Peta Jalan Bali: Babak Baru Penyelamatan Hutan Indonesia

Padang Ekspres


The United Nations Climate Change Conference (UNCCC) 2007 yang berlangsung di Denpasar 4 Desember 2007 – 15 Desember 2007 lalu dinilai sukses dengan dilahirkannya beberapa kesepakatan penting diantaranya Bali Road Map. Bali Road Map ini merupakan kesepakatan aksi adaptasi, pengurangan emisi gas rumah kaca, transfer teknologi dan keuangan yang meliputi adaptasi dan mitigasi.

Konvensi ini berjalan alot karena sikap keras negara-negara maju seperti Amerika Serikat yang selalu menjadi penghalang utama kesepakatan yang akan diambil dalam konvensi. Sikap Amerika Serikat ini disertai oleh Kanada dan Jepang yang juga tidak menyetujui target penurunan emisi karbon yang diperbesar (deeper cut) bagi negara-negara maju yakni sebesar 25-40 persen pada 2020.

Penolakan tiga negara maju ini berdasarkan kekhawatiran bahwa penurunan emisi karbon akan mengganggu kepentingan ekonomi negara mereka. Sebaliknya Uni Eropa dan negara-negara berkembang yang tergabung dalam G 77 + China menyetujui target tersebut bahkan meminta kesepakatan itu bersifat mengikat dan masuk deklarasi Bali.

Perdebatan sengit di konvensi itu memberikan gambaran yang jelas bahwa negara-negara berkembang sudah menunjukkan komitmen mereka untuk melakukan penyelamatan hutan. Namun sebaliknya negara maju terutama AS, Kanada dan Jepang belum menunjukkan komitmen yang tegas terhadap penurunan gas emisi karbon,

Padahal penurunan emisi karbon adalah faktor yang paling esensial untuk mengurangi efek pemanasan global. Pengamat lingkungan dan LSM pemerhati lingkungan menuding negara-negara dunia terlalu tunduk dengan kemauan AS, sehingga hasil konvensi kurang memenuhi apa yang seharusnya menjadi solusi dari problem dunia yang paling mendesak saat ini.

Dari tabel 1 terlihat bahwa Amerika, Kanada dan Jepang termasuk peringkat atas penghasil emisi karbondioksida terbesar dunia .

Tabel 1: Negara penghasil gas CO2 terbesar dunia perkapita

Negara

Emisi CO2 perpopulasi (juta ton)

Perkapita (ton)

Australia

226

10,7

AS

2790

9,3

Afsel

222

4,6

Rusia

661

4,6

Jerman

356

4,3

Polandia

166

4,3

Kanada

144

4,3

Korsel

185

3,8

Spanyol

148

3,7

Ingris

212

3,5

Jepang

400

3,1

Itali

165

2,8

China

2680

2,0

Ukhraina

79,1

1,7

Turki

102

1,4

Iran

86,2

1,3

Yhailand

76.4

1,2

Meksiko

101

0,9

India

583

0,5

Indonesia

92,9

0,4

Sumber: Carma/CGD

Presiden Conferency of The Parties (COP) 13 UNCCC, Rachmat Witoelar secara keseluruhan melaporkan tiga hal penting dari hasil konvensi UNCCC di Bali, pertama tercapainya kesepakatan dunia yang disebut Bali Road Map. Bali Roadmap meliputi lima hal yaitu Komitmen Pasca 2012 (AWG on long-term cooperative action under the convention), Dana Adaptasi (Adaptation Fund), alih Teknologi (Technology transfer), REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation).) dan CDM (Clean Development Mechanism).

Kedua, disepakatinya 4 agenda yaitu; 1. Aksi untuk melakukan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim. 2. Cara-cara untuk mereduksi emisi Gas Rumah Kaca. 3. Cara-cara untuk mengembangkan dan memanfaatkan teknologi ramah iklim (climate friendly technologi ). 4. Pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi. Sedangkan kesepakatan ketiga adalah adanya target waktu yaitu 2009.


REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation)

Salah satu poin terpenting yang dihasilkan dan berkenaan langsung dengan Indonesia adalah disetujuinya program REDD. Program ini bertujuan untuk memperluas cakupan kegiatan penurunan emisi tidak hanya melalui pencegahan deforestasi tapi juga melalui upaya penurunan kerusakan hutan.

