Menyoal budaya korupsi


Artikel “KORUPSI: (Seolah-olah) Bagian dari Budaya Manusia” (Harian Padang Ekspres, 04 Maret 2006), menarik untuk dicermati. Pertama, karena salah satu penulisnya adalah pejabat pemerintah (gubernur) yang sering menjadi subyek dan objek dominan dari epidemi korupsi itu. Kedua, meski bukan topic baru, namun gejala korupsi dan upaya pemberantasannya merupakan mandat reformasi yang masih belum tuntas hingga kini.

Korupsi, bukan budaya?

Saya sepakat dengan pemahaman bahwa korupsi bukan bagian dari budaya manusia jika merujuk kepada definisi budaya sebagai nilai-nilai moral yang dianggap baik oleh masyarakat. Saya juga percaya bahwa tendensi untuk “open” dan permisif terhadap praktik korupsi bukanlah budaya masyarakat Indonesia (juga masyarakat manapun). Korupsi juga bukan praktik khas masyarakat Indonesia karena korupsi merupakan sebuah anomali dalam sistem (apapun) dan potensial terjadi di manapun (universal).

Jika demikian halnya maka muncul pandangan (1) terdapat sesuatu yang “salah” dalam sistem tersebut sehingga terdapat ruang atau celah yang memungkinkan terjadinya korupsi; (2) sistem sudah “benar” sehingga yang jadi soal adalah kualitas dan moralitas individu yang terlibat dalam sistem itu. Dalam kasus Indonesia, kedua pandangan itu cenderung terbukti. Birokratisme dalam sistem politik dan ekonomi Indonesia dihiasi banyak celah yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bermoral sehingga benih2 korupsi tumbuh amat suburnya.

Itulah antara lain yang kemudian menimbulkan budaya koruptif tadi.Tak heran saat ini korupsi telah bergerak kearah budaya yang semakin diterima oleh masyarakat ketika korupsi telah begitu melembaga dan ketika moral bangsa semakin mengalami dekadensi dan degradasi. Korupsi yang dulu tabu dan dianggap sangat memalukan kini terang terangan dilakukan tidak lagi minoritas namun telah merasuki mayoritas anak bangsa. Ketika hal ini dibiarkan bukan mustahil korupsi yang sekarang dianggap kejahatan akan berkembang menjadi suatu yang diterima dan dianggap biasa oleh masyarakat..

Menghilangkan praktik korupsi yang telah berurat dan berakar di Negara ini memang tidak semudah membalik telapak tangan. Menurut Prof Selo Sumarjan korupsi adalah suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat seperti halnya kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia. Yang dibutuhkan adalah penanganan yang jelas, sistematis dan berkelanjutan. Paling tidak ada dua pendekatan yang ramai diperbincangkan yaitu pendekatan prefentif ( pencegahan) serta pendekatan represiv (pemberantasan). Permasalahannya pendekatan mana yang lebih pas merujuk kondisi bangsa saat ini ?

Prevention

Jalan keluar yang ditawarkan dalam tulisan Gubernur Gamawan fauzy tentang perlu adanya kurikulum yang sadar korupsi termasuk kedalam tindakan prefentiv/pencegahan. Menumbuhkan kebencian didalam diri siswa terhadap korupsi dan menganggap korupsi adalah perbuatan yang merendahkan harga diri dia dan keluarganya adalah langkah awal dari penumbuhan kesadaran anti korupsi.

Sebenarnya pendekatan ini telah lama di pahami dan diterapkan di Negara ini. Pendidikan dan pengajaran di sekolah sekolah telah menempatkan korupsi sebagai musuh bersama, begitu juga dengan ceramah ceramah di mesjid yang meninjau korupsi dari sudut agama. Betapa ajaran agama kita mengandung nilai nilai yang menempatkan suap dan korupsi sebagai perilaku yang sangat rendah dimata Tuhan dan masyarakat serta tergolong kepada perbuatan mungkar. Dalam al-Qur'an misalnya, ada ayat yang menyatakan ; "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar." (al-Ankabut; 45).

Realita sesungguhnya himbauan agama itu tidak digubris sebagian masyarakat bahkan oknum agamawan sendiri karena begitu kuatnya pengaruh budaya kapitalis menggerogoti nilai budaya yang menyelusup hingga sendi sendi agama. Sejarah mencatat ketika kasus korupsi DPRD Sumbar terkuak pelaku pendidikan dan pemuka agama (buya) sendiri terjebak kedalam lingkaran hitam yang bernama korupsi.

Represif

Pendekatan represif lebih ditekankan kepada pemberantasan pelaku koruptor itu sendiri. menurut saya pendekatan inilah yang paling pas dengan kondisi masyarakat Indonesia. Koruptor kelas kakap yang mendominasi pelaku korupsi tidak akan tersentuh seketika kalau hanya diperangi dengan tindakan preventif. Kehadiran KPK di Negara ini untuk melakukan penindakan korupsi melalui jerat hukum menjadi agenda utama dalam memberantas korupsi. Dari hal tersebut dipersepsikan bahwa korupsi akan dapat diberantas dan dihabisi dengan mengadili ataupun menindak secara hukum koruptor kelas kakap, mulai dari birokrat, konglomerat hingga mantan Presiden.

Ibarat tubuh manusia, kondisi bangsa ini sudah terlalu parah, bagian yang sudah digerogoti kanker ganas tidak mempan diobati dengan tindakan prefentif namun musti di amputasi dalam arti lain menjerat semua koruptor dengan produk hukum. Tindakan represif ini terbukti manjur ketika diterapkan oleh China. Di Negara non demokrasi tersebut hampir setiap hari ada koruptor yang ditembak mati. Hasilnya selain mengurangi jumlah koruptor juga menimbulkan efek jera dan rasa takut bagi masyarakat lainnya. Dengan begitu pencegahan (preventif) epidemic korupsi pun berjalan dengan sendirinya.

Dalam prosesnya tindakan represif ini tidak hanya ditekankan kepada pelaku saja melainkan secara sistemik melakukan perubahan juga pada pelaku dan struktur yang menentukan wajah system saat ini. Struktur yang ada saat ini musti dipreteli dan dibongkar satu demi satu dan kemudian dilakukan perubahan mendasar perbagian perbagian untuk dipasang lagi menjadi struktur yang bersih dari noda noda hitam masa lalu.

Saya yakin dan percaya Sumatera Barat kedepan akan semakin jauh dari korupsi jika pemimpinnya paham dan mengerti akar permasalahan korupsi serta mempunyai grand design yang jelas tentang cara dan arah pemberantasan korupsi. Kalo mau jujur sesungguhnya bukan hanya metode atau pendekatan konsep yang dibutuhkan namun intensitas dan kesungguhan dari Pemerintah/Pemimpin untuk segera mengambil tindakan. Dan pemimpin itu sudah kita punyai, semoga dengan kecakapan, kesadaran dan pengalamannya Gubernur Gamawan Fauzy akan membawa rakyat Sumbar ke dalam kehidupan yang bebas dari korupsi.

Tulisan ini dapat dibaca di Padang Ekspres

0 komentar: