Quo Vadis Pemekaran

Delapan tahun terakhir laju pemekaran daerah seperti tidak terbendung. Hingga tahun 2007 sudah ada 165 daerah baru terbentuk, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Daerah otonom baru hasil pemekaran ternyata tidak bebas dari beragam masalah sehingga penghentian sementara (moratorium) pemekaran wilayah menjadi usulan yang berkembang di kalangan DPR, DPD, dan pemerintah.

Usulan ini bermula dari permintaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) untuk menghentikan sementara pembentukan daerah baru. Hasil audit investigatif yang dilakukan oleh BPK menunjukkan kinerja keuangan daerah pemekaran baru sangat memprihatinkan. Banyak daerah baru yang tidak mempunyai kemampuan secara ekonomi. Akibat pemekaran, pemerintah memecah DAU dan DAK suatu daerah menjadi dua, untuk daerah asal dan daerah baru. Pada akhirnya, dua daerah ini sama-sama tak lagi mampu memenuhi kebutuhan mereka.

Selain mengandalkan dana dari pusat, daerah baru hasil pemekaran juga kekurangan SDM yang mampu menjadi aparatur pemerintahan yang baik. Auditor tingkat IV BPK Baharuddin Aritonang memaparkan, 83 persen dari 148 daerah hasil pemekaran kondisi keuangan daerahnya tidak memenuhi syarat. Selain itu, sering terjadi kekacauan di sejumlah daerah antara lain konflik perebutan posisi Ibu Kota seperti yang terjadi di kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah.

Evaluasi

Menurut Ryaas Rasyid Anggota Komisi II DPR, ada tiga kelompok utama yang paling besar merasakan keuntungan yaitu birokrat, partai politik (parpol), dan pengusaha setempat. Pemekaran wilayah membuka lowongan pejabat yang tentu memberi kesempatan birokrat memegang jabatan. Calon anggota legislatif (caleg) yang semula tidak terpilih dalam pemilu bisa menjadi caleg dengan terbentuknya DPRD di daerah otonom baru. Bagi pengusaha, terutama yang berpartisipasi sejak awal pembentukan daerah, kesempatan menjadi penyedia berbagai kebutuhan daerah baru sangat terbuka lebar. Hal inilah yang menyebabkan pemekaran daerah menjadi lahan korupsi yang empuk sehingga sangat bertentangan dengan prinsip good governance.

Hasil evaluasi yang dilakukan Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dari Nopember 2006 sampai Maret 2007 terhadap 48 daerah otonom baru misalnya menunjukkan penurunan rasio pendapatan asli daerah (PAD) dalam APBD di daerah otonom baru sebesar 5,02 persen (2003) menjadi 4,73 persen (2004). Artinya, ini merupakan indikasi kalau ada ketergantungan anggaran ke pemerintah pusat. Selain itu, belanja publik di daerah otonom baru lebih kecil di bawah 50 persen daripada belanja aparatur.

Moratorium

Moratorium baru dapat dilakukan pemerintah jika evaluasi daerah otonom baru hasil pemekaran sudah dilakukan.Evaluasi yang dilakukan terhadap daerah otonom baru harus dilakukan secara berkesinambungan. Penilaian daerah otonom baru, dilakukan setelah tiga tahun sejak pembentukan dengan aspek penilaian berupa kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, dan penduduk. Apabila ternyata daerah otonom baru tersebut dinilai gagal, maka daerah otonom tersebut diberi waktu maksimal lima tahun untuk memperbaiki kinerjanya. Apabila tetap gagal, daerah otonom tersebut dapat dihapus dan digabung dengan daerah otonom lain sesuai Pasal 14 Peraturan Pemerintah (PP) No. 129/2000.

Untuk menghentikan sementara pemekaran yang semakin tak terkendali, pemerintah harus mendorong revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Syarat-syarat pemekaran harus diperketat, termasuk teknis pelaksanaan verifikasi calon daerah otonom baru. Pemerintah juga perlu mempunyai kajian mendalam tentang daerah otonom baru sesuai dengan kemampuan negara baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Menteri Dalam Negeri harus segera merevisi PP No. 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Moratorium paling mungkin dilakukan pada akhir 2007 mengingat persiapan menyongsong pelaksanan Pemilu 2009.

