Sambacita

perempuan itu terus terisak
tertatih menelusuri jejak yang tersisa
pada lumpur nestapa, pemberian empunya jiwa
sebuah kaleng rombeng menyertai tiap keluh kesah
bocah legam bergelayut dipunggung
berjuang bersama nyanyian cacing kelaparan

Oh.. perempuan yang menangisi jiwa yang rapuh
Sampai dimanakah cerita kita malam lalu ?
Ingin kubawa engkau kebilik asmara
Dimana kesengsaraan adalah persembahan cinta

fana

Ketukan demi ketukan kukirimkan
Pada dinding tebal sang penjaga hari
Goncangan demi goncangan telah kuhantarkan
Pada kaki penguasa malam

kau..
pujangga yang bersimpuh dikaki dewi kebaikan
telahkah kau temukan jalan itu ?
Deraan angin malam tak kuasa lagi menahanku

Kepakkan sayapmu
Ikuti liukan nafasku
Terimalah kecupan penghabisan dan simpanlah rasa itu
Sebagai makna aku pernah ada


Microsoft – Indonesian Government MoU

The Indonesian update published by The Indonesian Institute

The signing of the Memorandum of Understanding (MoU)
between the RI Government(was represented by the Communications
and Information Minister, Sofyan Djalil)and Microsoft South-East
Asia, on November 14, 2006, reaped the controversy in public
discourse.This MoU contained about the Indonesian government
intention to buy about 35.496 units of Microsoft Windows license
(US$ 274/unit)and 117.480 units of Microsoft Office
(US$ 179/unit) with the total value of Rp 377,6 billion.


The agreement has not been enforced. It mentions that
the Indonesian governmentneeds to consider its capacity
in binding the agreement This will depend on:
(i) the sufficiency of the officional national budget (APBN)
to pay the license;and (ii) the provisions in the procurement
regulation of government goods andservices.The period of MoU
validityis restricted, that is:(i) up to the date the binding
agreement is signed; or (ii) on March 31 2007,
whichever occurs first.


Even thought it has not been implemented, many parties
including the IndonesianInformation Technology community
(IT), accused that the government betrayed
the commitment that was agreed by the previous government.
On June 30, 2004,The Research and Technology Minister,
Communication and Information Minister,the Legal Affair
and Human Rights Minister, Empowering of the State
Apparatus Minister,and the Education Minister, d
eclared the Indonesian go Open Sources (IGOS)


The IGOS Declaration states that the Government and
the peoples agreedto develop and the utilize open source
software, as strategic steps to speed up the information
technology in Indonesia.

Reactions also emerged from 12 members of the Commission I of
House Representatives(DPR). They are organized into
the BroadcastingCaucus. The legislators asked the government
to cancelled the MoU.A Member of the Caucus,
Marzuki Darusman,stated thatthe transaction formalized
in MoU was incompatible with theUU No. 5/ 1999
on business competition.
The Commission for the supervision of Business
Competition (KPPU)has a similar perspective.
This institution considers the MoU
a violation of the Presidential Regulation No. 8/2006 on
the Conduct of the Procurement of goods and services for
the Government.In the regulation, each agency was obliged
to infrom the peopleabout the tender process in the procurement
of any goods and services. Because of that
the House Representativeswill begin to investigate
the case by asking the Communications and Information Minister
(Menkominfo)in the public hearing, February 2, 2007.
Menkominfo denied all the charges. He said that the signing
of MoUwas meant to give the example for the business world
concerningthe importance to use licensed software,and
also asthe implementation of the government commitment
to protectintellectualproperty rights (IPR) in Indonesia.
 
At this time, Menkominfo said that the software piracy rate
in Indonesia is still high (87%), so Indonesia noted in
International Watchlist.This condition was certainly
depraved Indonesian image especiallyin the International
market. Because of this,the Indonesian government made
a commitmentto reduce piracy rate to around 77%
during this 2007.
For the IT community, there is no guarantee that the
piracy rate will decrease after MoU was signed.
If the government indeed had the commitment to protect IPR
the government ought to support the use of alternative
technology open source that could be received
by the peoples for free. In addition, the capacity of the
peoplesand Indonesian business sector are still limited to
purchasethe Windows license.
According to this problem, the government should consider
several steps:
1.  To undertake the commitment as being stated in
the Declaration of IGOS. Then the Indonesian community
could enjoy in using software based open source,
which was more covered campared with software that is not
be based on open source,like software made by Microsoft.
2. If the business world and the government still have
intention to use software that not be based on open
source,it could be done by reducing the cost of purchase
the license only to operation system, not the application
replaceable by open source (Office, Mailer, Browser, etc.).

