Leiden is Lijden

Leiden is lijden, “memimpin adalah menderita”, sebuah pepatah kuno belanda yang disampaikan oleh Mr. Kasman Singodimedjo untuk menggambarkan kesulitan ekonomi yang dialami oleh pimpinan perjuangan saat itu. Mohammad Roem dalam Karangan berjudul “Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita” (Prisma No 8, Agustus 1977) mengisahkan keteladanan Agus Salim sebagai pemimpin yang mau menderita.

Kasman dan Roem melihat H. Agus Salim hidup dengan keadaan yang sangat sederhana, penuh kekurangan dan terbatas secara materi. Padahal H Agus Salim adalah tokoh dan pimpinan perjuangan kala itu yang juga memimpin Syarekat Islam yang sangat berpengaruh dalam pergerakan bangsa ketika itu.

Potret memimpin adalah menderita juga terlihat begitu jelas pada sosok Bung hatta. Proklamator ini juga menjalani hidup yang sederhana. Bung Hatta pernah mengalami kesulitan untuk membayar tagihan listrik, telpon dan air karena gaji pensiunnya tak cukup untuk membayar semua tagihan itu, sehingga Ibu Rahmi Hatta harus mengirim surat pada Bung Karno yang pada saat itu masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Bahkan, hingga ajal menjemput, Bung Hatta tidak kesampaian memiliki sepatu merk Bally yang begitu diidam-idamkannya.

Begitulah, Seorang pemimpin yang memahami hakikat leiden is lijden adalah manusia yang siap hidup untuk memberikan pengabdian penuhnya kepada negara atau komunitas yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang memahami hakikat leiden is lijden adalah manusia yang mampu bertindak benar diantara kesulitan-kesulitan dan masalah berat yang terhidang diatas meja pengabdiannya.

Pemimpin yang memahami hakikat Leiden is lijden adalah manusia yang ditakdirkan untuk memimpin, terlahir untuk memimpin karena muncul dari rahim persada yang dialiri darah kebaikan dan tumbuh dalam ruang lingkup moral budaya yang agung.

Pemimpin negarawan

Kepemimpinan yang ditunjukkan oleh H. Agus Salim dan Bung Hatta diatas adalah kepemimpinan yang dijalani oleh negarawan sejati. Tokoh tersebut menjadi pemimpin adalah berawal dari keterpanggilan untuk memimpin bangsa dan bukan karena panggilan profesi. Sehingga kekuasaan bagi mereka adalah sarana untuk mendatangkan kesejahteraan, kemakmuran dan kedamaian bagi rakyat.

Dalam kondisi berbangsa dan bernegara saat ini, faktor keterpanggilan karena profesi lebih kuat merasuki calon pemimpin bangsa ini. Mungkin pada awalnya pemimpin kita bertujuan mulia untuk memberikan perubahan kearah yang lebih baik. Namun, sejalan dengan apa yang dikatakan Lord Acton kekuasaan yang mutlak rentan disalahgunakan (power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely). Godaan materi dan kekuasaan yang kuat serta diperburuk oleh moral yang buruk membuat pemimpin berbagai tingkatan tergoda menyalahgunakan kekuasaannya untuk korupsi dan tindakan yang merugikan negara lainnya. Mereka meraih dan mempertahankan kekuasaan dengan segala cara dengan mengorbankan manusia lainnya.

Kita akui, menjadi pemimpin negara sebesar Indonesia memang tidaklah mudah. Lao Tzu (500 SM)mengatakan “memerintah negara besar adalah mirip dengan menggoreng ikan kecil”, apabila sering dibolak balik ikannya akan hancur menjadi bubuk. Berbeda dengan menggoreng ikan besar yang meskipun dibolak balik ikannya tetap utuh untuk menggambarkan memerintah negara yang kecil.

Untuk mampu memeirntah dinegara sebesar Indonesia ini memang dibutuhkan negarawan yang mampu memaknai bahwa memimpin adalah menderita. Indonesia adalah negara yang majemuk yang terdiri dari berbagai macam kepentingan. Pemimpin seperti itu adalah pemimpin yang rela mengorbankan waktu dan pikirannya demi bangsa dan negaranya. Pemimpin yang tidak memandang latar belakang politik dan agamanya. Pemimpin yang memberlakukan adagium “ ketika tugas negara dimulai, maka kepentingan politik berakhir”. Artinya seorang pemimpin atau pejabat negara harus berkonsentrasi untuk mengurus negara dan mampu menentukan prioritas antara kepentingan negara dengan kepentingan golongan dan pribadi.