Membangkitkan Semangat perubahan

Sebuah perbincangan tahun lalu:


Tarimo kasi Da Nofrin St. batuah..ambo sangaik sapandapek baraso nan
dibutuhkan SUmbar adolah good manager bukannyo good birokrat..seorang
manger sudah pasti birokrat yang baik namun birokrat yang baik belum
tentu manager yang baik…kita bisa contoh tetangga kita
Jambi..gubernurnya adalah pengusaha muda yang sukses kemajuannya
sungguh mencengangkan PAD meningkat 300 % lebih sehingga saat ini
pendapatan mereka sudah jauh melangkahi Sumbar. Kita tengok juga
gorontalo yang dipimpin oleh pengusaha sukses juga..PAD nya juga
melesat jauh….jadi apa poin yang bisa kita ambil ? Serahkanlah sesuatu
pada ahlinya….hahaha..

Sejauh yang saya pahami sebagai orang awam dalam sector ekonomi..yang
dibutuhkan sebagai landasan awal adalah kebijakan pemerintah daerah.
Bagaimana agar investor mau menanamkan modalnya di daerah kita. Itu
dulu.. kalau selama ini gubernur Cuma bergaul dengan kalangan LSM
local yang tak jelas ujung pangkalnya, atau dengan "perantau yang
oportunis" bagaimana investor akan tertarik ?..mbok pergaulan gubernur
diperluas ke lingkaran pengusaha2 pribumi maupun asing yang
sesungguhnya sangat banyak bertebaran di Jakarta..itu salah satu
kelebihan gubernur Jambi. Nah produk hokum dan regulasinya tentu juga
sangat berpengaruh termasuk bagaimana membangun birokrasi satu atap !!

Dalam sector ekonomi rakyat..selama perda tanah ulayat belum selesai
maka sesungguhnya banyak hal yang bisa dilakukan. Dengan perekonomian
berbasis nagari misalnya. Setiap nagari bisa diharuskan membentuk
Usaha Bersama Nagari. Yang paling cocok adalah sector agrobisnis.
Modal bisa didapat dengan memberikan kemudahan kemudahan dalam
peminjaman ke koperasi atau Bank. Usaha Nagari ini akan mendatangkan
lapangan kerja bagi anak nagari itu sendiri dan apa usahanya saya rasa
setiap nagari mempunyai keunggulan tertentu. Bagaimana pemasarannya ?
itu lah yang musti dipikirkan bersama oleh Pemda2 yang ada…jadi
sebaiknya berhenti mengkambing hitamkan masalah tanah ulayat !

Saya rasa tidak sulit sesungguhnya mencari keunggulan komparatif yang
dimiliki sumbar selama Pemerintah mempunyai keinginan untuk itu dan
mau membuka diri dengan masukan2 yang membangun. Selama ini saya lihat
rakyat bahkan pemerintah Sumbar sendiri masih terlena bahwa Sumbar
daerah yang kaya, pemandangannya elok, orangnya pintar2..masih terpaku
pada romantisme masa lalu padahal dalam realita Sumbar sudah
ketinggalan kereta sementara kapal kepadang juga sudah berlayar (
meminjam judul film).

Salah satu yang perlu kita sadari juga..sesungguhnya tolak ukur
kehebatan atau kepintaran atau kecedasan suatu suku bangsa tidak bisa
diukur dari derajad intelektual semata yg selama ini kita percayai).
Selama ini banyaknya tokoh tokoh politik dan agama dari sumbar sudah
memperdaya kita dan kita terlena. intelegensi tidak hanya diukur dalam
masalah social dan politik saja namun termasuk intelegensi dalam
ekonomi..kalau hatta, natsir, tan malaka dll memang hebat. Tapi pada
masa itu memang dibutuhkan banyak tokoh politik dalam
perjuangan..sekarang yang dibutuhkan orang berjiwa
pengusaha/entrepreneurship yang mampu memanfaatkan potensi ekonomi
rakyat. Jadi berhentilah menganalogikan orang sukses adalah orang yang
keluar masuk Koran sebagai politikus atau anggota DPR.

