Peta Jalan Bali: Babak Baru Penyelamatan Hutan Indonesia

Padang Ekspres


The United Nations Climate Change Conference (UNCCC) 2007 yang berlangsung di Denpasar 4 Desember 2007 – 15 Desember 2007 lalu dinilai sukses dengan dilahirkannya beberapa kesepakatan penting diantaranya Bali Road Map. Bali Road Map ini merupakan kesepakatan aksi adaptasi, pengurangan emisi gas rumah kaca, transfer teknologi dan keuangan yang meliputi adaptasi dan mitigasi.

Konvensi ini berjalan alot karena sikap keras negara-negara maju seperti Amerika Serikat yang selalu menjadi penghalang utama kesepakatan yang akan diambil dalam konvensi. Sikap Amerika Serikat ini disertai oleh Kanada dan Jepang yang juga tidak menyetujui target penurunan emisi karbon yang diperbesar (deeper cut) bagi negara-negara maju yakni sebesar 25-40 persen pada 2020.

Penolakan tiga negara maju ini berdasarkan kekhawatiran bahwa penurunan emisi karbon akan mengganggu kepentingan ekonomi negara mereka. Sebaliknya Uni Eropa dan negara-negara berkembang yang tergabung dalam G 77 + China menyetujui target tersebut bahkan meminta kesepakatan itu bersifat mengikat dan masuk deklarasi Bali.

Perdebatan sengit di konvensi itu memberikan gambaran yang jelas bahwa negara-negara berkembang sudah menunjukkan komitmen mereka untuk melakukan penyelamatan hutan. Namun sebaliknya negara maju terutama AS, Kanada dan Jepang belum menunjukkan komitmen yang tegas terhadap penurunan gas emisi karbon,

Padahal penurunan emisi karbon adalah faktor yang paling esensial untuk mengurangi efek pemanasan global. Pengamat lingkungan dan LSM pemerhati lingkungan menuding negara-negara dunia terlalu tunduk dengan kemauan AS, sehingga hasil konvensi kurang memenuhi apa yang seharusnya menjadi solusi dari problem dunia yang paling mendesak saat ini.

Dari tabel 1 terlihat bahwa Amerika, Kanada dan Jepang termasuk peringkat atas penghasil emisi karbondioksida terbesar dunia .

Tabel 1: Negara penghasil gas CO2 terbesar dunia perkapita

Negara

Emisi CO2 perpopulasi (juta ton)

Perkapita (ton)

Australia

226

10,7

AS

2790

9,3

Afsel

222

4,6

Rusia

661

4,6

Jerman

356

4,3

Polandia

166

4,3

Kanada

144

4,3

Korsel

185

3,8

Spanyol

148

3,7

Ingris

212

3,5

Jepang

400

3,1

Itali

165

2,8

China

2680

2,0

Ukhraina

79,1

1,7

Turki

102

1,4

Iran

86,2

1,3

Yhailand

76.4

1,2

Meksiko

101

0,9

India

583

0,5

Indonesia

92,9

0,4

Sumber: Carma/CGD

Presiden Conferency of The Parties (COP) 13 UNCCC, Rachmat Witoelar secara keseluruhan melaporkan tiga hal penting dari hasil konvensi UNCCC di Bali, pertama tercapainya kesepakatan dunia yang disebut Bali Road Map. Bali Roadmap meliputi lima hal yaitu Komitmen Pasca 2012 (AWG on long-term cooperative action under the convention), Dana Adaptasi (Adaptation Fund), alih Teknologi (Technology transfer), REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation).) dan CDM (Clean Development Mechanism).

Kedua, disepakatinya 4 agenda yaitu; 1. Aksi untuk melakukan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim. 2. Cara-cara untuk mereduksi emisi Gas Rumah Kaca. 3. Cara-cara untuk mengembangkan dan memanfaatkan teknologi ramah iklim (climate friendly technologi ). 4. Pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi. Sedangkan kesepakatan ketiga adalah adanya target waktu yaitu 2009.


REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation)

Salah satu poin terpenting yang dihasilkan dan berkenaan langsung dengan Indonesia adalah disetujuinya program REDD. Program ini bertujuan untuk memperluas cakupan kegiatan penurunan emisi tidak hanya melalui pencegahan deforestasi tapi juga melalui upaya penurunan kerusakan hutan.

Secara keseluruhan, kondisi sumber daya hutan dan lahan Indonesia saat ini ditandai oleh kerusakan lahan dan hutan yang mencapai 59,2 juta hektar (dephut 2007). Pada periode 1982-1990 laju deforestasi tercatat 0,9 juta hektar pertahun. Pada periode 1990-1997 naik menjadi 1,8 juta hektar pertahun dan 1997-2000 menjadi 2,8 juta hektar pertahun. Pada kurun waktu 2000-2006 laju deforestasi turun menjadi 1,19 juta hektar pertahun.

Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), mengungkapkan data yang berbeda. Pada periode 1985-1997 tercatat sebesar 1,6 juta hektare (ha) per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta ha per tahun atau yang tertinggi di dunia. Data 2007 menunjukan, sekitar 2,72 juta ha hutan Indonesia musnah tiap tahunnya.

Dengan adanya program REDD ini, negara hutan tropis akan melindungi keberadaan hutannya untuk menyerap emisi karbon dari negara maju. Sebagai imbalan, negara maju akan memberikan bantuan dana dan teknologi kepada negara hutan tropis.

Inggris misalnya siap mengucurkan dana untuk Indonesia dengan menjadikan Indonesia sebagai kandidat kuat mendapatkan US$ 30 juta melalui Forest Carbon Partnership Facility (FCPF). Inggris juga telah menyiapkan US$ 1,6 miliar melalui Environmental Transformation Fund (ETF) untuk mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang.

Program ini memang berpotensi besar mendatangkan aliran dana ke negara-negara yang memiliki hutan luas seperti Indonesia. Meskipun begitu terdapat beberapa hal yang musti diperhatikan terkait dengan pelaksanaan program ini;

1. Pelaksanaan kegiatan REDD akan memiliki potensi kebocoran karbon sehingga sulit untuk menjamin bahwa penurunan emisi yang terjadi di wilayah bersifat nyata dan terukur. Misalnya keberhasilan melindungi kawasan hutan konservasi yang dijadikan proyek REDD dari upaya konversi menjadi lahan pertanian, bisa saja berdampak pada meningkatnya konversi hutan di kawasan yang tidak menjadi sasaran proyek REDD. Dengan demikian karbon yang diselamatkan pada satu kawasan tersebut sifatnya tidak nyata karena telah meningkatkan kehilangan karbon dari kawasan hutan lain.

2. Indonesia belum memiliki teknologi dalam memperkirakan luasan tutupan hutan dan kerusakan hutan dengan akurasi yang cukup tinggi seperti yang dimiliki Brazil ( lihat di www.dpi.inpe.br/prodesdigital/prodes.html). Sehingga sulit menentukan luasan tutupan hutan dan kerusakan hutan dengan metodologi analisis dari citra satelit yang dipakai saat ini.

3. Terdapat kemungkinan besar terjadinya benturan antara program REDD dengan masyarakat yang selama ini mengambil manfaat dari hutan berdasarkan hukum adat yang telah mereka warisi turun temurun.

4. Mekanisme REDD diterapkan pada kawasan hutan produksi, kawasan hutan konservasi atau lindung, hutan gambut, hutan tanaman industri (HTI) dan sawit. Karena kompensasi REDD hanya terbatas pada kelima kawasan hutan itu, maka hanya pihak Pemerintah, Perhutani dan pengusaha saja yang memiliki konsesi atau berhak mengelola kompensasi dana REDD.

Namun terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi laju emisi dari kegiatan deforestasi dan degradasi hutan (REDD).

1.Mengkaji ulang skema REDD dengan memasukkan masyarakat sebagai unsur yang turut serta dilibatkan sehingga berhak mendapatkan kompensasi dana REDD.

2. Melarang hutan alam di konversi menjadi hutan tanaman industri atau perkebunan. Hutan tanaman industri atau perkebunan harus dibuka di dalam kawasan hutan yang sudah mengalami kerusakan berat atau tidak produktif. Selama ini pembukaan hutan tanaman industri dan perkebunan justru di hutan alam dimana hasil penjualan kayu hutan alam dijadikan biaya pembangunan hutan tanaman industri dan perkebunan tersebut.


3.
Melarang konversi lahan gambut menjadi hutan tanaman industri dan perkebunan. Pemerintah sesegera mungkin mengeluarkan program restorasi hutan gambut yang sudah rusak dengan memperbaiki kondisi hidrologi-nya serta mempecepat laju regenerasi hutan gambut melalui kegiatan pengayaan alam buatan.

4. Menekankan kembali kewajiban melaksanakan sistem pengelolaan hutan yang berkelanjutan sesuai dengan pedoman dalam aturan internasional untuk Reduced Impact Logging (RIL) dimana Indonesia ikut dalam menandatangani kewajiban ini.


5. Memverifikasi ulang data luas hutan yang ada sehingga lebih dapat dijustifikasi keakurasiannya melalui analisis yang lebih rinci.

6. Melakukan sesegera mungkin perhitungan tingkat emisi dari hutan dengan menggunakan data yang sudah diperbaharui (sesuai hasil dari kegiatan butir 5) dengan metode yang direkomendasikan oleh sekretariat UNFCCC. Apabila hal ini tidak dapat ditunjukkan, kemungkinan kualitas hasil perhitungan akan dinilai rendah dan akan mempengaruhi nilai tawar atau harga jual karbon dari REDD Indonesia.

Meninggalkan Adat, Memajang Agama

Pareman adalah topik yang sedang hangat dibahas di Palanta Rantaunet beberapa hari ini. Pareman kalau di tarik akar katanya berasal dari Free Man atau orang bebas. Bebas dalam artian tidak punya pekerjaan atau pengangguran, bebas dalam artian dia berhak melakukan apa saja yang diinginkannya tanpa mengindahkan orang lain.

Topik ini sesungguhnya menarik karena fenomena kerajaan preman ini menyebar diseluruh nusantara bahkan dunia. Disetiap kota yang penduduknya padat atau pusat perekonomian, pusat keramaian separti terminal, tempat wisata dan sebagainya corps preman ini hampir dipastikan selalu ada. Mulai dari tukang palak, copet, pengutip uang kemanan hingga preman berdasi.

Premanisme di Sumatra barat mudah terlihat begitu menginjakkan kaki ke Bandara Internasional Minangkabau (BIM). Ketika kaki mulai menginjak halaman bandara detik itu pula agen taksi dan angkutan bandara akan datang menghampir dan tak jarang terjadi menarik-narik antara agen bus dan supir taksi dengan calon penumpang. Tindakan premanisme ini tentu saja meninggalkan kesan yang menyeramkan terhadap bandara BIM.

Tindakan premanisme lainnya sering kali kita jumpai di terminal-terminal besar macam aur kuning bukit tinggi. Mulai dari agen tiket yang memaksa membeli tiket bus tertentu hingga tukang angkat barang yang memalak penumpang dengan menurunkan barang dari bagasi bus dengan meminta bayaran yang tidak masuk akal.

Sesungguhnya banyak lagi tindakan premanisme di sumbar yang bisa kita bicarakan. Namun tulisan ringan kali ini tidak akan membahas fenomena ini lebih lanjut namun akan memberikan sedikit tinjauan dari sudut pandang penulis terhadap fenomena ini.

Palanta Rantaunet sebagai milis paling aktif yang membicarakan keminangan, beranggotakan berbagai macam latar belakang sosial, pendidikan dan ekonomi yang berbeda. Tak heran setiap komentar ataupun analisis sederhana yang muncul lebih bersifat subjektif sesuai latar belakangnya itu. Namun secara garis besar dapat dikelompokkan kepada yang pro adat, pro agama, dan diantara keduanya.

Bagi yang pro adat maka asal usul premanisme di sumbar ini lebih disebabkan oleh tidak efektifnya ceramah agama, pengajian, khutbah yang disampaikan oleh ustad2 yang menguasai agama. Isi atau matan dari pengajian yang disampikan hampir tidak menyentuh sisi moral dan akhlak umat. Pengajian yang disampaikan hanya berputar kepada isu nasional atau hukum agama/fikih saja.

Bagi yang pro agama maka pihak yang paling bertanggung jawab adalah adat dan budaya minangkabau yang berisikan ajaran yang mengajarkan orang untuak cadiak, lipeh, menang sendiri. Tentu saja hal ini di di perkuat oleh kenyataan para penghulu adat sekarang yang tidak mempunyai kepemimpinan yang mumpuni bagi kaumnya.

Selain dua kelompok itu juga ada yang menyalahkan pemerintah daerah yang tidak mampu menanggulangi premanisme yang bersumber dari lemahnya kemampuan ekonomi masyarakat. Pengangguran adalah penyebab utama munculnya tindakan premanisme di sumbar.

Sesungguhnya ketiga pendapat itu adalah benar semuanya. Gejala premanisme ini adalah masalah yang penuh kompleksitas dan dialami oleh hampir setiap daerah di indoneisa.

Kalau kita merujuk kepada ajaran adat MInangkabau maka premanisme atau tukang palak atau cadiak/licik/lipeh itu adalah sangat bertentangan dengan adat MInangkabau. Sistem adat MInangkabau berdasarkan atas keseimbangan antara individu dan masyarakat

Nan rancak diawak, katuju dek urang

Sakik diawak sakik diurang; lamak diawak lamak dek urang

Kok mandapek awak, urang jan maraso kahilangan handaknyo

Ajaran adat MInangkabau inilah yang dinamakan adat sabana adat, adat nan tak lapuak dek hujan dan tak lakana dek paneh. Ajaran ini sesuai dengan adagium adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

Sehingga kalau kita menilik lebih jauh ajaran adat minangkabau dan ajaran agama Islam maka tidak ada pertentangan atau saling menegasikan antara keduanya khususnya dalam kasus premanisme ini. Aturan beradat dalam masyarakat banyak sekali atau boleh dikatakan hampir keseluruhannya telah mengalami asimilasi dengan ajaran islam.

Nan tuo dimuliakan, nan ketek dikasihi, samo gadang dipabasokan

Ada prinsip kebersamaan disitu. Seluruh persoalan bersama yang muncul di masyarakat didasari oleh prinsip sehina semalu. Meskipun kamanakan si anu yang berbuat jahat namun semua masyarakat ikut menanggung malu.

Hati gajah samo dilapah, hati tungau samo dicacah

Nan kayo tampek batenggang, nan cadiak tampek batanyo

Nan tidak samo dicari, nan lai samo dimakan, mandapek samo balabo, kahilangansamo barugi, sasakik sasanang.

Jadi jelaslah terlihat prinsip kebersamaan, sahino samalu, hubungan baik sesama manusia mendapatkan tempat utama dalama adat MInangkabau. Dalam ajaran Islam sendiri, prinsip kebersamaan, akhlak yang baik mendapat tempat utama . seperti hadist Nabi yang mengatakan bahwa “ Sesungguhnya aku di utus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak manusia”. Atau dalam surat Al Ankabut 45 yang artinya “sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan Munkar”.

Kalau sudah begitu mengapa premanisme tetap tumbuh dalam masyarakat yang ditopang penuh oleh adat Minangkabau yang luhur dan ajaran Islam yang lurus ? Jawaban mudahnya adalah masyarakat Mnangkabau telah meninggalkan adat MInangkabau. Petatah petitih dianggap kuno dan tak terpakai. Sedangkan agama hanya di jadikan pajangan saja. Seperti alas sembahyang yang dijemur diatas balkon sebagai pertanda yang punya rumah adalah Muslim.

Atau kalau mau sedikit berspekulasi maka ajaran adat dan agama itu tidak berpengaruh. Lihat saja tetangga singapura yang tak memiliki adat seluhur MInangkabau dan juga bukan muslim. Penduduk mereka teratur, disiplin, sejahtera dan selalu menjaga kebersihan. BUkankah kesemuanya itu intisari ajaran adat MInangkabau dan Islam ? lalu mengapa masyarakat MInangkabau yang memiliki kedua-duanya ternyata tidak bisa berlaku seperti rakyat singapura ? jawaban mudahnya adalah pemerintah Indonesia dan Sumatra barat khususnya tidak mampu mengatur kehidupan masyarakat, tidak mampu mengakkan hukum dan kedisplinan bagi warganya.

Akhirnya kesemua pembahasan kita bermuara kepada pembenaran semua opini yang ada di palanta rantaunet. Premanisme memang penuh kompleksitas dan membutuhkan pemahaman semua pihak untuk ikut mencarikan jalan keluar permasalahan ini.

Namun satu hal yang penting untuk disadari. Orang rantau dan orang ranah itu layaknya sebuah tubuh yang apabila satu organnya sakit maka organ yang lain akan merasakan hal yang sama. Sehingga ketika ada hal buruk yang terjadi maka tidak ada saling mencaci atau menyalahkan yang bermuara kepada kepicikan. Prinsip sahino samalu yang ada dalam nilai adat kita musti dihidupkan kembali.

Bagaimanapun juga preman di ranah dalah korban berputar kencangnya peradaban. Mereka korban ketidak adilan sosial. Mereka adalah korban tidak meratanya pendidikan. Mereka adalah korban kecilnya lapangan kerja yang tersedia. Mereka adalah korban persaingan global yang makin memuncak.

Oleh karena itu sebagai korban maka sepantasnyalah mereka mendapatkan kasih sayang dari kita. Walaupun tidak dengan memberikan uang atau pekerjaan setidaknya tetap menganggap mereka sebagai bagian dari kita yang butuh perolongan dan penyelamatan. Bukan cacian dan hinaan. Dengan itulah mereka merasa dihargai dan tentunya harga diri kita juga.

Dahsyatnya Rumah Makan Padang

Sebagai Orang Minang tentu saya ikut bangga dengan bertebarannya Rumah makan padang di seantero negeri ini. Meskipun kadang kebanggaan itu harus saya tebus dengan setiap hari mengkonsumsi masakan Padang yang menurut istri saya yang orang Minang gadang dirantau itu adalah masakan yang sangat tidak sehat. Tidak sehat karena banyak lemak, bersantan dan memacu kolesterol juga tidak sehat dikantong. Setidaknya bila dibandingkan makan di warung tegal misalnya.

Bagaimanapun juga rumah makan padang adalah salah satu kalau tidak satu-satunya kebanggaan kita yang tersisa saat ini. Sekedar rujukan bahwa orang minang masih piawai dalam berdagang dan mempunyai keunggulan yang patut dibanggakan.

Secara konsep rumah makan padang sesungguhnya mencerminkan “isi’ dari keminangan sesungguhnya. Sebuah dapur yang menghasilkan beragam cita rasa yang masing-masing berupa unit otonom. Konsep rumah makan padang yang tegas dengan identitas keminangan namun tidak semata-mata menonjolkan keminangan yang kaku , terlalu percaya diri dan suka membanggakan diri..