Pariwisata dan Masyarakat

Teras utama Padang Ekspres
Sabtu 17 Februari 2007


Saya selalu memimpikan Ranah Minangkabau dikunjungi oleh orang-orang dari penjuru dunia karena keelokan alam dan kealamian budayanya. Mereka mendapati alam yang asri dan alami dikombinasikan oleh keramah tamahan penduduknya yang terbuka namun kuat menjaga keaslian budaya dan adat istiadat setempat. Mereka bebas menikmati keberadaan mereka di ranahminang tanpa ada kecemasan apalagi ketakutan dan ketidaknyamanan.

Itulah sekelumit mimpi saya mengenai daerah kita yang merupakan daerah tujuan wisata nasional ini. Kenyataannya sampai saat ini mimpi itu sulit untuk diwujudkan karena sejak dulu belum ada gebrakan yang cukup kuat merubah ke kebuntuan itu. Begitu banyak kendala dan problematika sehingga Sumbar belum menjadi pilihan favorit bagi wisatawan.

Sosialisasi Inklusif

Saya sendiri menilik dari berbagai macam aspek kelemahan mendasar dari industri pariwisata kita yang paling dominan adalah belum dilibatkannya masyarakat secara menyeluruh. Pemerintah sebagai regulator selama ini mempercayai indikator keberhasilan pariwisata adalah jumlah kunjungan wisatawan, tingkat hunian hotel berbintang, jumlah uang yang dibelanjakan dll. Pemerintah belum menempatkan tolak ukur keberhasilan dari kesejahteraan masyarakat yang bersentuhan langsung dengan wisatawan.

Hal ini juga dikuatkan oleh masih terbatasnya sosialisasi ke masyarakat tantang industri pariwisata sumbar sehingga menyebabkan: pertama; Kurangnya kesadaran masyarakat tentang potensi daerahnya serta timbulnya ekses negatif atas keberadaan pariwisata dimata sebagian masyarakat. Tanpa sosialisasi masyarakat kita sesungguhnya tidak menyadari betapa besar potensi alam kita yang apabila dioptimalkan akan mendatangkan kesejahteraan. Malah muncul pendapat dikalangan masyarakat bahwa pariwisata akan menimbulkan akibat negatif bagi budaya dan adat istiadat Minangkabau yang berlandaskan ABS_SBK.

Kedua; tidak adanya rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat terhadap dunia pariwisata khususnya dalam budaya pelayanan. Akibatnya buruknya pelayanan menjadi masalah yang tidak pernah terselesaikan. Efek dari keadaan ini bisa dilihat dari tingginya angka pelaku copet, tukang palak, WC umum yang kotor, sampah berserakan, harga yang melonjak seenaknya dll. Hal ini juga disebabkan pemerintah hanya fokus kepada pembangunan fisik berupa infrastruktur sementara melupakan pembangunan budaya masyarakat terhadap dunia pelayanan pariwisata (hospitality).

Ketiga;Belum dimilikinya pedoman yang komprehensif dalam upaya pengembangan strategi/program pembangunan pariwisata berbasis masyarakat baik dilihat dari aspek kriteria, konsep model (karakteristik daerah) maupun pedoman, mencakup: produk, market, pedoman, pelatihan SDM dan perencanaan bisnis (statement operational procedure) menyebabkan tersendatnya upaya pening-katan peran serta masyarakat di bidang pariwisata.

Pariwisata berbasis Masyarakat

Sesungguhnya jika memahami persoalan yang ada banyak hal yang bisa kita lakukan demi memajukan industri pariwisata Sumbar. Hal yang mendasar sekali adalah melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pariwisata tersebut. Dengan membentuk Community Based Tourism Development (CBT) akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat setempat sekaligus memelihara budaya, kesenian dan cara hidup masyarakat. Sehingga kekhawatiran budaya global akan meracuni budaya Minangkabau yang berlandaskan ABS-SBK bisa di netralisir.

Selain itu CBT akan melibatkan pula masyarakat dalam proses pembuatan keputusan, dan dalam perolehan bagian pendapatan terbesar secara langsung dari kehadiran para wisatawan. Sehingga dengan demikian CBT akan dapat menciptakan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan dan membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga dari peningkatan kegiatan pariwisata.