Secara keseluruhan, kondisi sumber daya hutan dan lahan Indonesia saat ini ditandai oleh kerusakan lahan dan hutan yang mencapai 59,2 juta hektar (dephut 2007). Pada periode 1982-1990 laju deforestasi tercatat 0,9 juta hektar pertahun. Pada periode 1990-1997 naik menjadi 1,8 juta hektar pertahun dan 1997-2000 menjadi 2,8 juta hektar pertahun. Pada kurun waktu 2000-2006 laju deforestasi turun menjadi 1,19 juta hektar pertahun.

Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), mengungkapkan data yang berbeda. Pada periode 1985-1997 tercatat sebesar 1,6 juta hektare (ha) per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta ha per tahun atau yang tertinggi di dunia. Data 2007 menunjukan, sekitar 2,72 juta ha hutan Indonesia musnah tiap tahunnya.

Dengan adanya program REDD ini, negara hutan tropis akan melindungi keberadaan hutannya untuk menyerap emisi karbon dari negara maju. Sebagai imbalan, negara maju akan memberikan bantuan dana dan teknologi kepada negara hutan tropis.

Inggris misalnya siap mengucurkan dana untuk Indonesia dengan menjadikan Indonesia sebagai kandidat kuat mendapatkan US$ 30 juta melalui Forest Carbon Partnership Facility (FCPF). Inggris juga telah menyiapkan US$ 1,6 miliar melalui Environmental Transformation Fund (ETF) untuk mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang.

Program ini memang berpotensi besar mendatangkan aliran dana ke negara-negara yang memiliki hutan luas seperti Indonesia. Meskipun begitu terdapat beberapa hal yang musti diperhatikan terkait dengan pelaksanaan program ini;

1. Pelaksanaan kegiatan REDD akan memiliki potensi kebocoran karbon sehingga sulit untuk menjamin bahwa penurunan emisi yang terjadi di wilayah bersifat nyata dan terukur. Misalnya keberhasilan melindungi kawasan hutan konservasi yang dijadikan proyek REDD dari upaya konversi menjadi lahan pertanian, bisa saja berdampak pada meningkatnya konversi hutan di kawasan yang tidak menjadi sasaran proyek REDD. Dengan demikian karbon yang diselamatkan pada satu kawasan tersebut sifatnya tidak nyata karena telah meningkatkan kehilangan karbon dari kawasan hutan lain.

2. Indonesia belum memiliki teknologi dalam memperkirakan luasan tutupan hutan dan kerusakan hutan dengan akurasi yang cukup tinggi seperti yang dimiliki Brazil ( lihat di www.dpi.inpe.br/prodesdigital/prodes.html). Sehingga sulit menentukan luasan tutupan hutan dan kerusakan hutan dengan metodologi analisis dari citra satelit yang dipakai saat ini.

3. Terdapat kemungkinan besar terjadinya benturan antara program REDD dengan masyarakat yang selama ini mengambil manfaat dari hutan berdasarkan hukum adat yang telah mereka warisi turun temurun.

4. Mekanisme REDD diterapkan pada kawasan hutan produksi, kawasan hutan konservasi atau lindung, hutan gambut, hutan tanaman industri (HTI) dan sawit. Karena kompensasi REDD hanya terbatas pada kelima kawasan hutan itu, maka hanya pihak Pemerintah, Perhutani dan pengusaha saja yang memiliki konsesi atau berhak mengelola kompensasi dana REDD.

Namun terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi laju emisi dari kegiatan deforestasi dan degradasi hutan (REDD).

1.Mengkaji ulang skema REDD dengan memasukkan masyarakat sebagai unsur yang turut serta dilibatkan sehingga berhak mendapatkan kompensasi dana REDD.

2. Melarang hutan alam di konversi menjadi hutan tanaman industri atau perkebunan. Hutan tanaman industri atau perkebunan harus dibuka di dalam kawasan hutan yang sudah mengalami kerusakan berat atau tidak produktif. Selama ini pembukaan hutan tanaman industri dan perkebunan justru di hutan alam dimana hasil penjualan kayu hutan alam dijadikan biaya pembangunan hutan tanaman industri dan perkebunan tersebut.