Keluarga istri saya yang memiliki usaha rumah makan padang di Lampung yang cukup laris memiliki kiat tersendiri agar pelanggan tetap ramai. Mereka tidak memasak makanan yang memakai resep asli (original Receipt) tetapi menyesuaikan rasa dengan lidah orang Lampung atau jawa yang menjadi target pasar. Masakan yang dibuat tidak terlalu pedas sehingga pelanggan yang mayoritas bersuku Jawa tersebut tidak kepayahan mengunyah dendeng balado misalnya.

Begitu juga nenek saya yang punya tiga rumah makan di Jogja. Rendang yang dimasak tidak selayaknya rendang asli MInang yang berwarna hitam dan berminyak karena disangai lebih dari 4 jam. Kalau dimasak sepetri itu maka orang akan menganggap rendang yang dimasak itu hangus, jadilah rendang di rumah makan padang di Jawa khususnya berwarna coklat ke abu-abuan karena tidak disangai dengan api kecil terlampau lama.

Inovasi dan kreativisme yang muncul didapur rumah makan padang sejagad itu adalah cerminan falsafah MInang dima bumi dipijak disinan langik dijunjuang, kalamak dek awak katuju dek urang. Perubahan yang terjadi dalam resep masakan adalah suatu keniscayaan bila ingin tetap eksis didalam persaingan yang telah mengglobal. Bila identitas keminangan dibungkus dengan rasa ke-egoan yang tinggi, kaku, jumud maka barangkali rumah makan MInang tidak menjamur seperti sekarang. Rasa identitas keminangan tetap terpelihara namun tetap menerima perubahan dari luar. Itulah kunci eksistensi rumah makan minang yang dapat saya simpulkan.

Sesungguhnya dinamisasi konsep rumah makan padang adalah contoh ideal bagi perkembangan sosial budaya dan ekonomi masyarakat Minangkabau. Bila ingin tetap bertahan dengan identitas cultural, keunikan maka setiap perubahan harus kita terima, saring dan pakai mana yang sejalan demi kemajuan masyarakat minang itu sendiri. BIla tetap bertahan dengan apa yang ada sekarang maka secara budaya, sosial dan ekonomi minang itu akan tergerus jaman karena jaman terus berubah.

Ada seorang teman yang selama ini mengaku menjadi pengamat Minangkabau khususnya perjalanan organisasinya menyatakan para pedagang Minang/saudagar terkesan telah kalah dan menyerah dengan persaingan dan percaturan ekonomi yang telah menglobal. Semakin banyaknya oraganisasi minang yang mengerucut kepada bidang kajian tertentu adalah ekspresi ketidak berdayaan dari tekanan akibat persaingan. Temu saudagar MInang yang diadakan di Padang belum lama ini menurutnya adalah membuktikan hal itu. BIla saudagar MInang itu telah mampu unjuk diri mengapa pula akan berkumpul sesama Minang ? lebih jauh lagi masih menurut teman saya itu saudagar yang berkumpul dimomentersebut itu pastilah saudagar yang sama-sama litak (lapar). Bila ternyata daging yang mereka harapkan tidak bertemu jua maka tidak musthail antara mereka akan saling memakan.

Tentunya saya tidak mengamini saja apa yang disampaikan teman saya itu. Tapi hipotesanya yang mengerikan itu masuk akal juga. Semasa kuliah dulu saya termasuk mahasiswa yang anti kemapanan. Sangat anti terhadap barat termasuk orang Indonesia yang sekolah keluar negeri dan pulang menenteng iajazah gelar sarjana bergengsi.

Setelah memasuki dunia kerja saya memahami bahwa sikap anti kemapanan dan ketidak sukaan terhadap lulusan luar tersebut sesungguhnya ekspresi dari ketidakmampuan bersaing dengan lulusan luar.

Setidaknya ada 4 faktor yang menyebabkan lulusan dalam negeri tidak mampu memenangi persiangan bahkan sekedar menyamai. Pertama faktor bahasa, boleh dikatakan sedikit sekali mahasiswa dalam negeri yang menguasai dengan fasih bahasa inggris. Padahal rekrutmen perusahaan besar semacam multinasional mensyaratkan itu. Kedua, kualitas lulusan dalam negeri terus terang belum memenuhi permintaan perusahaan,kalau dibandingkan dengan lulusan luar maka lulusan dalam negeri lebih tidak siap kerja. Ketiga, masalah keuangan, lulusan luar negeri tentu saja berasal dari keluarga kaya yang mampu menyekolahkan anaknya keluar negeri. Faktor ini sedikit banyak mempengaruhi kenapa banyak mahasiswa dalam negari menjadi anti kemapanan. Keempat, terakhir faktor gengsi. Lulusan luar negeri memiliki gengsi yang jauh melebih lulusan dalam negeri sehingga gampang mendapatkan pekerjaan.

Hal itulah sesungguhnya pencetus kenapa saya dan banyak mahasiswa lainnya cenderung membentuk kelompok anti kemapanan, anti barat, anti liberalisme yang berkembang di badan-badan intra sekolah bahkan mayoritas pengurus BEM. Jadi bukannya karena ingin menyatukan persepsi dan jejaring tetapi lebih sebagai ungkapan kekesalan dan ketidakberdayan menghadapi persaingan

Lalu apa korelasinya dengan rumah makan padang ? hal sebaliknya terlihat pengusaha rumah makan padang tidak pernah membuat perkumpulan rumah makan padang kecuali arisan-arisan nagari. Kalaupun ada hanyalah dilapisan minoritas yang mau diperkuda oleh elite yang gila organsiasi dan gila jabatan. Pengusaha rumah makan padang dengan tetap mengusung identitas budaya yang jelas namun mampu mengakomodasi perubahan, tetap berdiri tegak, kokoh tanpa goyah oleh badai krismon yang mengguncangkan sendi2 ekonomi masyarakat. Dengan memodifikasi resep masakan, sembari tetap mempertahankan identitas budaya. Ya..rahasianya cuma itu mau menerima perobahan demi eksis tensi dalam persaingan ekonomi yang makin mengglobal. Bukannya megerucut kedalam malah berkembang keseantero jagad. Ini dadaku, mana dadamu !

Seleksi KPU itu

Proses pemilihan anggota KPU 2007 – 2012 diwarnai banyak persoalan. Sejak proses seleksi hingga pelantikan, disertai pro dan kontra yang bersifat substansial. Persoalan demi pesoalan yang menyertai pembentukan komisi yang mempunyai peranan vital dalam penegakan demokrasi di Indonesia ini, menimbulkan pertanyaan tentang kredibiltas lembaga ini dikemudian hari.

Persoalan yang paling menonjol adalah rendahnya kepercayaan publik terhadap proses pemilihan komisi nasional ini yang ditandai oleh perdebatan dan berita tiada henti, sejak tim mengumumkan 45 bakal calon anggota KPU yang dinyatakan lolos tes tertulis dan rekam jejak dari sebanyak 260 peserta pada 31 Juli 2007.

Bahkan jauh sebelum itu, banyak kalangan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) akademisi dan profesional mempertanyakan proses seleksi yang bukan dilakukan oleh ahlinya dan belum pernah terlibat dalam penyelenggaraan, pengawas ataupun pemantau pemilu bahkan tidak satupun dari tim seleksi yang berlatar belakang keilmuan bidang politik.

Kekhawatiran publik semakin bertambah ketika mekanisme seleksi dipandang bermasalah terutama dalam tes psikologi untuk mengukur kompetensi dan kesetiaan. Pemilihan materi tes psikologi dikerjakan oleh lembaga tes psikologi yang tidak jelas. Indra J Piliang, peserta seleksi yang tidak lolos dan merasa dilangkahi hak-hak politiknya telah melakukan tuntutan secara hukum terhadap panitia tim seleksi pada tanggal 23 Agustus 2007. Hal ini juga diikuti oleh Dasman Djamaluddin dan Hasannudin, yang mendaftarkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), pada tanggal 30 Oktober 2007..

Dari 7 orang anggota KPU yang terpilih dari fit dan proper test yang dilakukan DPR RI, salah satu anggota terpilih ternyata tersangkut masalah hukum dimana yang bersangkutan sudah ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi. Sehingga pelantikan yang dilakukan presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 23 Oktober 2007 di istana negara terhadap 6 orang anggota KPU boleh dikatakan cacat hukum karena UU No 22/2007 mengharuskan melantik 7 orang anggota KPU. Namun pemerintah bisa berkelit karena presiden sudah menerima surat dari Syamsul Bahri yang isinya menyatakan permintaan yang bersangkutan tidak usah dilantik dahulu karena kasusnya sudah naik kepengadilan.

Dalam kasus Syamsul Bahri, yang telah ditetapkan sebagai tersangka namun tetap diloloskan ini menimbulkan kecurigaan, proses seleksi anggota KPU kali ini sarat dengan kepentingan partai politik (parpol). Karena sejak awal status tersangka ini sudah diketahui namun DPR tetap meloloskan bahkan dengan memperoleh banyak suara dan skor penilaian yang tinggi. Kalau memang Parpol bermain dibelakang proses seleksi ini maka wajarlah kredibilitas dan kemampuan anggota terpilih diragukan oleh masyarakat. Terlebih calon-calon yang bepengalaman dan sangat memahami UU Pemilu, Parpol dan demokrasi berguguran sejak awal proses seleksi.

Inti persoalan sesungguhnya bukanlah terletak kepada personal anggota KPU terpilih, melainkan mekanisme dan sistem yang menjaring anggota KPU ternyata meloloskan seorang tersangka kasus korupsi. Hal ini menandakan mekanisme dan sistem yang dibuat tim seleksi KPU itu miskin validitas dan reliabilitas akademis, bahkan menonjolkan nepotisme, sehingga menghasilkan output yang mengundang polemik.

Hemat kita, tugas KPU sangat kompleks dan berat tantangannya ke depan. Selain akan mengelola dana triliunan rupiah, sekalipun diurus oleh Sekretariat Jenderal, KPU merupakan organisasi yang bersifat tetap, nasional dan mandiri. Siapa pun yang hendak menjadi presiden, wakil presiden, kepala daerah, anggota DPR/DPRD atau DPD, akan sangat tergantung pada keputusan-keputusan yang diambil oleh KPU. Penyelesaian masalah penyelenggaraan pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Maluku Utara tahun 2007 misalnya akan menjadi ajang pembuktian bagi KPU apakah mereka mampu atau tidak menjalankan tugas yang sangat berat ini.

Bagaimanapun juga masyarakat tidak bisa menolak anggota KPU yang telah dilantik. Masyarakat, akademisi, LSM harus lebih awas dalam pemilihan anggota KPU periode berikutnya dengan mencermati dan mengawasi proses rekrutmen termasuk pelaksanaan fit and proper test di DPR.

Quo Vadis Pemekaran

Delapan tahun terakhir laju pemekaran daerah seperti tidak terbendung. Hingga tahun 2007 sudah ada 165 daerah baru terbentuk, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Daerah otonom baru hasil pemekaran ternyata tidak bebas dari beragam masalah sehingga penghentian sementara (moratorium) pemekaran wilayah menjadi usulan yang berkembang di kalangan DPR, DPD, dan pemerintah.

Usulan ini bermula dari permintaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) untuk menghentikan sementara pembentukan daerah baru. Hasil audit investigatif yang dilakukan oleh BPK menunjukkan kinerja keuangan daerah pemekaran baru sangat memprihatinkan. Banyak daerah baru yang tidak mempunyai kemampuan secara ekonomi. Akibat pemekaran, pemerintah memecah DAU dan DAK suatu daerah menjadi dua, untuk daerah asal dan daerah baru. Pada akhirnya, dua daerah ini sama-sama tak lagi mampu memenuhi kebutuhan mereka.

Selain mengandalkan dana dari pusat, daerah baru hasil pemekaran juga kekurangan SDM yang mampu menjadi aparatur pemerintahan yang baik. Auditor tingkat IV BPK Baharuddin Aritonang memaparkan, 83 persen dari 148 daerah hasil pemekaran kondisi keuangan daerahnya tidak memenuhi syarat. Selain itu, sering terjadi kekacauan di sejumlah daerah antara lain konflik perebutan posisi Ibu Kota seperti yang terjadi di kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah.

Evaluasi

Menurut Ryaas Rasyid Anggota Komisi II DPR, ada tiga kelompok utama yang paling besar merasakan keuntungan yaitu birokrat, partai politik (parpol), dan pengusaha setempat. Pemekaran wilayah membuka lowongan pejabat yang tentu memberi kesempatan birokrat memegang jabatan. Calon anggota legislatif (caleg) yang semula tidak terpilih dalam pemilu bisa menjadi caleg dengan terbentuknya DPRD di daerah otonom baru. Bagi pengusaha, terutama yang berpartisipasi sejak awal pembentukan daerah, kesempatan menjadi penyedia berbagai kebutuhan daerah baru sangat terbuka lebar. Hal inilah yang menyebabkan pemekaran daerah menjadi lahan korupsi yang empuk sehingga sangat bertentangan dengan prinsip good governance.

Hasil evaluasi yang dilakukan Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dari Nopember 2006 sampai Maret 2007 terhadap 48 daerah otonom baru misalnya menunjukkan penurunan rasio pendapatan asli daerah (PAD) dalam APBD di daerah otonom baru sebesar 5,02 persen (2003) menjadi 4,73 persen (2004). Artinya, ini merupakan indikasi kalau ada ketergantungan anggaran ke pemerintah pusat. Selain itu, belanja publik di daerah otonom baru lebih kecil di bawah 50 persen daripada belanja aparatur.

Moratorium

Moratorium baru dapat dilakukan pemerintah jika evaluasi daerah otonom baru hasil pemekaran sudah dilakukan.Evaluasi yang dilakukan terhadap daerah otonom baru harus dilakukan secara berkesinambungan. Penilaian daerah otonom baru, dilakukan setelah tiga tahun sejak pembentukan dengan aspek penilaian berupa kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, dan penduduk. Apabila ternyata daerah otonom baru tersebut dinilai gagal, maka daerah otonom tersebut diberi waktu maksimal lima tahun untuk memperbaiki kinerjanya. Apabila tetap gagal, daerah otonom tersebut dapat dihapus dan digabung dengan daerah otonom lain sesuai Pasal 14 Peraturan Pemerintah (PP) No. 129/2000.

Untuk menghentikan sementara pemekaran yang semakin tak terkendali, pemerintah harus mendorong revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Syarat-syarat pemekaran harus diperketat, termasuk teknis pelaksanaan verifikasi calon daerah otonom baru. Pemerintah juga perlu mempunyai kajian mendalam tentang daerah otonom baru sesuai dengan kemampuan negara baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Menteri Dalam Negeri harus segera merevisi PP No. 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Moratorium paling mungkin dilakukan pada akhir 2007 mengingat persiapan menyongsong pelaksanan Pemilu 2009.

Membangkitkan Semangat perubahan

Sebuah perbincangan tahun lalu:


Tarimo kasi Da Nofrin St. batuah..ambo sangaik sapandapek baraso nan
dibutuhkan SUmbar adolah good manager bukannyo good birokrat..seorang
manger sudah pasti birokrat yang baik namun birokrat yang baik belum
tentu manager yang baik…kita bisa contoh tetangga kita
Jambi..gubernurnya adalah pengusaha muda yang sukses kemajuannya
sungguh mencengangkan PAD meningkat 300 % lebih sehingga saat ini
pendapatan mereka sudah jauh melangkahi Sumbar. Kita tengok juga
gorontalo yang dipimpin oleh pengusaha sukses juga..PAD nya juga
melesat jauh….jadi apa poin yang bisa kita ambil ? Serahkanlah sesuatu
pada ahlinya….hahaha..

Sejauh yang saya pahami sebagai orang awam dalam sector ekonomi..yang
dibutuhkan sebagai landasan awal adalah kebijakan pemerintah daerah.
Bagaimana agar investor mau menanamkan modalnya di daerah kita. Itu
dulu.. kalau selama ini gubernur Cuma bergaul dengan kalangan LSM
local yang tak jelas ujung pangkalnya, atau dengan "perantau yang
oportunis" bagaimana investor akan tertarik ?..mbok pergaulan gubernur
diperluas ke lingkaran pengusaha2 pribumi maupun asing yang
sesungguhnya sangat banyak bertebaran di Jakarta..itu salah satu
kelebihan gubernur Jambi. Nah produk hokum dan regulasinya tentu juga
sangat berpengaruh termasuk bagaimana membangun birokrasi satu atap !!

Dalam sector ekonomi rakyat..selama perda tanah ulayat belum selesai
maka sesungguhnya banyak hal yang bisa dilakukan. Dengan perekonomian
berbasis nagari misalnya. Setiap nagari bisa diharuskan membentuk
Usaha Bersama Nagari. Yang paling cocok adalah sector agrobisnis.
Modal bisa didapat dengan memberikan kemudahan kemudahan dalam
peminjaman ke koperasi atau Bank. Usaha Nagari ini akan mendatangkan
lapangan kerja bagi anak nagari itu sendiri dan apa usahanya saya rasa
setiap nagari mempunyai keunggulan tertentu. Bagaimana pemasarannya ?
itu lah yang musti dipikirkan bersama oleh Pemda2 yang ada…jadi
sebaiknya berhenti mengkambing hitamkan masalah tanah ulayat !

Saya rasa tidak sulit sesungguhnya mencari keunggulan komparatif yang
dimiliki sumbar selama Pemerintah mempunyai keinginan untuk itu dan
mau membuka diri dengan masukan2 yang membangun. Selama ini saya lihat
rakyat bahkan pemerintah Sumbar sendiri masih terlena bahwa Sumbar
daerah yang kaya, pemandangannya elok, orangnya pintar2..masih terpaku
pada romantisme masa lalu padahal dalam realita Sumbar sudah
ketinggalan kereta sementara kapal kepadang juga sudah berlayar (
meminjam judul film).

Salah satu yang perlu kita sadari juga..sesungguhnya tolak ukur
kehebatan atau kepintaran atau kecedasan suatu suku bangsa tidak bisa
diukur dari derajad intelektual semata yg selama ini kita percayai).
Selama ini banyaknya tokoh tokoh politik dan agama dari sumbar sudah
memperdaya kita dan kita terlena. intelegensi tidak hanya diukur dalam
masalah social dan politik saja namun termasuk intelegensi dalam
ekonomi..kalau hatta, natsir, tan malaka dll memang hebat. Tapi pada
masa itu memang dibutuhkan banyak tokoh politik dalam
perjuangan..sekarang yang dibutuhkan orang berjiwa
pengusaha/entrepreneurship yang mampu memanfaatkan potensi ekonomi
rakyat. Jadi berhentilah menganalogikan orang sukses adalah orang yang
keluar masuk Koran sebagai politikus atau anggota DPR.

