demokrasi pornografi


Masyarakat Indonesia termasuk diantara masyarakat paling problematic di dunia. Fenomena pro kontra Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) sedikit banyak membuktikan hal itu.. Tidak hanya masyarakat awam, tokoh pers , seniman dan bahkan agamawan turut bersuara mengenai perlu tidaknya RUU ini. Sebuah produk hukum yang benar-benar menguras energi banyak kalangan.

Pro kontra berkepanjangan ini tidak akan usai bila belum memahami bangunan masyarakat Indonesia sesungguhnya. Masyarakat Indonesia dan kompleksitas kebudayaannya masing masing adalah plural dan heterogen. Tersebarnya 500 suku bangsa di Indonesia mencerminkan bahwa kadangkala berbagai kelompok masyarakat di Indonesia tidak bisa disatukan kepentingannya dengan yang lain.

Ke-heterogenan masyarakat Indonesia ini tak pelak juga memunculkan berbagai polemic yang sangat melelahkan. Selain polemic agama juga terdapat polemic etnis serta sentiment gender. Keseragaman yang dipaksakan lewat RUU ini boleh jadi merupakan tindakan kekerasan social atas adat istiadat dan budaya manusia yang telah menjadi entitas kolektif sejak ratusan tahun lalu atau malah pengingkaran dari dasar negara Pancasila ?.

Demokrasi Pancasila

Keanekaragaman budaya, agama,etnik, norma social berpotensi menimbulkan ketegangan dalam relasi antar individu maupun kelompok dimasyarakat. Begitu juga ketika mempersoalkan antara posisi agama dan Tuhan dalam Negara. Sesungguhnya ketika bangsa ini dibangun founding fathers kita telah memahami bahwa dialog dan interaksi rasional mempunyai tempat yang penting didalam merumuskan identitas sebagai bangsa yang . Satu kesadaran yang berawal dari kearifan untuk menangkal disintegrasi bangsa dikemudian hari akibat potensi konflik yang dimiliki bangsa ini. Produk dari pemahaman tersebut lahirlah Pancasila sebagai dasar filsafat Negara.

Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang melindungi hak hak minoritas. Melalui demokrasi Pancasila kita memahami bahwa Indonesia bukanlah Negara agama dan juga bukan Negara sekuler sehingga dalam struktur Negara tidak menempatkan Agama dan Tuhan dalam konstitusi tertinggi.

Tirani mayoritas ataupun diktator minoritas memang menjadi salah satu kelemahan demokrasi yang sama sama kita sadari. Ketika mayoritas dalam suatu Negara menjadi penentu dengan mengabaikan suara minoritas maka ruang agama pun bisa diusung keruang public/Negara maka lahirlah aturan aturan seperti halnya RUU APP ini. Katakanlah mayoritas umat Islam di Negara ini menginginkan diterapkan RUU APP namun agama lainnya ataupun etnik dan norma social lainnya yang nilainya sedikit berlainan dengan Islam akan menjadi minoritas yang tertindas meminjam istilah Thomas Hobbes dalam Leviathan.Di era demokratisasi seperti sekarang, pola pemberlakuan undang-undang yang cenderung menjadi “leviathan” tidak boleh terjadi. Dengan pemaksaan berlakunya undang undang tertentu yang menafikan kepentingan kelompok etnis minoritas, berarti mengingkari Pancasila sebagai dasar Negara yang berujung kepada disintegrasi bangsa.

Solusi

Menyadari akan potensi konflik berkepanjangan yang telah mengarah ke disintegrasi bangsa hendaknya kita mulai berbicara ke tataran yang lebih praktis untuk menciptakan dataran bersama (common ground). Harus kita akui telah terjadi keresahan yang menyeluruh terutama dari kalangan Islam tentang maraknya pornografi dan pornoaksi terutama di media. Untuk itu kalangan media dan seniman pun musti menyadarai bahwa harus ada aturan yang memuat tentang batasan batasan empiric tentang pemuatan materi yang mengarah ke pornografi maupun pornoaksi.