Salah satu contoh signifikansi peran masyarakat terhadap pertumbuhan industri pariwisata adalah dihidupkannya kembali kereta wisata yang melewati lembah anai. Hal ini dapat di selenggarakan karena adanya stimulant dari masyarakat Sumbar yang tergabung dalam Masyarakat Pecinta Kereta Api Sumbar (MPKAS). Dan bukannya tidak mungkin jika seluruh anak nagari dilibatkan semua potensi pariwisata Sumbar akan terkelola dengan baik dan menyumbang kesejahteraan bagi masyarakat keseluruhan

Yang perlu diperhatikan juga, saat ini telah terjadi perubahan consumers-behaviour pattern atau pola konsumsi wisatawan dunia . Mereka tidak lagi terfokus hanya ingin santai dan menikmati sun-sea and sand, saat ini pola konsumsi mulai berubah ke jenis yang meskipun tetap santai tetapi dengan selera yang lebih meningkat yakni menikmati produk atau kreasi budaya ( culture ) dan peninggalan sejarah ( heritage ) serta nature atau eko-wisata dari suatu daerah atau negara.

Sumatra Barat khususnya mampu menyediakan kreasi budaya yang unik serta mempunyai peninggalan sejarah yang tidak sedikit. Sesungguhnya culture dan heritage ini adalah nyawanya atau “roh” dari kegiatan pariwisata Indonesia dan Sumbar khususnya. Tanpa adanya budaya yang bersumber dari masyarakat maka pariwisata akan terasa hambar dan kering, dan tidak akan memiliki daya tarik untuk dikunjungi. Sepertinya kembali merumuskan daya tarik wisata Sumbar yang menempatkan masyarakat sebagai elemen terpenting adalah sesuatu yang musti dilakukan secepatnya. “West-Sumatera Naturally Asia” adalah gambaran awal keunggulan wisata Sumbar yang sepertinya akan menarik minat wisatawan seluruh dunia untuk berkunjung ke Sumbar.

Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Pertumbuhan Industri Pariwisata Sumatra Barat[1]


Salah satu kelalaian Pemerintah Sumatra Barat yang cukup fatal dalam membangun industri Pariwisata adalah tidak melibatkan seluruh komponen masyarakat dalam pengelolaan pariwisata. Sehingga tidak ada sense of belonging (rasa memiliki) masyarakat terhadap Industri Pariwisata.

Pendahuluan

World Tourism and Trade Center (WTTC) menyatakan bahwa sektor pariwisata saat ini merupakan industri terbesar didunia, sektor ini telah menjadi salah satu penggerak utama perekonomian abad 21 bersama dengan industri telekomunikasi dan teknologi informasi. Perkembangan industri pariwisata yang sangat dinamis dan terus diperkuat oleh kemajuan tingkat kesejahteraan ekonomi didunia, menjadikan pariwisata memiliki peran penting dalam pembangunan perekonomian bangsa-bangsa didunia. Pariwisata bahkan dimasukkan kedalam hak azazi manusia sebagaimana dinyatakan oleh John Naisbitt dalam bukunya Global Paradox yakni bahwa “where once travel was considered a privilege of the moneyed elite, now it is considered a basic human right”.

Sumatra Barat (Sumbar) sebagai daerah yang sudah dikenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata nasional tentu saja menyadari prospek pariwisata sebagai unggulan daerah masa depan. Liberalisasi wisata yang berpotensi untuk dikembangkan oleh Sumbar terutama (satu-satu nya?) adalah keindahan alam (natural beauty), namun keindahan alam yang kita miliki tersebut belumlah dikelola secara maksimal. Sumatera Barat memiliki banyak sekali potensi wisata alam seperti gunung, lembah/ngarai, pantai, laut, goa, sungai, air terjun, danau dan hutan yang masih belum berkelanjutan (sustainable) untuk dikembangkan.

Permasalahan

Pertumbuhan Industri pariwisata di Sumbar beberapa dekade ini terasa berjalan di tempat. Penanganan yang semrawut ditengarai sebagai biang keladi semakin lemahnya daya saing industri pariwisata sumbar dibanding dengan sektor lainnya. Meskipun begitu dari data PDRB tahun 2006 industri pariwisata masih menempati peringkat dua setelah pertanian sebagai penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan banyaknya keindahan alam yang belum diolah dengan baik, tentu saja Industri pariwisata masih memiliki potensi yang lebih kuat untuk melampaui sektor pertanian sebagai sektor utama unggulan Sumatera Barat. Dengan segala keunggulan dan kompetensi Sumatra Barat dalam menyediakan daya tarik wisata yang gejalanya secara global memperlihatkan kembali ke alam (back to nature), sebuah peluang terbentang dihadapan kita bersama. Sekarang tinggal bagaimana kita mengolah dan memanfaatkan keindahan alam yang terbentang agar tidak sia-sia.

Untuk itu sebagai bahan diskusi kita coba memaparkan akar permasalahan maupun kelemahan berbagai aspek pengelolaan wisata Sumatera Barat selama ini.

A. Aspek Pelaksanaan Otonomi Daerah

1. Pembagian kewenangan pemerintah, propinsi dan kabupaten/kota di bidang pariwisata belum didukung dengan pedoman pelaksanaan yang jelas sehingga timbul berbagai penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mekanisme hubungan kerja baik secara vertikal, horizontal belum tertata dengan baik, menyebabkan kesulitan dalam pelaksanaan koordinasi/keterpaduan.

Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPDA) Sumbar sampai sekarang masih terkendala sehingga kalau belum ditetapkan dikhawatirkan akan terjadi tumpang tindih dalam mengembangkan objek wisata. Belum ditetapkannya RIPDA yang diajukan oleh Dinas Pariwisata Sumbar ini akan mempengaruhi kebijakan serupa yang sedang disusun oleh kabupaten/ kota.

2. Pengelolaan pariwisata baik dari aspek manajemen maupun teknis belum sepenuhnya didukung dengan sumber daya manusia yang profesional.

B. Aspek Keterpaduan Pengelolaan

1. Penanganan pariwisata yang bersifat dinamis, multidimensional dan kompleks belum didukung/berlandaskan kesamaan visi oleh aparat pemerintah (pusat, propinsi, kabupaten/kota), kalangan industri pariwisata dan masyarakat, menyebabkan timbulnya egoisme sektoral, kesalahan pemahaman terhadap substansi inti.

2. Kebijakan, pedoman dan standar-standar teknis pariwisata belum didukung oleh sistem informasi yang memadai (teknologi informasi) sehingga me-nyebabkan sosialisasinya kurang efektif dalam rangka mewujudkan kesamaan pandangan dalam pengelolaan pariwisata maupun dalam promosi.

Ini memang masalah yang elementer sekali di Sumbar dimana penerapan teknologi informasi sangat minim. Data yang disajikan WTO terdapat hal yang menarik yakni bahwa dikenali adanya 4 negara kelompok besar penyumbang wisatawan dunia yakni Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan Inggeris yang menyumbangkan 41% dari pendapatan pariwisata dunia. Dari segi teknologi, keempat negara inipun merupakan negara-negara terbesar pengguna teknologi informasi- internet, yakni 79 persen dari populasi internet dunia (tahun 1997) k.l. 130 juta pengguna internet. Angka-angka ini memperlihatkan memang ada korelasi yang erat antara pemakaian teknologi informasi dengan peningkatan jumlah wisatawan di suatu negara. Internet memberikan semua informasi yang dibutuhkan dalam dunia pariwisata. Hingga dikenal new truth dari marketers pariwisata yakni;

“ if you are not online, then you are not on-sale. If your destination is not on the Web then it may well be ignored by the millions of people who now have access to the internet and who expect that every destination will have a comprehensive presence on the Web. The Web is the new destination marketing battleground and if you are not in there fighting then you cannot expect to win the battle for tourist dollars”

2. Pengelolaan pariwisata selama ini lebih mementingkan aspek ekonomi (tingkat pengembalian modal) dari pada mengelola berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal.

Salah satu penyebab terjadinya kegagalan pengembangan wisata di Sumatera Barat, dikarenakan pihak pengelola lebih berorientasi pada pencapaian keuntungan dalam waktu pendek, tanpa perlu lagi memperhitungkan situasi jangka panjang ( selain pelaku besar seperti Restoran/tour Agent juga termasuk copet dan tukang palak).

3. Pengembangan Wisata selama ini lebih berorientasi pada kebutuhan pasar global (market demand global) dan tidak melirik potensi pasar lokal (Based Local spesific market) sebagai segment pasar potensial.