Spirit itulah yang musti di munculkan lagi bahwa saat ini Sumbar bukan
apa apa lagi, era hatta , tan malaka, sutan syahrir sudah lewat. Yang
dibutuhkan saat ini adalah jiwa yang mampu bangkit untuk mengejar
ketertinggalan dalam bidang ekonomi. Kalau generasi muda minang mau
maju dan berhasil maka berkaryalah dalam bidang ekonomi. Tidak usah
semuanya bercita cita jadi tokoh politik seperti Hatta dkk karena itu
tidak akan membuat rakyat minang menjadi sejahtera, kita tahu sejarah
bisa mebunuh anaknya sendiri seperti halnya PRRI..

Mungkin itu dulu ya da sutan..saya bukan ahli ekonomi (sesuatu yang
cukup saya sesali ) sehingga mungkin sanak sanak yang lain lebih paham
dan mengerti bagaimana caranya mencari peluang2 ekonomi yang layak di
speed up di sumbar

Kerangka Acuan

Kerangka Acuan

Seminar

Ranah Minang Gadih Manih Nan Manunggu Pinangan;

”Potensi dan Peluang Investasi Industri Pariwisata

Sumatra Barat”

Latar Belakang

“The world is flat” begitu kesimpulan Thomas Friedman, seorang kolumnis tersohor dari the New York Times. Sesudah menyaksikan efek globalisasi dalam berbagai bidang, dia “menantang” kesimpulan Copernicus.

Dinamika ekonomi dan politik internasional tidak lagi menjadi aktifitas yang terisolasi di arena global saja. Dinamika itu memiliki dimensi dan efek lokal yang sangat tinggi. Dalam laporan Bank Dunia tahun 2000, kecenderungan desentralisasi dan globalisasi disinyalir berjalan secara bersamaan. Desentralisasi dari tingkat nasional ke sub-nasional dipandang sebagai sebuah metode untuk membuat kinerja pemerintah jadi lebih efisien. Lebih jauh lagi, desentralisasi membuat unit-unit yang berkompetisi di tingkat internasional bisa menjadi lebih kecil. Kompetisi di bidang perdagangan dan investasi misalnya, tidak lagi merujuk pada tingkat negara, tetapi sudah pada tingkat sub-nasional.

Yang menarik dari fenomena ini adalah desentralisasi membuat pemerintah dan dunia usaha di tingkat sub-nasional memiliki peluang untuk menaklukan globalisasi demi peningkatan kesejahteraan populasi di wilayahnya. Ini adalah ilustrasi betapa masyarakat lokal memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap globalisasi. Tentu perlu kita garis-bawahi bahwa globalisasi itu bukan semata-mata berkiblat kepada kekuatan kapitalisme barat, tetapi bisa juga berafiliasi dengan kekuatan peradaban timur seperti Cina, Jepang, dan India misalnya.

Dengan konteks ini, maka seminar mengenai peluang dan tantangan investasi bidang pariwisata di Sumbar jadi lebih relevan. Paling tidak terdapat tiga alasan utama yang membuat seminar ini menjadi penting.

Pertama; World Tourism and Trade Center (WTTC) menyatakan bahwa sektor pariwisata saat ini merupakan industri terbesar didunia, sektor ini telah menjadi salah satu penggerak utama perekonomian abad 21 bersama dengan industri telekomunikasi dan teknologi informasi. Perkembangan industri pariwisata yang sangat dinamis dan terus diperkuat oleh kemajuan tingkat kesejahteraan ekonomi didunia, menjadikan pariwisata memiliki peran penting dalam pembangunan perekonomian bangsa-bangsa didunia. Pariwisata bahkan dimasukkan kedalam hak azazi manusia sebagaimana dinyatakan oleh John Naisbitt dalam bukunya Global Paradox yakni bahwa “where once travel was considered a privilege of the moneyed elite, now it is considered a basic human right”.

Kedua; Sumatra Barat sebagai daerah yang sudah dikenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata nasional tentu saja menyadari prospek pariwisata sebagai unggulan daerah masa depan. Liberalisasi wisata yang berpotensi untuk dikembangkan oleh Sumbar terutama adalah keindahan alam (natural beauty). Pemerintah Propinsi dibawah pimpinan Gamawan Fauzy dan Pemerintah Daerah yang ada di Sumatra Barat telah memiliki komitmen yang sama untuk menjadikan Sumatra Barat sebagai tujuan wisata nasional terdepan. Kombinasi antara tersedianya potensi wisata yang sangat besar dengan komitmen bersama pemerintah akan mendatangkan peluang yang besar pula bagi Saudagar Minang untuk menanamkan investasinya di Sumatra Barat.

Ketiga; Masyarakat Minang memiliki sejarah berhasil menelurkan Saudagar-saudagar unggulan. Bangsa Indonesia merasakan kontribusi yang sangat besar dari Saudagar yang berasal dari Minang. Hasyim Ning, Bagindo Muhammad Nur misalnya, adalah figur-figur terkemuka dimasa perjuangan Republik Indonesia. Figur-figur ini bukanlah lahir tanpa konteks. Mereka adalah orang-orang yang sangat memahami arena perdagangan Nasional, internasional dan etika dagang. Jaringan dan kesadaran jati diri yang mereka miliki membuat mereka menyiapkan diri secara strategis menjadi Saudagar yang berpengaruh.

Pernyataan bahwa dunia itu datar makin nampak valid. Siapapun bisa memanfaatkan dunia dan diuntungkan, asal dia mampu membaca tren global. Hal ini mengingatkan kata-kata seorang ilmuwan, Louis Pasteur, beberapa abad yang lalu yaitu, ”Fortune favors the prepared mind.” Melalui Silaturahmi Saudagar Minang 2007 (SSM 07) dan cita cita mulia Masyarakat Pecinta Pariwisata Sumatra Barat (MAPPAS), segenap masyarakat dan Saudagar Minang bisa menghasilkan “prepared mind” untuk menyongsong masa depan yang cerah.

