Menggagas Sumbar sebagai tujuan wisata regional



Perbincangan mengenai pariwisata di Sumatera Barat (Sumbar) kembali menghangat ketika salah satu ikon pariwisata Sumbar, Tabuik, yang merupakan event tahunan di Pariaman terancam batal dilaksanakan pada awal tahun ini. Alasan dibalik itu terbilang naïf, yaitu belum selesainya pembahasan APBD di Dewan Legislatif. Alasan demikian, tak pelak, memantik kekecewaan berbagai lapisan masyarakat dan memberi kesan adanya ketidak kompakan pembuat kebijakan dalam menyikapi persoalan ini. Peristiwa ini barangkali hanya semacam fenomena gunung es dalam permasalahan besar menyangkut prospek dan proyeksi pengembangan dunia pariwisata di tanah Minangkabau.

Sesungguhnya sudah sejak bertahun-tahun lalu, Sumbar dicanangkan sebagai salah satu tujuan kunjungan wisata terbaik di Indonesia. Sejak itu pula pemerintahan Sumbar bertekad memajukan pariwisata sebagai salah satu sumber andalan bagi keuangan daerah, mengingat potensi sumber daya alam Sumbar yang memang cukup terbatas. Sumbar bukanlah wilayah yang kaya dengan minyak atau gas seperti yang dimiliki Riau atau Sumatera Selatan. Material tambang yang dimiliki hanya batu bara yang cadangannya sudah semakin menipis.

Dengan kondisi demikian, maka terdapat rationale yang kuat bagi pemerintah daerah Sumbar untuk mengembangan sector-sektor lain yang potensial memberi kontribusi bagi kas daerah. Salah satu pilihan itu adalah pariwisata.

Persoalannya, sampai saat ini belum ada perkembangan berarti untuk menjadikan Sumbar sebagai daerah tujuan wisata. Sejatinya terdapat sejumlah factor yang dapat diidentifikasi memengaruhi hal itu, khususnya faktor social-budaya dan masalah di tingkat kebijakan. Pertanyaan teknisnya, bagaimana merumuskan kebijakan pariwisata Sumbar?

Kendala Sosio Kultural

Untuk mewujudkan Sumbar sebagai daerah tujuan wisata asing dan domestik, selain dituntut menyajikan pemandangan alam yang indah, masyarakat yang ramah, pelaku pariwisata di sumbar juga musti menyediakan tempat hiburan bagi pengunjungnya. Keberadaan café, night club ataupun diskotek merupakan hal “wajib” yang musti disediakan oleh pengelola wisata, hotel dan lainnya.

Masalah muncul ketika mayoritas penduduk Sumbar adalah muslim yang konon berfalsafahkan adat basandi syarak syarak basandi kitabullah. Dengan kultur dan kehidupan religius yang telah melekat di batin masyarakat, keberadaan tempat hiburan ini meresahkan masyarakat sehingga memungkinkan terjadinya gesekan yang tidak sehat bagi pertumbuhan pariwisata Sumbar. Dalam hal ini daya tolak masyarakat Sumbar sangat kuat ketika kehidupan mereka merasa terusik dengan kehadiran budaya baru yang jauh berbeda dengan akar budaya Minangkabau. Resistensi dari masyarakat ini berimbas kepada matinya daya tarik wisata bagi wisatawan asing.

Sebagai pembanding dalam kasus ini kita bisa merujuk ke propinsi Bali. Bali dikenal sebagi tujuan wisata internasional yang tetap konsekwen menjalani ritual adatnya tanpa bersinggungan dengan budaya “kosmo” yang di bawa oleh wisatawan mancanegara. Malah ke “taatan” masyarakat Bali kepada religinya menjadi daya tarik utama bagi wisatawan. Keberadaan nightclub, bar, call girl dan sarana hiburan lainya dibiarkan tumbuh dan dinikmati oleh pengunjung pulau tersebut sepanjang harinya tanpa merasa cemas akan mendapat penolakan dari masyarakat sekitar. Tentunya Sumbar tidak diharuskan meniru keharmonisan yang terjadi di pulau dewata tersebut karena adanya perbedaan norma budaya, melainkan musti memikirkan strategi apa yang bisa di terapkan agar gesekan antara dua komponen tersebut tidak menimbulkan hal hal yang mematikan kreatifitasan pelaku pariwisata di Sumbar.

Persoalan di tingkat pembuat kebijakan

Dalam tataran pembuat kebijakanpun terjadi hal hal yang sangat kontra-produktif dengan pertumbuhan pariwisata sumbar. Hal ini semakin menyiratkan ambivalen nya sikap pemerintah daerah dalam menentukan skala prioritas kebijakan. Rancangan Perda anti maksiat salah satu kebijakan yang apabila jadi diberlakukan maka akan sangat tidak menguntungkan bagi pelaku pariwisata. Sasaran perda tersebut jelas saja menuju ke kehidupan malam yang merupakan salah satu daya tarik bagi wisatawan asing pada umumnya. Penggerebekan di hotel hotel kelas Melati yang telah lama berlangsung di Kota Padang terbukti telah menurunkan pendapatan bagi pemilik hotel dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi wisatawan asing maupun domestic yang berkunjung ke kota itu. Disini pembuat kebijakan dihadapkan pada pilihan membuka kran kebebasan seluas luasnya bagi pelaku pariwisata demi memajukan kesejahteraan atau mengakomodir keinginan masyarakat yang ingin melindungi nilai nilai adat dan agamanya. Dalam hal budaya Tabuik yang telah mengakar di masyarakat Pariaman, jelas sekali pembuat kebijakan kurang arif dan cerdas dalam menyikapi persoalan ini.