Padahal kita tahu potensi wisatawan lokal sungguh luar biasa terutama memanfaatkan jalur perantau yang kerap mengadakan “Pulang Basamo”. Salah kaprah yang lain adalah dengan memodernisasi setiap lini kehidupan masyarakat termasuk infrastruktur dengan dalih memberikan kenyamanan bagi wisatawan asing. Akibatnya keindahan alam yang alami (natural) tercemar oleh budaya westernisasi yang mengabaikan simbol2 budaya Minang demi mengejar pangsa pasar global / lingked global. Kealamian objek wisata dan budaya Minangkabau yang seharusnya menjadi keunggulan dalam memancing daya tarik wisatawan akhirnya menjadi tidak jelas dan tersia-siakan.


C. Aspek Peran Serta Masyarakat

1. Kurangnya apresiasi pemerintah terhadap peran serta masyarakat, dimana masyarakat lokal serta pengusaha kecil menengah kurang diberi kesempatan untuk terlibat sebagai pelaku industri usaha jasa pariwisata.

Pemerintah sebagai regulator selama ini mempercayai indikator keberhasilan pariwisata adalah jumlah kunjungan wisatawan, tingkat hunian hotel berbintang, jumlah uang yang dibelanjakan dll. Jadi pemerintah belum menempatkan tolak ukur keberhasilan dari kesejahteraan masyarakat yang bersentuhan langsung dengan wisatawan (terutama penduduk sekitar). Kesalahan cara berfikir para stakeholder pariwisata yang berfikir pragmatis bahwa pengembangan pariwisata dikatakan sukses apabila mampu mendulang investor sebanyak-banyaknya. Tanpa melihat bahwa sesungguhnya masyarakat pemilik tanah mampu melakukan investasi diatas tanah yang di milikinya untuk pengembangan wisata.

2. Masih terbatasnya sosialisasi menyebabkan:

a. Kurangnya kesadaran masyarakat tentang potensi daerahnya serta timbulnya ekses negatif atas keberadaan pariwisata dimata sebagian masyarakat (pengkambinghitaman ABS – SBK dan Tanah Ulayat/communal).

b. tidak adanya rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat terhadap dunia pariwisata khususnya dalam budaya pelayanan.

Akibatnya buruknya pelayanan menjadi masalah yang tidak pernah terselesaikan. Efek dari keadaan ini bisa dilihat dari tingginya angka pelaku copet, tukang palak, WC umum yang kotor, sampah berserakan, harga yang melonjak seenaknya dll. Hal ini juga disebabkan pemerintah hanya fokus kepada pembangunan fisik berupa infrastruktur sementara melupakan pembangunan budaya masyarakat terhadap dunia pelayanan pariwisata (hospitality).

3. Belum dimilikinya pedoman yang komprehensif dalam upaya pengembangan strategi/program pembangunan pariwisata berbasis masyarakat baik dilihat dari aspek kriteria, konsep model (karakteristik daerah) maupun pedoman, mencakup: produk, market, pedoman, pelatihan SDM dan perencanaan bisnis (statement operational procedure) menyebabkan tersendatnya upaya pening-katan peran serta masyarakat di bidang pariwisata.

Disini muncul pertanyaan apakah sebelum merumuskan program sudah terlebih dahulu di lakukan survey dan riset mendalam terhadap masyarakat sebagai komponen terpenting?

D. Aspek Promosi

1. Dana yang tersedia bagi pengembangan pariwisata sangat minim, dalam RAPBD tahun 2006 hanya tersedia Rp 13 M itupun hanya tersedot oleh biaya operasional (65 %) dan pembangunan infrastruktur belaka (35%).

2. Promosi selama ini dilakukan tidak terarah & fokus.

Selama ini marketnya terlalu luas demi mengejar pangsa pasar global. Dengan dana yang minim adalah mustahil untuk menggarap promosi secara tuntas ditataran dunia yang begitu luasnya. Sepertinya belum terpikirkan perumusan target pasar yang objektif. Misalnya dengan fokus menggarap hanya 3 negara yang paling potensial contohnya Jepang, Belanda, malaysia, yang selama ini merupakan daftar pengunjung wisatawan terbanyak. Secara sederhana pembagian upaya promosi misalnya akan dapat ditempuh langkah-langkah dimana pemerintah pusat melakukan country-image promotion, daerah melakukan destination promotion sesuai dengan keunggulan daerah masing-masing, sedangkan industri atau swasta melakukan product promotion masing-masing pelaku industri.

Itulah barangkali peta permasalahan yang bisa diuraikan pada kesempatan ini. Memang tidak menyeluruh namun ada beberapa poin yang penting dan mendasar sekali sehingga perlu mendapat perhatian kita bersama .