3.
Melarang konversi lahan gambut menjadi hutan tanaman industri dan perkebunan. Pemerintah sesegera mungkin mengeluarkan program restorasi hutan gambut yang sudah rusak dengan memperbaiki kondisi hidrologi-nya serta mempecepat laju regenerasi hutan gambut melalui kegiatan pengayaan alam buatan.

4. Menekankan kembali kewajiban melaksanakan sistem pengelolaan hutan yang berkelanjutan sesuai dengan pedoman dalam aturan internasional untuk Reduced Impact Logging (RIL) dimana Indonesia ikut dalam menandatangani kewajiban ini.


5. Memverifikasi ulang data luas hutan yang ada sehingga lebih dapat dijustifikasi keakurasiannya melalui analisis yang lebih rinci.

6. Melakukan sesegera mungkin perhitungan tingkat emisi dari hutan dengan menggunakan data yang sudah diperbaharui (sesuai hasil dari kegiatan butir 5) dengan metode yang direkomendasikan oleh sekretariat UNFCCC. Apabila hal ini tidak dapat ditunjukkan, kemungkinan kualitas hasil perhitungan akan dinilai rendah dan akan mempengaruhi nilai tawar atau harga jual karbon dari REDD Indonesia.

Meninggalkan Adat, Memajang Agama

Pareman adalah topik yang sedang hangat dibahas di Palanta Rantaunet beberapa hari ini. Pareman kalau di tarik akar katanya berasal dari Free Man atau orang bebas. Bebas dalam artian tidak punya pekerjaan atau pengangguran, bebas dalam artian dia berhak melakukan apa saja yang diinginkannya tanpa mengindahkan orang lain.

Topik ini sesungguhnya menarik karena fenomena kerajaan preman ini menyebar diseluruh nusantara bahkan dunia. Disetiap kota yang penduduknya padat atau pusat perekonomian, pusat keramaian separti terminal, tempat wisata dan sebagainya corps preman ini hampir dipastikan selalu ada. Mulai dari tukang palak, copet, pengutip uang kemanan hingga preman berdasi.

Premanisme di Sumatra barat mudah terlihat begitu menginjakkan kaki ke Bandara Internasional Minangkabau (BIM). Ketika kaki mulai menginjak halaman bandara detik itu pula agen taksi dan angkutan bandara akan datang menghampir dan tak jarang terjadi menarik-narik antara agen bus dan supir taksi dengan calon penumpang. Tindakan premanisme ini tentu saja meninggalkan kesan yang menyeramkan terhadap bandara BIM.

Tindakan premanisme lainnya sering kali kita jumpai di terminal-terminal besar macam aur kuning bukit tinggi. Mulai dari agen tiket yang memaksa membeli tiket bus tertentu hingga tukang angkat barang yang memalak penumpang dengan menurunkan barang dari bagasi bus dengan meminta bayaran yang tidak masuk akal.

Sesungguhnya banyak lagi tindakan premanisme di sumbar yang bisa kita bicarakan. Namun tulisan ringan kali ini tidak akan membahas fenomena ini lebih lanjut namun akan memberikan sedikit tinjauan dari sudut pandang penulis terhadap fenomena ini.

Palanta Rantaunet sebagai milis paling aktif yang membicarakan keminangan, beranggotakan berbagai macam latar belakang sosial, pendidikan dan ekonomi yang berbeda. Tak heran setiap komentar ataupun analisis sederhana yang muncul lebih bersifat subjektif sesuai latar belakangnya itu. Namun secara garis besar dapat dikelompokkan kepada yang pro adat, pro agama, dan diantara keduanya.

Bagi yang pro adat maka asal usul premanisme di sumbar ini lebih disebabkan oleh tidak efektifnya ceramah agama, pengajian, khutbah yang disampaikan oleh ustad2 yang menguasai agama. Isi atau matan dari pengajian yang disampikan hampir tidak menyentuh sisi moral dan akhlak umat. Pengajian yang disampaikan hanya berputar kepada isu nasional atau hukum agama/fikih saja.

Bagi yang pro agama maka pihak yang paling bertanggung jawab adalah adat dan budaya minangkabau yang berisikan ajaran yang mengajarkan orang untuak cadiak, lipeh, menang sendiri. Tentu saja hal ini di di perkuat oleh kenyataan para penghulu adat sekarang yang tidak mempunyai kepemimpinan yang mumpuni bagi kaumnya.

Selain dua kelompok itu juga ada yang menyalahkan pemerintah daerah yang tidak mampu menanggulangi premanisme yang bersumber dari lemahnya kemampuan ekonomi masyarakat. Pengangguran adalah penyebab utama munculnya tindakan premanisme di sumbar.

Sesungguhnya ketiga pendapat itu adalah benar semuanya. Gejala premanisme ini adalah masalah yang penuh kompleksitas dan dialami oleh hampir setiap daerah di indoneisa.

Kalau kita merujuk kepada ajaran adat MInangkabau maka premanisme atau tukang palak atau cadiak/licik/lipeh itu adalah sangat bertentangan dengan adat MInangkabau. Sistem adat MInangkabau berdasarkan atas keseimbangan antara individu dan masyarakat

Nan rancak diawak, katuju dek urang

Sakik diawak sakik diurang; lamak diawak lamak dek urang

Kok mandapek awak, urang jan maraso kahilangan handaknyo

Ajaran adat MInangkabau inilah yang dinamakan adat sabana adat, adat nan tak lapuak dek hujan dan tak lakana dek paneh. Ajaran ini sesuai dengan adagium adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

Sehingga kalau kita menilik lebih jauh ajaran adat minangkabau dan ajaran agama Islam maka tidak ada pertentangan atau saling menegasikan antara keduanya khususnya dalam kasus premanisme ini. Aturan beradat dalam masyarakat banyak sekali atau boleh dikatakan hampir keseluruhannya telah mengalami asimilasi dengan ajaran islam.

Nan tuo dimuliakan, nan ketek dikasihi, samo gadang dipabasokan

Ada prinsip kebersamaan disitu. Seluruh persoalan bersama yang muncul di masyarakat didasari oleh prinsip sehina semalu. Meskipun kamanakan si anu yang berbuat jahat namun semua masyarakat ikut menanggung malu.

Hati gajah samo dilapah, hati tungau samo dicacah

Nan kayo tampek batenggang, nan cadiak tampek batanyo

Nan tidak samo dicari, nan lai samo dimakan, mandapek samo balabo, kahilangansamo barugi, sasakik sasanang.

Jadi jelaslah terlihat prinsip kebersamaan, sahino samalu, hubungan baik sesama manusia mendapatkan tempat utama dalama adat MInangkabau. Dalam ajaran Islam sendiri, prinsip kebersamaan, akhlak yang baik mendapat tempat utama . seperti hadist Nabi yang mengatakan bahwa “ Sesungguhnya aku di utus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak manusia”. Atau dalam surat Al Ankabut 45 yang artinya “sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan Munkar”.

Kalau sudah begitu mengapa premanisme tetap tumbuh dalam masyarakat yang ditopang penuh oleh adat Minangkabau yang luhur dan ajaran Islam yang lurus ? Jawaban mudahnya adalah masyarakat Mnangkabau telah meninggalkan adat MInangkabau. Petatah petitih dianggap kuno dan tak terpakai. Sedangkan agama hanya di jadikan pajangan saja. Seperti alas sembahyang yang dijemur diatas balkon sebagai pertanda yang punya rumah adalah Muslim.

Atau kalau mau sedikit berspekulasi maka ajaran adat dan agama itu tidak berpengaruh. Lihat saja tetangga singapura yang tak memiliki adat seluhur MInangkabau dan juga bukan muslim. Penduduk mereka teratur, disiplin, sejahtera dan selalu menjaga kebersihan. BUkankah kesemuanya itu intisari ajaran adat MInangkabau dan Islam ? lalu mengapa masyarakat MInangkabau yang memiliki kedua-duanya ternyata tidak bisa berlaku seperti rakyat singapura ? jawaban mudahnya adalah pemerintah Indonesia dan Sumatra barat khususnya tidak mampu mengatur kehidupan masyarakat, tidak mampu mengakkan hukum dan kedisplinan bagi warganya.

Akhirnya kesemua pembahasan kita bermuara kepada pembenaran semua opini yang ada di palanta rantaunet. Premanisme memang penuh kompleksitas dan membutuhkan pemahaman semua pihak untuk ikut mencarikan jalan keluar permasalahan ini.