Spirit itulah yang musti di munculkan lagi bahwa saat ini Sumbar bukan
apa apa lagi, era hatta , tan malaka, sutan syahrir sudah lewat. Yang
dibutuhkan saat ini adalah jiwa yang mampu bangkit untuk mengejar
ketertinggalan dalam bidang ekonomi. Kalau generasi muda minang mau
maju dan berhasil maka berkaryalah dalam bidang ekonomi. Tidak usah
semuanya bercita cita jadi tokoh politik seperti Hatta dkk karena itu
tidak akan membuat rakyat minang menjadi sejahtera, kita tahu sejarah
bisa mebunuh anaknya sendiri seperti halnya PRRI..

Mungkin itu dulu ya da sutan..saya bukan ahli ekonomi (sesuatu yang
cukup saya sesali ) sehingga mungkin sanak sanak yang lain lebih paham
dan mengerti bagaimana caranya mencari peluang2 ekonomi yang layak di
speed up di sumbar

Kerangka Acuan

Kerangka Acuan

Seminar

Ranah Minang Gadih Manih Nan Manunggu Pinangan;

”Potensi dan Peluang Investasi Industri Pariwisata

Sumatra Barat”

Latar Belakang

“The world is flat” begitu kesimpulan Thomas Friedman, seorang kolumnis tersohor dari the New York Times. Sesudah menyaksikan efek globalisasi dalam berbagai bidang, dia “menantang” kesimpulan Copernicus.

Dinamika ekonomi dan politik internasional tidak lagi menjadi aktifitas yang terisolasi di arena global saja. Dinamika itu memiliki dimensi dan efek lokal yang sangat tinggi. Dalam laporan Bank Dunia tahun 2000, kecenderungan desentralisasi dan globalisasi disinyalir berjalan secara bersamaan. Desentralisasi dari tingkat nasional ke sub-nasional dipandang sebagai sebuah metode untuk membuat kinerja pemerintah jadi lebih efisien. Lebih jauh lagi, desentralisasi membuat unit-unit yang berkompetisi di tingkat internasional bisa menjadi lebih kecil. Kompetisi di bidang perdagangan dan investasi misalnya, tidak lagi merujuk pada tingkat negara, tetapi sudah pada tingkat sub-nasional.

Yang menarik dari fenomena ini adalah desentralisasi membuat pemerintah dan dunia usaha di tingkat sub-nasional memiliki peluang untuk menaklukan globalisasi demi peningkatan kesejahteraan populasi di wilayahnya. Ini adalah ilustrasi betapa masyarakat lokal memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap globalisasi. Tentu perlu kita garis-bawahi bahwa globalisasi itu bukan semata-mata berkiblat kepada kekuatan kapitalisme barat, tetapi bisa juga berafiliasi dengan kekuatan peradaban timur seperti Cina, Jepang, dan India misalnya.

Dengan konteks ini, maka seminar mengenai peluang dan tantangan investasi bidang pariwisata di Sumbar jadi lebih relevan. Paling tidak terdapat tiga alasan utama yang membuat seminar ini menjadi penting.

Pertama; World Tourism and Trade Center (WTTC) menyatakan bahwa sektor pariwisata saat ini merupakan industri terbesar didunia, sektor ini telah menjadi salah satu penggerak utama perekonomian abad 21 bersama dengan industri telekomunikasi dan teknologi informasi. Perkembangan industri pariwisata yang sangat dinamis dan terus diperkuat oleh kemajuan tingkat kesejahteraan ekonomi didunia, menjadikan pariwisata memiliki peran penting dalam pembangunan perekonomian bangsa-bangsa didunia. Pariwisata bahkan dimasukkan kedalam hak azazi manusia sebagaimana dinyatakan oleh John Naisbitt dalam bukunya Global Paradox yakni bahwa “where once travel was considered a privilege of the moneyed elite, now it is considered a basic human right”.

Kedua; Sumatra Barat sebagai daerah yang sudah dikenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata nasional tentu saja menyadari prospek pariwisata sebagai unggulan daerah masa depan. Liberalisasi wisata yang berpotensi untuk dikembangkan oleh Sumbar terutama adalah keindahan alam (natural beauty). Pemerintah Propinsi dibawah pimpinan Gamawan Fauzy dan Pemerintah Daerah yang ada di Sumatra Barat telah memiliki komitmen yang sama untuk menjadikan Sumatra Barat sebagai tujuan wisata nasional terdepan. Kombinasi antara tersedianya potensi wisata yang sangat besar dengan komitmen bersama pemerintah akan mendatangkan peluang yang besar pula bagi Saudagar Minang untuk menanamkan investasinya di Sumatra Barat.

Ketiga; Masyarakat Minang memiliki sejarah berhasil menelurkan Saudagar-saudagar unggulan. Bangsa Indonesia merasakan kontribusi yang sangat besar dari Saudagar yang berasal dari Minang. Hasyim Ning, Bagindo Muhammad Nur misalnya, adalah figur-figur terkemuka dimasa perjuangan Republik Indonesia. Figur-figur ini bukanlah lahir tanpa konteks. Mereka adalah orang-orang yang sangat memahami arena perdagangan Nasional, internasional dan etika dagang. Jaringan dan kesadaran jati diri yang mereka miliki membuat mereka menyiapkan diri secara strategis menjadi Saudagar yang berpengaruh.

Pernyataan bahwa dunia itu datar makin nampak valid. Siapapun bisa memanfaatkan dunia dan diuntungkan, asal dia mampu membaca tren global. Hal ini mengingatkan kata-kata seorang ilmuwan, Louis Pasteur, beberapa abad yang lalu yaitu, ”Fortune favors the prepared mind.” Melalui Silaturahmi Saudagar Minang 2007 (SSM 07) dan cita cita mulia Masyarakat Pecinta Pariwisata Sumatra Barat (MAPPAS), segenap masyarakat dan Saudagar Minang bisa menghasilkan “prepared mind” untuk menyongsong masa depan yang cerah.

Menyadari relevansi yang begitu signifikan antara maksud dan tujuan SSM 2007 dengan visi dan misi MAPPAS dalam memajukan tingkat kesejahteraan masyarakat Sumatra Barat maka MAPPAS bermaksud mengadakan seminar yang bertajuk: Potensi dan Peluang Investasi di Industri Pariwisata Sumatra Barat. Seminar ini akan menghadirkan pembicara Walikota Sawahlunto Bapak Amran Nur dan juga pakar marketing nasional Bapak.....serta didampingi oleh pengamat pariwisata dari MAPPAS.

Tujuan

1. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang besarnya peluang investasi bidang pariwisata di Sumatra Barat.

2. Meningkatkan rasa memiliki dan kepedulian Saudagar Minang nasional maupun internasional untuk membangun Industri Pariwisata Sumatra Barat.

Output

1. Meningkatnya pengetahuan dan pemahaman tentang besarnya potensi investasi masa depan yang sangat besar di Sumatra Barat khususnya dalam bidang pariwisata.

2. Meningkatnya keinginan Saudagar Minang nasional maupun internasional untuk berinvestasi di Sumatra Barat demi bakti kepada Nagari dengan turut serta membangun industri pariwisata Sumatra Barat.

Kalayau

Huh..

titik lemah mana lagi yang telah kau serang, hingga aku bertekuk lutut seperti rumput rebah ditebas bilah
Sayatan pisau pesonamu menyabik dinding kaca yang terakhir, nyata kibaran bendera putih tak menghalangimu merobohkan singgasanaku,

Seperti kalayau kau terus mengincar sebongkah daging hidup ini , yang akhirnya tercerabut dari hitamnya air mata yang mengalir deras seperti champagne
jeritan kesakitan dan tangisan pengibaan berkumandang di lembah penantian, luka itu kembali terkuak dan seperti lucifer engkau tersenyum puas
aku.. hanya mampu terduduk tertekuk menyerah dan kalah

huh..

lorong waktupun mengukir kisah ini di lembar perjalanan hidupku,
tubuh indah , senyum menawan, geliat manja dan desah pengharapan itu telah menawanku dan membawaku kealtar persembahan Sang Freja