Dunia lain yang bernama kemiskinan

link

Sepertinya kemiskinan masih menjadi topik yang amat menarik untuk dibicarakan dan dikunyah-kunyah. Bukan saja karena banyaknya opini berbagai kalangan mengenai cara memberantas kemiskinan di media massa namun juga karena adanya “pengakuan” Pemerintah bahwa Indonesia dan Sumbar khususnya memang miskin dan untuk itu perlu merencanakan program pengentasan kemiskinan berbasis nagari.

Secara SDA Sumbar memang tidak menonjol dibanding daerah lain begitu pula SDM yang semakin melorot dari waktu kewaktu. Namun kali ini kita tidak akan membicarakan mengenai konsep pengentasan kemiskinan terkait dengan SDA namun kita akan melihat sebuah dunia lain yang bernama kemiskinan

Dunia yang datar

“Dunia itu datar,” tulis Thomas Friedman dalam bukunya The World is Flat, A Brief History of The Globalized World in The 21st Century. Ungkapan tersebut menggambarkan, bagaimana dunia saat ini sudah begitu terintegrasi. Dengan globalisasi beserta kemajuan telekomunikasi, dunia telah menjadi “satu lapangan permainan”.

Bagi Friedman, dunia yang datar merupakan berkah bagi kehidupan manusia. Dalam bidang ekonomi, China dan India telah menikmati berkah tersebut melalui berbagai macam outsourcing pekerjaan dari Amerika Serikat dan Jepang. Hasilnya, pekerja di China dan India memperoleh upah lebih tinggi dibandingkan sebelumnya dan tentu saja: proses pembelajaran. Sesuatu yang mustahil terjadi tanpa adanya internet dan berbagai piranti lunak (software) yang menghilangkan kendala jarak dan batas-batas negara.

Secara sosial-politik, dunia yang datar menghancurkan monopoli informasi oleh para elite dan penguasa otoriter. Ini melahirkan relasi yang lebih egaliter karena masyarakat secara luas mampu mengakses informasi melalui internet, televisi, dan berbagai kemajuan telekomunikasi lainnya.

Namun kalau ditilik di Indonesia terdapat kesenjangan antara si kaya dan miskin dalam mengakses permainan global. Terjadi dua dikotomi antara orang kaya yang bebas dan menikmati permainan global tersebut serta kaum miskin yang mayoritas yang larut dalam kubangan kemiskinan.

Menurut Friedman globalisasi saat ini adalah yang ketiga. Globalisasi yang pertama antara tahun 1492—1800. Inti dari fase ini adalah pertarungan antarnegara dalam kompetisi global. Globalisasi tahap kedua yang terjadi antara tahun 1800—2000 merupakan kompetisi antarperusahaan.

Globalisasi yang terjadi saat ini menempatkan individu sebagai aktor utama untuk melipatgandakan keuntungan di level global. Terdapat kesempatan yang lebih besar bagi setiap individu untuk ikut bermain dari manapun mereka berasal. Tidak ada lagi monopoli bangsa tertentu melainkan semua individu dari bangsa manapun berhak memperoleh kesempatan sama dalam permainan global ini.

Dunia yang datar memang mendatangkan perubahan yang luar biasa bagi kesempatan berusaha namun sepertinya masih menyisakan dikotomi antara kaya dan miskin. Kaum miskin -secara alamiah- sulit memanfaatkan kemajuan ekonomi dan teknologi informasi. Mereka tak punya sumber daya untuk mengakses internet, menafsirkan informasi secara memadai andai mereka mampu memperolehnya, dan bersaing dalam berbagai kesempatan yang tersedia dari globalisasi. Hambatan struktural ini membuat kaum miskin seperti hidup terasing dalam gegap gempita kemajuan.

Dalam banyak hal kebebasan informasi telah memperlebar kesenjangan ekonomi. Masyarakat yang memiliki akses terhadap tekonologi informasi setiap detik bisa memantau informasi dan perkembangan dunia lain. Sementara itu masyarakat miskin tetap buta informasi sehingga mereka tetap menjadi kaum yang termarjinalkan.

Dunia yang datar, dengan demikian telah memberikan kesempatan yang lebih egaliter antara kelas atas dengan kelas menengah. Juga antarbangsa, antara negara maju dengan negara berkembang. Namun, kaum miskin sebagai individu-individu tetap terkucil dilindas kemajuan jaman.



Isolasi Kaum Miskin


Sesungguhnya kaum miskin menghadapi tiga jenis isolasi sekaligus. Ini membuat mereka tidak bisa mengambil peran, dalam dunia yang seterbuka apapun.

Pertama, adalah isolasi ekonomi. Kaum miskin tidak punya kemampuan untuk ikut dalam proses produksi, baik sebagai pengusaha, pemilik modal, pemilik tanah, bahkan pekerja. Akibatnya, mereka juga tidak memiliki daya beli memadai untuk konsumsi. Globalisasi dan kemajuan teknologi informasi bahkan makin membuat mereka susah mengikuti ritme perubahan dalam perekonomian.

Kedua, isolasi politik. Bahkan dalam sistem yang paling demokratis dan terdesentralisasi sekalipun, kaum miskin tetap terisolasi dari sistem politik. Kontrak politik baru yang terjadi pascareformasi politik 1998 praktis hanya terjadi antara elite dengan kelas menengah atau dalam relasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Akibat isolasi politik ini, kebijakan publik tidak mampu menolong ”kekalahan” kaum miskin di pasar.

Ketiga, isolasi pendidikan yang melengkapi penderitaan kaum miskin akibat isolasi ekonomi dan isolasi politik. Anak keluarga kaum miskin tidak mendapat akses memperoleh pendidikan yang layak. Terjadilah reproduksi kemiskinan. Ketika berlangsung kemajuan luar biasa dalam metode pendidikan dan hasil-hasil riset dari berbagai penjuru dunia dapat diakses dengan mudah di situs-situs internet, kaum miskin hanya menjadi penonton setia.

Berkaitan dengan ketiga isolasi tersebut, pemerintah Indonesia dan Sumbar khususnya harus mampu melaksanakan dua kebijakan secara pararel. Pertama, memfasilitasi dan mendorong kemampuan berkompetisi individu dan pelaku usaha Indonesia di ”lapangan permainan” dunia yang datar. Kedua, berpihak kepada kaum miskin dengan menempatkan mereka sebagai prioritas dalam pengambilan kebijakan. Tidak mudah untuk melakukannya, tetapi untuk itulah pemerintah ada.