Namun satu hal yang penting untuk disadari. Orang rantau dan orang ranah itu layaknya sebuah tubuh yang apabila satu organnya sakit maka organ yang lain akan merasakan hal yang sama. Sehingga ketika ada hal buruk yang terjadi maka tidak ada saling mencaci atau menyalahkan yang bermuara kepada kepicikan. Prinsip sahino samalu yang ada dalam nilai adat kita musti dihidupkan kembali.

Bagaimanapun juga preman di ranah dalah korban berputar kencangnya peradaban. Mereka korban ketidak adilan sosial. Mereka adalah korban tidak meratanya pendidikan. Mereka adalah korban kecilnya lapangan kerja yang tersedia. Mereka adalah korban persaingan global yang makin memuncak.

Oleh karena itu sebagai korban maka sepantasnyalah mereka mendapatkan kasih sayang dari kita. Walaupun tidak dengan memberikan uang atau pekerjaan setidaknya tetap menganggap mereka sebagai bagian dari kita yang butuh perolongan dan penyelamatan. Bukan cacian dan hinaan. Dengan itulah mereka merasa dihargai dan tentunya harga diri kita juga.

Dahsyatnya Rumah Makan Padang

Sebagai Orang Minang tentu saya ikut bangga dengan bertebarannya Rumah makan padang di seantero negeri ini. Meskipun kadang kebanggaan itu harus saya tebus dengan setiap hari mengkonsumsi masakan Padang yang menurut istri saya yang orang Minang gadang dirantau itu adalah masakan yang sangat tidak sehat. Tidak sehat karena banyak lemak, bersantan dan memacu kolesterol juga tidak sehat dikantong. Setidaknya bila dibandingkan makan di warung tegal misalnya.

Bagaimanapun juga rumah makan padang adalah salah satu kalau tidak satu-satunya kebanggaan kita yang tersisa saat ini. Sekedar rujukan bahwa orang minang masih piawai dalam berdagang dan mempunyai keunggulan yang patut dibanggakan.

Secara konsep rumah makan padang sesungguhnya mencerminkan “isi’ dari keminangan sesungguhnya. Sebuah dapur yang menghasilkan beragam cita rasa yang masing-masing berupa unit otonom. Konsep rumah makan padang yang tegas dengan identitas keminangan namun tidak semata-mata menonjolkan keminangan yang kaku , terlalu percaya diri dan suka membanggakan diri..

Keluarga istri saya yang memiliki usaha rumah makan padang di Lampung yang cukup laris memiliki kiat tersendiri agar pelanggan tetap ramai. Mereka tidak memasak makanan yang memakai resep asli (original Receipt) tetapi menyesuaikan rasa dengan lidah orang Lampung atau jawa yang menjadi target pasar. Masakan yang dibuat tidak terlalu pedas sehingga pelanggan yang mayoritas bersuku Jawa tersebut tidak kepayahan mengunyah dendeng balado misalnya.

Begitu juga nenek saya yang punya tiga rumah makan di Jogja. Rendang yang dimasak tidak selayaknya rendang asli MInang yang berwarna hitam dan berminyak karena disangai lebih dari 4 jam. Kalau dimasak sepetri itu maka orang akan menganggap rendang yang dimasak itu hangus, jadilah rendang di rumah makan padang di Jawa khususnya berwarna coklat ke abu-abuan karena tidak disangai dengan api kecil terlampau lama.

Inovasi dan kreativisme yang muncul didapur rumah makan padang sejagad itu adalah cerminan falsafah MInang dima bumi dipijak disinan langik dijunjuang, kalamak dek awak katuju dek urang. Perubahan yang terjadi dalam resep masakan adalah suatu keniscayaan bila ingin tetap eksis didalam persaingan yang telah mengglobal. Bila identitas keminangan dibungkus dengan rasa ke-egoan yang tinggi, kaku, jumud maka barangkali rumah makan MInang tidak menjamur seperti sekarang. Rasa identitas keminangan tetap terpelihara namun tetap menerima perubahan dari luar. Itulah kunci eksistensi rumah makan minang yang dapat saya simpulkan.

