Kapitalisme aja deh...


Sepertinya diskursus tentang neo liberalisme dengan kapitalisme masih saja mengundang perdebatan hangat. Banyak yang melihat kapitalisme dengan pandangan penuh curiga dan menganggap biang kerok dari permasalahan bangsa ini adalah akibat dari kapitalisme tersebut. Atau mungkin karena menganggap jargon ini berasal dari dunia barat yang nota bene bukan berasal dari kita ?

Kalau di analisa lebih lanjut. Indonesia menjadi sangat terpuruk seperti sekarang ini karena setengah setengah menjalankan system ekonomi liberalisme. Pemerintah hanya menjalankan berdasarkan permintaan dari lembaga donor macam IMF dan Paris Club tanpa meletakkan prinsip prinsip dasar Kapitalisme. Nah inilah yang memiskinkan kita sesungguhnya. Paling sedikit ada dua ide pasar kapitalis yang musti dipenuhin apabila ingin bangkit dari keterpurukan selama ini yaitu pengakuan terhadap hak usaha individu dan kebijakan perekonomian yang rasional

Di Indonesia tidak diakui sebenarnya hak kepemilikan Individu. Sehingga perusahaan perusahaan asing maupun Usaha Kecil Menengah (UKM) perlu berpikir panjang untuk menanamkan assetnya di Indonesia. Dalam sistem negara modern, pengakuan negara atas hak kepemilikan dan perlindungan terhadapnya menjadi keharusan. Tanpa jaminan hukum atas hak kepemilikan, setiap individu dapat menjadi korban birokrasi yang korup, politisi dan aksi premanisme dan maraja lelanya pungutan pungutan liar. Dengan realita seperti ini apabila Pemerintah benar benar serius ingin menarik investasi ke Indonesia maka hak kepemilikan pribadi harus dijamin secara hukum oleh Negara. Masalah ini sering terjadi ketika pemilik UKM ingin mengembangkan usahanya menjadi lebih besar. Ketiadaan pengakuan hukum atas usaha mereka menyebakan sulitnya untuk meminta kredit dari Bank. Contoh kongkrit adalah China, Negara yang beranjak menjadi Negara kapitalis besar di Asia ini meliberalisasi sector keuangan dengan memanfaatkan Bank. Dana pembangunan yang sebelumnya mengandalkan alokasi anggaran Pemerintah mulai diserahkan kepada perbankan yang nerupakan pilar mekanisme pasar. Semangat rakyat dirangsang untuk mengembangkan perekonomian. Hasilnya dalam beberapa tahun saja produksi pertania melejit. Ditambah lagi dengan keseriusan Pemerintah China mempromosikan lokasi yang bisa dujadikan investor mendirikan perusahaan nya di China, sebutlah Guangdong, jiangsu, Shanghai dan banyak lagi. Setiap investor yang berniat menanamlan modalnya dichina juga mendapat skala yang luas dan ijin jangka waktu penggunaan tanah ataupun Hak Guna Bangunan (HGB) yang lebih panjang daripada Indonesia.

Kapitalisme juga menganut paham rasionalitas, kaum liberalis menginginkan produksi barang yang sebesar besarnya dan mencari keuntungan yang maksimal. Untuk ini perlu rasionalisasi dalam system produksi. Baik itu dalam pembagian kerja maupun kalkulasi biaya produksi. Untuk ini juga dibutuhkan kebijakan yang rasional dari pemerintah Negara tempat mereka menanamkan modal. Hal ini juga tidak ada di Indonesia kebijakan tidak memihak kepada penanam modal baik itu kebijakan dalam pajak perdagangan , suku bunga dan sebagainya. Pemerintah China memiliki keunggulan dengan kebijakan yang dibuat mengenai investasi terkesan mudah, tidak bertele tele baik dari awal hingga selesai menjaluin kerjasama. Pelayanan ijin ijin apapun seperti ijin bentuk usaha, NPWP maupun mengadukan permasalahan yang timbul cukup dilayani di satu atap jadi tidak seperti di Indonesia yang musti melalui birokrasi berbelit yang berujung maraknya pungutan liar. China juga menerapkan strategi khusus dalam pajak. Consumer tidak terbebani oleh pajak yang mencekik leher, kalau di Indonesia terdapat pajak daerah dan bermacam pajak lagi sementara china menetapkan pajak tertinggi adalah 17%.

