Kemiskinan salah siapa ?

Teras Utama Padang Ekspres 15/8/2006

*************************************
Beberapa waktu lalu, kita dikagetkan oleh berita yang cukup mengharukan. Pemerintah kota Padang melakukan razia terhadap pengemis dan anak jalanan di sepanjang kota Padang. Razia seperti ini sudah berulang kali dilakukan namun sepertinya angka pengemis dan anak jalanan terus bertambah sehingga cukup jadi alasan buat pemerintah untuk memberantas mereka

Mengapa angka jumlah pengemis dan anak jalanan terus bertambah? Berbagai wacana bisa diungkapkan untuk menjawab pertanyaan ini. Tetapi, dari sekian banyak jawaban, yang jelas pengemis dan anak jalanan senantiasa datang dan bermunculan dari daerah-daerah miskin. Di mana ada kemiskinan, di situ ada pengemis dan anak jalanan.

Mengapa di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini masih ada penduduk yang memilih melanjutkan hidup dengan cara mengemis maupun menjadi anak jalanan? Padahal, jika kita perhatikan isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Di situ terbaca dengan jelas, bahwa di antara tujuan kemerdekaan adalah untuk kesejahteraan umum yang didasarkan pada, antara lain, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Begitu UUD 1945 Pasal 34 ayat (1) juga disebutkan: fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Lantas, mengapa negara tak mampu menjalankan tugas yang sudah diembannya sejak tahun 1945, ketika UUD 1945 pertama kali disusun?

Sebenarnya, negeri bukan tidak mampu. Bumi pertiwi yang kita diami ini menyimpan kekayaan alam yang luar biasa. Mengapa rakyatnya tetap miskin, karena negeri ini, lebih banyak diurus oleh orang-orang yang serakah. Karena keserakahan para pejabatnya, negara lalai dengan tugas pokoknya: menyejahterakan rakyat.

Kekayaan alam yang melimpah ruah itu dikuras, diekploitasi, untuk memperkaya diri sendiri. Padahal, sekali lagi, dalam UUD 1945, Pasal 33 ayat (3) tertulis dengan jelas bahwa “bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebenar-besar kemakmuran rakyat.”

Kondisi anak Indonesia, data terakhir menunjukkan, kesehatannya tergolong rendah dibandingkan negara-negara ASEAN lain seperti Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam, dan Vietnam. Itulah kenyataan yang harus kita terima. Dalam laporan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang dikeluarkan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Development Program), peringkat Indonesia terus merosot.

Kita tahu, faktor terpenting yang menentukan peringkat itu adalah menyangkut kesejahteraan ekonomi. Kemiskinan di negeri ini bukan hanya di Sumatera Barat. Kemiskinan sudah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya di desa-desa, tapi juga di kota-kota. Bahkan kemiskinan di kota lebih parah daripada kemiskinan di desa. Karena di desa meskipun miskin biasanya masih punya rumah. Kalau rumah tidak ada pun udara masih bersih, air relatif bersih, daun Perancih di pagar-pagar rumah dan pekarangan masih ada ada untuk direbus dan dijadikan lauk.

Tapi kalau kota, dari pemukimannya saja dianggap tidak legal, kegiatan ekonomi juga informal. Air bersih harus dibeli, udara kotor, tempatnya desak-desakan. Pekerjaan orang-orang miskin itu, di hampir semua peraturan pemerintah kota dianggap tidak legal, karena dianggap mengusik ketertiban, mengganggu keamanan dan keindahan.

Padahal mereka tidak bodoh. Kalaupun bodoh, tentu bukan karena mereka lahir terus bodoh. Tetapi ada satu sistem pengaturan yang membuat mereka tidak bisa menyerap pendidikan yang baik untuk dirinya. Ada satu struktur atau satu sistem yang membuat sekian banyak orang menjadi secara ekonomi terpinggirkan, secara politik juga terpinggirkan.

Padahal, sumber kekayaan alam kita begitu kaya. Tapi ada di tangan sedikit orang dengan didukung peraturan yang timpang. Inilah yang semakin memperkokoh kemiskinan struktural. Hak dan kewenangan untuk membuat kebijakan hanya ada di tangan sedikit orang, dan tujuannya untuk kepentingan dirinya bukan pada kepentingan mayoritas rakyat.

Dari turun-temurun, sudah berlangsung beberapa abad, ada komunitas yang memiliki hukum adat dalam mengelola kekayaan alam. Tiba-tiba ada kebijakan dari Pemerintah menyatakan hak pengusahaannya ada di perusahaan yang dimiliki sedikit orang. Maka, hutan yang luasnya ratusan ribu hektar, begitu gampang dikuasai sekelompok orang, dirampas dari komunitas masyarakat. negeri yang kaya, gagal menjalankan tugasnya karena ulah para pejabatnya yang tak becus memimpin. Negeri ini menjadi terpuruk seperti sekarang.

Untuk itu, dibutuhkan orang yang bersih menjadi pemimpin. Tapi, para pemimpin yang bersih banyak yang tidak mau karena melihat tidak mungkin kebobrokan ini bisa diberesi. Kalaupun mau, rakyat tidak memilihnya. Deraan kemiskinan dan kesulitan mencari uang yang halal membuat rakyat bersikap pragmatis dalam meniti kehidupannya, termasuk dalam memilih Presiden,Gubernur, Bupati ataupun Walikota. Yang menjadi pertimbangan rakyat dalam memilih mereka bukan karena bersihnya, tapi karena penampilannya, karena janji-janjinya untuk menyediakan kebutuhan hidup yang dihadapi rakyat sehari-hari.

Siapa pun yang menginginkan negeri ini jauh dari malapetaka kemiskinan. harus ikut bahu membahu memberantas korupsi, membersihkan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat sekitarnya, dari penyekit-penyakit kotor yang menyengsarakan rakyat. Para pejabat negara, dari Presiden, Gubernur hingga Wali Nagari harus diingatkan bahwa tugas pokoknya adalah menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya bukan memburu dan merazia masyarakat miskin dan melarat. Keserakahan penguasa, sebagian pengusaha, dan mungkin juga diri kitalah yang membuat sebagian besar rakyat semakin melarat, dan tak berdaya dalam kemiskinan.