Sesungguhnya dinamisasi konsep rumah makan padang adalah contoh ideal bagi perkembangan sosial budaya dan ekonomi masyarakat Minangkabau. Bila ingin tetap bertahan dengan identitas cultural, keunikan maka setiap perubahan harus kita terima, saring dan pakai mana yang sejalan demi kemajuan masyarakat minang itu sendiri. BIla tetap bertahan dengan apa yang ada sekarang maka secara budaya, sosial dan ekonomi minang itu akan tergerus jaman karena jaman terus berubah.

Ada seorang teman yang selama ini mengaku menjadi pengamat Minangkabau khususnya perjalanan organisasinya menyatakan para pedagang Minang/saudagar terkesan telah kalah dan menyerah dengan persaingan dan percaturan ekonomi yang telah menglobal. Semakin banyaknya oraganisasi minang yang mengerucut kepada bidang kajian tertentu adalah ekspresi ketidak berdayaan dari tekanan akibat persaingan. Temu saudagar MInang yang diadakan di Padang belum lama ini menurutnya adalah membuktikan hal itu. BIla saudagar MInang itu telah mampu unjuk diri mengapa pula akan berkumpul sesama Minang ? lebih jauh lagi masih menurut teman saya itu saudagar yang berkumpul dimomentersebut itu pastilah saudagar yang sama-sama litak (lapar). Bila ternyata daging yang mereka harapkan tidak bertemu jua maka tidak musthail antara mereka akan saling memakan.

Tentunya saya tidak mengamini saja apa yang disampaikan teman saya itu. Tapi hipotesanya yang mengerikan itu masuk akal juga. Semasa kuliah dulu saya termasuk mahasiswa yang anti kemapanan. Sangat anti terhadap barat termasuk orang Indonesia yang sekolah keluar negeri dan pulang menenteng iajazah gelar sarjana bergengsi.

Setelah memasuki dunia kerja saya memahami bahwa sikap anti kemapanan dan ketidak sukaan terhadap lulusan luar tersebut sesungguhnya ekspresi dari ketidakmampuan bersaing dengan lulusan luar.

Setidaknya ada 4 faktor yang menyebabkan lulusan dalam negeri tidak mampu memenangi persiangan bahkan sekedar menyamai. Pertama faktor bahasa, boleh dikatakan sedikit sekali mahasiswa dalam negeri yang menguasai dengan fasih bahasa inggris. Padahal rekrutmen perusahaan besar semacam multinasional mensyaratkan itu. Kedua, kualitas lulusan dalam negeri terus terang belum memenuhi permintaan perusahaan,kalau dibandingkan dengan lulusan luar maka lulusan dalam negeri lebih tidak siap kerja. Ketiga, masalah keuangan, lulusan luar negeri tentu saja berasal dari keluarga kaya yang mampu menyekolahkan anaknya keluar negeri. Faktor ini sedikit banyak mempengaruhi kenapa banyak mahasiswa dalam negari menjadi anti kemapanan. Keempat, terakhir faktor gengsi. Lulusan luar negeri memiliki gengsi yang jauh melebih lulusan dalam negeri sehingga gampang mendapatkan pekerjaan.

Hal itulah sesungguhnya pencetus kenapa saya dan banyak mahasiswa lainnya cenderung membentuk kelompok anti kemapanan, anti barat, anti liberalisme yang berkembang di badan-badan intra sekolah bahkan mayoritas pengurus BEM. Jadi bukannya karena ingin menyatukan persepsi dan jejaring tetapi lebih sebagai ungkapan kekesalan dan ketidakberdayan menghadapi persaingan

Lalu apa korelasinya dengan rumah makan padang ? hal sebaliknya terlihat pengusaha rumah makan padang tidak pernah membuat perkumpulan rumah makan padang kecuali arisan-arisan nagari. Kalaupun ada hanyalah dilapisan minoritas yang mau diperkuda oleh elite yang gila organsiasi dan gila jabatan. Pengusaha rumah makan padang dengan tetap mengusung identitas budaya yang jelas namun mampu mengakomodasi perubahan, tetap berdiri tegak, kokoh tanpa goyah oleh badai krismon yang mengguncangkan sendi2 ekonomi masyarakat. Dengan memodifikasi resep masakan, sembari tetap mempertahankan identitas budaya. Ya..rahasianya cuma itu mau menerima perobahan demi eksis tensi dalam persaingan ekonomi yang makin mengglobal. Bukannya megerucut kedalam malah berkembang keseantero jagad. Ini dadaku, mana dadamu !