Nah singkatnya..saya melihat ada jalan pintas yang cukup cepat dilalui dibanding dengan terus meperdebatkan ideologi dan system ekonomi yang cocok untuk menandingi liberalisme kapitalis sementara Bangsa ini masih tetap terpuruk. Kenapa kita tidak menceburkan diri saja secara menyeluruh kedalam system liberal ini dengan membentuk fondasi prinsip prinsip dasar dari liberal itu sendiri ? Negara Negara yang murni menerapkan system ekonomi pasar kapitalis tingkat kesejahteraannya cukup merata dibandingkan dengan Negara kita misalnya yang belum sepenuhnya menjalan system ekonomi ala liberal tersebut..

Bagimana ? anda tertarik ?



Kebijakan Impor beras dan derita Petani


Kalau setiap anak sekolah ditanya apa cita citanya, mungkin mayoritas menjawab mau jadi Dokter atau Pilot . Mungkin tidak ada yang jawab akan menjadi Petani padahal menjadi Petani adalah pekerjaan yang teramat mulia.Begitu juga bila ditanya Ibu ibu apakah mau punya menantu seorang Petani ? Tentu tidak, apa sebab ? karena memang Petani selalu menjadi bagian lapisan masyarakat yang berada di strata terbawah, amat jauh dari kemakmuran. Kapan Petani akan makmur ? mungkin harus ditanyakan pada rumput yang bergoyang, selain petani selalu saja dilanda musim kering, harga pupuk mahal, hama, puso , program pemerintah juga tidak ada yang memihak pada Petani.

Kini baru saja Petani sedikit lega dengan naiknya harga gabah hasil produksinya,izin impor beras turun dengan dalih mendukung program untuk rakyat/warga miskin. Padahal, baru dua bulan lalu pemerintah menegaskan akan mempertahankan kebijakan larangan impor beras hingga akhir tahun karena perkiraan produksi dalam negeri yang masih di atas kebutuhan konsumsi. Kebijakan impor ini sangat konyol karena sebentar lagi Petani akan panen Raya dan diprediksikan akan terjadi surplus sehingga impor beras sebenarnya tidak dibutuhkan. Lebih konyolnya lagi harga beras yang akan dibeli dari Impor tersebut lebih mahal (yaitu seharga Rp. 3.400/kg) dari pada harga beras yang dibeli dari Petani (yakni Rp.2.900/kg) dengan kualitas beras yang sama. Dari sini kita menilai bahwasanya Pemerintah lebih membela Petani luar dibanding Petani negeri sendiri. Petani sangat dirugikan karena dengan impor beras tersebut serta didistribusikannya kepada Pasar akan merusak harga pasar dan otomatis mengurangi pendapatan Petani dengan menurunnya harga gabah. Ataukah memang ini tujuan Pemerintah ? Impor beras ini memang sengaja dilakukan untuk mengontrol harga gabah Petani yang cenderung naik belakangan ini. Ini berarti Petani memang tidak akan pernah hidup makmur di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini.

Sekali lagi kebijakan yang dikeluarkan kali ini dirasa tidak melalui perhitungan dan pengetahuan yang matang dari Pemerintah. Sehingga pantas dicurigai adalah hasil dari lobi pengusaha importer yang berada di lingkaran kekuasaan. Sementara Petani tetap menjadi bagian yang dikorbankan demi kepentingan pihak yang berkepentingan dalam impor tersebut.

Beginilah jika Pucuk Pemerintahan dipenuhi oleh saudagar saudagar yang gila akan kedudukan dan harta. Pemerintah tidak lagi membela Petani, Partai Politik juga tidak menyadari bahwasanya Petani adalah konstituen mereka terbesar di Negara ini sehingga tidak patut untuk diperjuangkan. Lalu siapakah yang akan membela Petani kita untuk lebih baik dari keterpurukannya ?

Duh Ayah dan Ibu…semoga sawah dan ladang kita tetap berair musim ini.