Ada beberapa pilihan yang logis diambil, pertama; menyetujui adanya UU tentang pornografi namun musti dilalui dengan merevisi ketat RUU sekarang ini yang bisa diterima semua pihak. Untuk itu dalam masing2 kesepahaman tadi pendukung RUU musti memberi pengakuan kepada penentang RUU bahwa musti ada bagian tertentu yang musti diperbaiki atau dihilangkan. Terutama tentang perlunya batasan dan definisi dari porno, erotica serta indicent (tak sopan). Kedua ; membatalkan UU APP dan memperkuat aturan tentang pornografi yang di dalam KUHP. Dalam hal ini penentang RUU APP harus menyadari bahwa pornografi memang musti dibatasi dan diatur dalam pasal tertentu dalam KUHP. Ketiga; membatalkan UU APP namun memperketat UU Pers dan UU penyiaran. Dalam hal ini lebih ditekankan kepada pengaturan media massa sebagai elemen yang paling dominan dalam menyebarkan budaya posmo yang berbau pornografi dan pornoaksi. Keempat ;menjadikan RUU APP ini sebagai perda saja mengingat RUU ini lebih pas diperuntukkan bagi daerah-daerah yang mayoritas penduduknya muslim. Bagi daerah-daerah yang mayoritas penduduknya bukan muslim, tidak perlu dipaksa untuk menerima RUU ini.

Menyoal budaya korupsi


Artikel “KORUPSI: (Seolah-olah) Bagian dari Budaya Manusia” (Harian Padang Ekspres, 04 Maret 2006), menarik untuk dicermati. Pertama, karena salah satu penulisnya adalah pejabat pemerintah (gubernur) yang sering menjadi subyek dan objek dominan dari epidemi korupsi itu. Kedua, meski bukan topic baru, namun gejala korupsi dan upaya pemberantasannya merupakan mandat reformasi yang masih belum tuntas hingga kini.

Korupsi, bukan budaya?

Saya sepakat dengan pemahaman bahwa korupsi bukan bagian dari budaya manusia jika merujuk kepada definisi budaya sebagai nilai-nilai moral yang dianggap baik oleh masyarakat. Saya juga percaya bahwa tendensi untuk “open” dan permisif terhadap praktik korupsi bukanlah budaya masyarakat Indonesia (juga masyarakat manapun). Korupsi juga bukan praktik khas masyarakat Indonesia karena korupsi merupakan sebuah anomali dalam sistem (apapun) dan potensial terjadi di manapun (universal).

Jika demikian halnya maka muncul pandangan (1) terdapat sesuatu yang “salah” dalam sistem tersebut sehingga terdapat ruang atau celah yang memungkinkan terjadinya korupsi; (2) sistem sudah “benar” sehingga yang jadi soal adalah kualitas dan moralitas individu yang terlibat dalam sistem itu. Dalam kasus Indonesia, kedua pandangan itu cenderung terbukti. Birokratisme dalam sistem politik dan ekonomi Indonesia dihiasi banyak celah yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bermoral sehingga benih2 korupsi tumbuh amat suburnya.

Itulah antara lain yang kemudian menimbulkan budaya koruptif tadi.Tak heran saat ini korupsi telah bergerak kearah budaya yang semakin diterima oleh masyarakat ketika korupsi telah begitu melembaga dan ketika moral bangsa semakin mengalami dekadensi dan degradasi. Korupsi yang dulu tabu dan dianggap sangat memalukan kini terang terangan dilakukan tidak lagi minoritas namun telah merasuki mayoritas anak bangsa. Ketika hal ini dibiarkan bukan mustahil korupsi yang sekarang dianggap kejahatan akan berkembang menjadi suatu yang diterima dan dianggap biasa oleh masyarakat..

Menghilangkan praktik korupsi yang telah berurat dan berakar di Negara ini memang tidak semudah membalik telapak tangan. Menurut Prof Selo Sumarjan korupsi adalah suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat seperti halnya kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia. Yang dibutuhkan adalah penanganan yang jelas, sistematis dan berkelanjutan. Paling tidak ada dua pendekatan yang ramai diperbincangkan yaitu pendekatan prefentif ( pencegahan) serta pendekatan represiv (pemberantasan). Permasalahannya pendekatan mana yang lebih pas merujuk kondisi bangsa saat ini ?