Merumuskan ulang daya tarik pariwisata sumatera barat.

Ketika kita ditanya apakah yang paling menarik di Sumatra Barat yang bisa dijadikan keunggulan dari daerah lain ? maka jawaban yang mungkin timbul adalah keindahan alamnya. Hal itu mungkin benar ketika yang memberikan penilaian belum pernah berkunjung ke daerah lain sehingga tidak melihat perbandingannya. Mungkin juga jawabannya adalah budayanya yang khas dengan matrilinealnya serta busana daerahnya yang khas. Namun permasalahannya sekarang budaya yang manakah yang bisa membuat kita unggul bersaing dengan budaya lainnya di tanah air semisal jawa, toraja ataupun Bali ?

Kesemuanya ini perlu kita kaji lagi agar tidak menimbulkan kepuasan diri yang berlebihan yang selalu menekankan alam sumbar adalah alam yang paling indah se nusantara, budaya yang paling khas yang berujung kepada kejumudan diri sehingga mengira wisatawan akan berkunjung dengan sendirinya tanpa adanya usaha untuk menarik mereka secara khusus. Masyarakat Sumbar umumnya harus menyadari bahwa setiap keindahan alam, objek panorama, air terjun, ngarai dan lembah sesungguhnya hanyalah sebongkah benda mati yang tidak bernyawa dimana banyak daerah lainpun memilikinya. kita boleh saja menyatakan bahwa alam sumbar jauh lebih indah melebihi alam di Bali, namun dalam kenyataanya Bali adalah ikon pariwisata nasional yang bahkan kepopulerannya jauh melebihi bangsa ini. Dari situ dapat kita tarik satu pelajaran bahwasanya keindahan alam hanya akan menjadi benda mati yang tak bernyawa dan tidak mempunyai daya tarik apapun bagi pengunjung ketika tidak adanya komunitas di daerah tersebut yang memberikan warna dan roh bagi objek wisata tersebut. Terlebih lagi , saat ini telah terjadi perubahan consumers-behaviour pattern atau pola konsumsi dari para wisatawan . Mereka tidak lagi terfokus hanya ingin santai dan menikmati sun-sea and sand, saat ini pola konsumsi mulai berubah ke jenis wisata yang lebih tinggi, yang meskipun tetap santai tetapi dengan selera yang lebih meningkat yakni menikmati produk atau kreasi budaya ( culture ) dan peninggalan sejarah ( heritage ) serta nature atau eko-wisata dari suatu daerah

oleh karena itu perlu kita sadari pentingnya peran komunitas dalam memajukan dunia pariwisata Sumbar. Setiap wisatawan yang berkunjung mengharapkan menemui keramah tamahan dari penduduknya yang melayani dengan sepenuh hati sehingga membuatnya mereka betah menikmati keindahan alam yang disuguhkan.

Perpaduan antara keindahan objek wisata sumbar dengan keramahan penduduk Minangkabau akan terjalin dengan harmonis apabila ada titik temu antara dua elemen ini .Dibutuhkan terobosan baru yang kiranya membutuhkan keberanian dan kesolidan antara pelaku wisata dan pembuat kebijakan. Apabila pelaku pariwisata dan pembuat kebijakan memutuskan untuk mengorbankan kepentingan masyarakat yang ingin menjaga norma agama dan budaya maka akan menimbulan cost social yang sangat tinggi. Dengan meniadakan fasilitas hiburan malam maka secara tak langsung wisatawan dari belahan eropa, amerika dan Australia yang terbiasa dengan hiburan malam tidak akan memprioritaskan untuk mengunjungi Sumbar. Kemungkinan wisatawan yang akan bertahan adalah sebagian wisatawan asia seperti Malaysia, singapura, Jepang dan timur tengah serta wisatawan domestic tentunya yang lebih tertarik dengan wisata alam dan budaya. Pilihan terakhir adalah yang paling aman, karena tidak akan menimbulkan gesekan sosial berkepanjangan.

Untuk itu musti ada brand yang jelas yang mencerminkan perpaduan budaya asli masyarakat dengan strategi pertumbuhan dunia pariwisata Sumbar. Dalam hal ini menyiapkan strategi khusus untuk menggarap wisatawan regional yang masih mempunyai akar budaya yang sama dengan Indonesia dan Sumbar khususnya.Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian pertama bagi pemrov sumbar untuk jangka waktu dekat sehingga melalui survei yang mendalam Sumbar bisa memiliki branding yang kuat seperti halnya jogja never ending asia yang telah begitu bagus menjual image jogja dimata dunia internasional.

tulisan ini dapat dibaca di Padang Ekspres Online