Lagi-Lagi soal Minangkabau

Setelah melihat laporan MDG 2007-2008 yang di keluarkan BAPPENAS saya merasakan sedikit kelegaan sekaligus keterkejutan. Lega karena ternyata Sumatera Barat ternyata berada dibawah rata-rata proporsi penduduk miskin di Indonesia yang dalam kisaran 16,6 % . Artinya penduduk miskin di Sumatera Barat lebih sedikit dari Propinsi Sumara Selatan, Bengkulu, Lampung bahkan Jogjakarta. Peringkat teratas di huni oleh Papua yang proporsi masyarakat miskinnya sebanyak 40,8 % dari jumlah penduduknya. Terkejut, karena fakta dan data ini telah menohok penilaian saya selama ini bahwa Sumatra barat telah ketinggalan dalam segala hal dari propinsi-propinsi lainnya.

Dalam pergaulan dengan teman-teman di rantau pertama kali kesan yang tertangkap adalah kekhawatiran akan masa depan MInangkabau yang berada dalam masa yang paling buruk dalam sejarahnya. Hal ini juga diperkuat oleh banyaknya buku maupun makalah yang dibahas di seminar-seminar bahkan obrolan ringan di berbagai mailing list urang awak yang kesemuanya menyimpulkan hal yang sama.

Yang menjadi pertanyaan; apakah yang mendasari pendapat kita itu selama ini ? apakah kita telah berasumsi tanpa menggunakan data yang valid yang dapat dipertanggung jawabkan metodologinya ? ataukah kekhawatiran kita itu bersumber dari ketidaktahuan atau buta sama sekali dengan kondisi di ranah ? Ataukah kita yang salah menggunakan indikator dalam menilai kondisi masyarakat di ranah ?

Saya pikir faktor ketiga ada benarnya. Selama ini kita cenderung menilai baik itu di rantau maupun diranah sedikitnya jumlah tokoh politik yag berasal dari Minangkabau adalah satu-satunya indicator kemunduran MInangkabau. Kesalahan fatal ini membuat kita tiba kepada suatu kesimpulan bahwa MInangkabau sedang berada di tepi jurang. Sementara itu masih banyak indicator lainnya yang seharusnya menjadi tolak ukur penilaian kita sehinga setiap asumsi kita dapat di pertanggungjawabkan kebenarannya.

Kompilasi Hukum Adat

Dalam berbagai perbincangan di berbagai kesempatan wacana yang santer terdengar saat ini adalah keinginan untuk menyusun kompilasi hukum adat. Wacana itu berawal dari kesimpulan sementara bahwa kemunduran masyarakat Minang dalam segala sector itu bersumber dari ketiadaan kepastian hukum adat yang bersumber dari jargon Adat Basandi Syarak, Sarak basandi Kitabullah (ABS-SBK). Sehingga dengan di buatnya kompilasi hukum adat maka masyarakat Minang akan mempunyai pedoman yang jelas sehingga mampu menyelesaikan setiap persoalan hidupnya.

Pembuatan kompilasi hukum adat saya pikir memang ide yang menarik, namun keampuhannya untuk menyelesaikan segala persoalan yang membelit masyarakat MInangkabau saat ini saya pikir perlu di kaji lebih lanjut.

Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan terkait wacana ini. Sesungguhnya adat minangkabau terkenal dengan kebisaaan lisannya baik itu berupa kaba maupun petatah petitih yang bermakna dalam. Kebisaaan bertutur kata inilah yang membuat orang Minangkabau dikenal sebagai orator yang ulung. Sehingga ranah minang kemudian dikenal sebagai ranah kata-kata. Seorang mamak akan menurunkan ilmunya melalui petatah petitih dan bermacam ragam alua ke kemenakannya. Begitu juga para pemuda nagari dalam pergaulan di lapau bagi yang berminat akan mendalami budaya lisan dari negeri kata-kata itu. Budaya lisan yang mengasyikkan inilah kemudian hari tidak berlanjut kepada budaya penulisan. Karena keahlian berbicara, berdebat dan menggunakan petatah petitih dalam suatu alua tidak bisa berpedoman kepada buku atau sumber tulisan lainnya tapi murni mengandalkan keahlian dan kelincahan berfikir semata.

Begitu juga hukum adat maupun budaya yang berkembang dalam masyarakat minangkabau tidak bisa digeneralisasi dalam satu kompilasi semata. Karena adat salingka nagari maka setiap nagari bisa mempunyai adat dan budaya sendiri-sendiri yang bisa saja jauh berbeda dengan nagari lainnya. Sehingga bisa dibayangkan berapa banyak kompilasi hukum adat yang musti dicetak pernagari oleh karena perbedaan tersebut.

Kelebihan kompilasi ini adalah kemudahan bagi peminat untuk mengakses keingintahuannya kepada adat minangkabau. Sehinga bagi yang besar dirantau kompilasi ini akan berguna sekali. Namun lagi-lagi kefektifannya tetap bergantung kepada minat untuk mempelajarinya. Seperti halnya hukum positif Indonesia yang terdokumentasi dengan baik boeh dikatakan mayoritas rakyat Indonesia tidak mengetahui dan tidak berminat untuk mempelajarinya.

Satu kekhawatiran kita apabila kompilasi ini dianggap sebagai jalan keluar maka akan mematikan keunggulan budaya lisan minangkabau selama ini. Generasi muda tidak akan berusaha menggali minatnya dengan mewarisi tradisi lisan tersebut karena mengandalakan kompilasi tertulis yang itupun belum tentu akan terbaca dan terpahami dengan baik.

Kehawatiran ini saya pikir memang suatu kewajaran mengingat keteledoran kita berpijak kepada data yang belum tentu benar atau bahkan sama sekali tanpa data sehingga resep yang ditulis bukanlah formula yang sebetulnya dibutuhkan oleh tubuh Minangkabau.