Prevention

Jalan keluar yang ditawarkan dalam tulisan Gubernur Gamawan fauzy tentang perlu adanya kurikulum yang sadar korupsi termasuk kedalam tindakan prefentiv/pencegahan. Menumbuhkan kebencian didalam diri siswa terhadap korupsi dan menganggap korupsi adalah perbuatan yang merendahkan harga diri dia dan keluarganya adalah langkah awal dari penumbuhan kesadaran anti korupsi.

Sebenarnya pendekatan ini telah lama di pahami dan diterapkan di Negara ini. Pendidikan dan pengajaran di sekolah sekolah telah menempatkan korupsi sebagai musuh bersama, begitu juga dengan ceramah ceramah di mesjid yang meninjau korupsi dari sudut agama. Betapa ajaran agama kita mengandung nilai nilai yang menempatkan suap dan korupsi sebagai perilaku yang sangat rendah dimata Tuhan dan masyarakat serta tergolong kepada perbuatan mungkar. Dalam al-Qur'an misalnya, ada ayat yang menyatakan ; "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar." (al-Ankabut; 45).

Realita sesungguhnya himbauan agama itu tidak digubris sebagian masyarakat bahkan oknum agamawan sendiri karena begitu kuatnya pengaruh budaya kapitalis menggerogoti nilai budaya yang menyelusup hingga sendi sendi agama. Sejarah mencatat ketika kasus korupsi DPRD Sumbar terkuak pelaku pendidikan dan pemuka agama (buya) sendiri terjebak kedalam lingkaran hitam yang bernama korupsi.

Represif

Pendekatan represif lebih ditekankan kepada pemberantasan pelaku koruptor itu sendiri. menurut saya pendekatan inilah yang paling pas dengan kondisi masyarakat Indonesia. Koruptor kelas kakap yang mendominasi pelaku korupsi tidak akan tersentuh seketika kalau hanya diperangi dengan tindakan preventif. Kehadiran KPK di Negara ini untuk melakukan penindakan korupsi melalui jerat hukum menjadi agenda utama dalam memberantas korupsi. Dari hal tersebut dipersepsikan bahwa korupsi akan dapat diberantas dan dihabisi dengan mengadili ataupun menindak secara hukum koruptor kelas kakap, mulai dari birokrat, konglomerat hingga mantan Presiden.

Ibarat tubuh manusia, kondisi bangsa ini sudah terlalu parah, bagian yang sudah digerogoti kanker ganas tidak mempan diobati dengan tindakan prefentif namun musti di amputasi dalam arti lain menjerat semua koruptor dengan produk hukum. Tindakan represif ini terbukti manjur ketika diterapkan oleh China. Di Negara non demokrasi tersebut hampir setiap hari ada koruptor yang ditembak mati. Hasilnya selain mengurangi jumlah koruptor juga menimbulkan efek jera dan rasa takut bagi masyarakat lainnya. Dengan begitu pencegahan (preventif) epidemic korupsi pun berjalan dengan sendirinya.

Dalam prosesnya tindakan represif ini tidak hanya ditekankan kepada pelaku saja melainkan secara sistemik melakukan perubahan juga pada pelaku dan struktur yang menentukan wajah system saat ini. Struktur yang ada saat ini musti dipreteli dan dibongkar satu demi satu dan kemudian dilakukan perubahan mendasar perbagian perbagian untuk dipasang lagi menjadi struktur yang bersih dari noda noda hitam masa lalu.

Saya yakin dan percaya Sumatera Barat kedepan akan semakin jauh dari korupsi jika pemimpinnya paham dan mengerti akar permasalahan korupsi serta mempunyai grand design yang jelas tentang cara dan arah pemberantasan korupsi. Kalo mau jujur sesungguhnya bukan hanya metode atau pendekatan konsep yang dibutuhkan namun intensitas dan kesungguhan dari Pemerintah/Pemimpin untuk segera mengambil tindakan. Dan pemimpin itu sudah kita punyai, semoga dengan kecakapan, kesadaran dan pengalamannya Gubernur Gamawan Fauzy akan membawa rakyat Sumbar ke dalam kehidupan yang bebas dari korupsi.

Tulisan ini dapat dibaca di Padang Ekspres