Kepemimpinan inilah yang telah diperlihatkan oleh H. Agus Salim, Bung Hatta dan lainnya. mereka siap menderita demi kepentingan bangsa dan negara. Lalu, apakah calon pemimpin yang saat ini berlomba-lomba untuk memenangkan kursi sebagai penguasa dengan mengiklankan diri secara gencar di media massa memahami hakikat memimpin adalah menderita ?

Sudah selayaknya sifat-sifat kenegarawanan para pemimpin kita terdahulu perlu diinternalisasikan ke dalam tiap diri calon-calon pemimpin kita saat ini. Bangsa ini butuh keteladanan dan sikap-sikap kenegarawanan yang lain. Mudah-mudahan kita selalu mampu mengambil hikmah dari para pemimpin-pemimpin kita di masa lalu, dan menjadi inspirasi bagi masa depan bangsa.

Anda mungkin belum melihat pemimpin seperti ini, tapi percayalah pemimpin seperti ini terus ada, terlahir disetiap generasi hanya saja untuk menemukannya saya dan anda harus bersikap dewasa dan objektif dalam melihat dan menilai seseorang. Jangan melihat seseorang seperti melihat dari lubang pintu, memicingkan sebelah mata. Tapi mundurlah selangkah dan buka kedua mata, maka saya dan anda akan melihat dunia seluas samudera.

Anda tentu menginginkan pemimpin seperti itu terlahir dari rahim ranah Bundo, sama seperti saya, tapi anda sedikit telat, karena saya telah melihat calon pemimpin seperti itu. Anda mau tahu ? mundurlah selangkah dan buka kedua mata, Insya Allah anda akan mampu melihatnya.

The Restriction on Double Positions

The bureaucracy is the element of the nation whose activities touch the lives of the citizens. Each policy issued by the bureaucracy really influences the foundations of social and national lives. Therefore, the double positions’ prohibition is certainly an appropriate policy to be supported.

A bureaucratic reform is a step in the improvement of the process against the disintegration of the bureaucracy. The improvement step does not only remove the discriminatory bureaucracy service. It also must be able to improve the professionalism of public officials.

In order to achieve those, Finance Minister Sri Mulyani and Minister of State-owned Enterprises Sofyan Jalil agreed to issue a Join Decree (SKB) on Double Positions. This issue began with the attention paid by the Corruption Eradication Commission (KPK) to a number of government officials who have double positions in the State Enterprises (BUMN). KPK considers that the double positions are susceptible to the behaviors of corruption.

Double positions can be found in almost all departments, especially the departments that are related to BUMNs. Technical officials in these departments usually held the positions of the commissioners in BUMNs. This precedence got the justification from Vice President Yusuf Kalla who said that double positions were legal for government officials to secure the government’s interests. However, the double positions have often caused the behavior of corruption.

Salary Standardization

Public policy expert Ichsanoedin Noorsy stated double positions prohibition must be followed by the standardization of the remuneration of public officials. The prohibition of double positions is intended to concentrate public officials to be responsible for one position. For that purpose, it is required a repair of operational system, appreciation, as well as reward system.

Like Noorsy, political observer Denny Indrayana also said that the raise of public officials’ remuneration must be done in order to support the prohibition of double positions in BUMNs. This is related to the remuneration system in Indonesia that is below standards, encouraging public officials to look for sources of additional incomes.


The opinions of the two observers are fully true because the standards of the public officials’ remuneration at this time are lower when compared for example to the Governor of the Central Bank or with the managing Director of the Mandiri Bank that can reach billions of rupiahs. However, this step must be followed by a legal action that is certain and strict against those who still have double positions or those who commit violations in the implementation of their tasks.

Before SKB, the double positions’ prohibition has been added in the Indonesian regulations: firstly, the PP 100/2000 on the Appointment of the Civil Servants (PNS) in the Structural Positions. The Article 8 of the PP states that PNS that occupies a structural position can not occupy double positions: structural and functional positions.

Secondly, the PP 47/2005 on the Change in PP 29/1997 on the PNS who occupy the double positions. The Article 2 of the PP states that the exceptions to the double positions are the public prosecutors, the researchers, and the designers. However, it is stressed in the Article 2 (1), that PNS is prohibited to occupy the double positions.

With the expected SKB of two ministers, there will be no double positions by public officials, so each official can be focused in carrying out his or her task without being disturbed by the corruption temptations.

Recommendations:

1. The double positions’ prohibition must be accompanied by the increased standards of remuneration for the public officials.

2. It must also be followed by sanctions that are firm and strict for the public officials who still have double positions.

3. The positions that are left by public officials must be filled up through a recruitment system that is clear and transparent so that these positions will be occupied by professional officials.