Optimalisasi Peran Masyarakat

Sesungguhnya jika memahami persoalan yang ada banyak hal yang bisa kita lakukan demi memajukan industri pariwisata Sumbar. Hal yang mendasar sekali adalah melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pariwisata tersebut. Dengan membentuk Community Based Tourism Development (CBT) akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat setempat sekaligus memelihara budaya, kesenian dan cara hidup masyarakat. Selain itu CBT akan melibatkan pula masyarakat dalam proses pembuatan keputusan, dan dalam perolehan bagian pendapatan terbesar secara langsung dari kehadiran para wisatawan. Sehingga dengan demikian CBT akan dapat menciptakan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan dan membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga dari peningkatan kegiatan pariwisata.

Selama ini pemerintah hanya melibatkan pelaku besar (hotel berbintang, Tour & Travel, Restoran besar) dalam merangsang pertumbuhan pariwisata. Tentu saja keuntungan/manfaat dunia wisata Sumbar saat ini hanyalah dinikmati oleh segelintir orang itu saja. Padahal esensi industri pariwisata itu sendiri adalah demi kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Bagaimana agar semua elemen masyarakat mulai dari yang terbesar hingga yang terkecil semua bergerak menjadi bagian dalam suatu system dan menuai pendapatan/kesejahteraan dari apa yang dinamakan industri pariwisata tersebut.

Yang perlu diperhatikan juga, saat ini telah terjadi perubahan consumers-behaviour pattern atau pola konsumsi wisatawan dunia . Mereka tidak lagi terfokus hanya ingin santai dan menikmati sun-sea and sand, saat ini pola konsumsi mulai berubah ke jenis wisata yang lebih tinggi, yang meskipun tetap santai tetapi dengan selera yang lebih meningkat yakni menikmati produk atau kreasi budaya ( culture ) dan peninggalan sejarah ( heritage ) serta nature atau eko-wisata dari suatu daerah atau negara. Sesungguhnya culture dan heritage ini adalah nyawanya atau “roh” dari kegiatan pariwisata Indonesia dan Sumbar khususnya. Tanpa adanya budaya maka pariwisata akan terasa hambar dan kering, dan tidak akan memiliki daya tarik untuk dikunjungi. Sepertinya kembali merumuskan daya tarik wisata Sumbar adalah sesuatu yang musti dilakukan secepatnya.

Oleh karena itu kita berharap dengan dibentuknya Masyarakat Pencinta Pariwisata Sumbar (MAPPAS) ini, keberpihakan pemerintah sebagai regulator kepada masyarakat akan semakin nyata. Untuk memenuhi harapan kita bersama itu terlebih dulu musti jelas positioning MAPPAS dalam menjalan kan program2nya. Apakah hanya sekedar menjadi lembaga think tank Gubernur atau menjadi sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tentu saja bergerak berbasiskan masyarakat demi meningkatkan taraf hidup masyarakat (empowering the grass root). Positioning itu mendasar sekali karena dengan posisi sangat menentukan langkah langkah apa yang akan ditempuh MAPPAS nantinya

Penutup

Demikianlah sedikit pemikiran untuk dijadikan bahan acuan kita bersama dalam membahas kemungkinan akselerasi pertumbuhan pariwisata Sumbar di forum ini. Dengan meningkatkan kemampuan dibidang ini diharapkan upaya pemulihan perekonomian masyarakat akan dapat segera diwujudkan.

Pekerjaan ini memang dirasa sangat sulit dan memakan banyak waktu. Oleh karena itu mari kita nantikan dan dukung kebijakan/program MAPPAS dalam rangka mendorong terciptanya daerah wisata Sumbar yang sarat dengan nilai lokal dan simbol Minangkabau nan humanis. Sehingga warganya bisa berlaku seperti burung jalak dalam Puisi Hujan, Jalak, dan Daun Jambu karya Sapardi Djoko Damono,

mereka tidak mengenal gurindam
dan peribahasa, tapi menghayati
adat kita yang purba,
tahu kapan harus berbuat sesuatu
agar kita, manusia, merasa bahagia. Mereka
tidak pernah bisa menguraikan
hakikat kata-kata mutiara, tapi tahu
kapan harus berbuat sesuatu, agar kita
merasa tidak sepenuhnya sia-sia.




[1] Disampaikan pada pertemuan pembentukan Masyarakat Pencinta Pariwisata Sumatra Barat (MAPPAS) 9 Januari 2007 di Jakarta.