Menyadari relevansi yang begitu signifikan antara maksud dan tujuan SSM 2007 dengan visi dan misi MAPPAS dalam memajukan tingkat kesejahteraan masyarakat Sumatra Barat maka MAPPAS bermaksud mengadakan seminar yang bertajuk: Potensi dan Peluang Investasi di Industri Pariwisata Sumatra Barat. Seminar ini akan menghadirkan pembicara Walikota Sawahlunto Bapak Amran Nur dan juga pakar marketing nasional Bapak.....serta didampingi oleh pengamat pariwisata dari MAPPAS.

Tujuan

1. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang besarnya peluang investasi bidang pariwisata di Sumatra Barat.

2. Meningkatkan rasa memiliki dan kepedulian Saudagar Minang nasional maupun internasional untuk membangun Industri Pariwisata Sumatra Barat.

Output

1. Meningkatnya pengetahuan dan pemahaman tentang besarnya potensi investasi masa depan yang sangat besar di Sumatra Barat khususnya dalam bidang pariwisata.

2. Meningkatnya keinginan Saudagar Minang nasional maupun internasional untuk berinvestasi di Sumatra Barat demi bakti kepada Nagari dengan turut serta membangun industri pariwisata Sumatra Barat.

Kalayau

Huh..

titik lemah mana lagi yang telah kau serang, hingga aku bertekuk lutut seperti rumput rebah ditebas bilah
Sayatan pisau pesonamu menyabik dinding kaca yang terakhir, nyata kibaran bendera putih tak menghalangimu merobohkan singgasanaku,

Seperti kalayau kau terus mengincar sebongkah daging hidup ini , yang akhirnya tercerabut dari hitamnya air mata yang mengalir deras seperti champagne
jeritan kesakitan dan tangisan pengibaan berkumandang di lembah penantian, luka itu kembali terkuak dan seperti lucifer engkau tersenyum puas
aku.. hanya mampu terduduk tertekuk menyerah dan kalah

huh..

lorong waktupun mengukir kisah ini di lembar perjalanan hidupku,
tubuh indah , senyum menawan, geliat manja dan desah pengharapan itu telah menawanku dan membawaku kealtar persembahan Sang Freja

Ketika Tuhan kehilangan Speaker dan Jam dinding

Aku tak pernah bisa memahami mengapa masjid-masjid yang indah dan megah kebanyakan tertutup rapat tidak bisa dimasuki. Seperti halnya sore itu ketika menemani istri belanja disalah satu pasar di jakarta. Udara begitu panas sehingga kesabaranku menemani dia melihat2 barang dan menawar harga yang menurut ku irasional sudah menipis sehingga aku memutuskan untuk menunggu di sebuah masjid yang tak jauh dari pasar itu sembari menunaikan sholat zuhur.

Sesampai di teras mesjid segera aku kecewa karena pagar mesjid yang terbuat dari besi tempa nan indah itu di gembok tertutup rapat. Hilang sudah bayangan ku bisa membasuh muka dan mengambil uduk. Sambil menghela napas aku beranjak ke warung indomie dekat mesjid untuk memesan teh botol sekedar membasahi tenggorokan yang sudah kering.

Anda tentu pernah mengalami hal ini bukan ? mesjid yang indah dan besar seringkali tidak dapat dimasuki. Penjaga warung indomie itu memberitahuku bahwa di mesjid ini seringkali kecurian mulai dari speaker dan jam yang baru terjadi minggu lalu. Dan dengan alasan itulah mesjid itu dikunci dan hanya akan dibuka menjelang waktu sholat tiba.

Ternyata Tuhan kehilangan speaker dan jam sehingga rumahNya terpaksa dikunci untuk menghindari maling berbuat sekehedak hatinya. Yah..seperti kata pepatah lebih baik mencegah daripada mengobati atau tepatnya lebih baik mengunci pintu ketimbang kemalingan..sepintas masuk akal juga. Tentu saja sang maling adalah hamba Tuhan juga, bedanya mungkin hamba yang ini sedang kelaparan, butuh pembeli minyak tanah atau minyak goreng yang sedang membubung tinggi atau bahkan butuh duit untuk mengadu untung memasang togel…

Tapi tetap saja rumah Tuhan tidak bisa dikunjungi sepanjang waktu..buat apa bangun mesjid mahal-mahal ? jangan jangan kita telah terperangkap kepada pemberhalaan mesjid ..dibikin seindah mungkin bersaing dengan mesjid di kampung sebelah namun fungsi aslinya sebagai tempat beribadah dan menghadap Tuhan kapan saja.. tak terpenuhi. Asal muasalnya..yaa..hamba Tuhan tadi itu yang memanfaatkan perabotan Tuhan untuk dijual kepasar loak. Akhirnya rumah Tuhan terkunci rapat….

Aku teringat akan sebuah kisah ketika seorang pendeta tua Zen kencing disamping patung Budha. Lantas pendeta yang lebih muda melihat dan protes mengapa pendeta tua tidak menghormati Budha dengan kencing di dekat patungnya. Pendeta tua balik bertanya tunjukkan pada saya dimana tempat yang tidak ada budha ? tentu saja pendeta yang lebh muda menjawab disegala tempat ada budha. Dengan enteng pendeta tua bertanya lalu saya harus kencing dimana ?

Ternyata menemui Tuhan tidak harus di rumahnya (baca:mesjid). Kita bisa menemuiNya dimana saja, kita bisa sholat di rumah, di emperan toko bahkan dipinggir jalan…jadi meski mesjid nan megah itu tertutup rapat aku bisa menemui Tuhan dengan menumpang sholat di emperan toko penjual DVD bajakan…

Buruknya Pelaksanaan Askeskin

Berdasarkan Undang-Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan didukung Keputusan Menkes No 1241 Tahun 2004 dan No 56 Tahun 2005, pemerintah menunjuk PT. Askes untuk mengelola Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (PJKMM) atau yang lebih dikenal dengan sebutan asuransi sosial bagi masyarakat miskin (askeskin).

Program ini bertujuan untuk memberikan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin di Indonesia yang berdasarkan data BPS 2005 berjumlah 36.146.700 jiwa. Dalam pelaksanaannya PT. Askes berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah seluruh Indonesia yang memberikan daftar nama dan alamat masyarakat yang tergolong miskin di daerah masing-masing.

Beragam Masalah

Pada awal program ini digulirkan muncul persoalan distribusi kartu yang belum tepat sasaran. Hal ini disebabkan tidak akuratnya data yang diterima dari para ketua RT di tingkat kelurahan, sehingga banyak rakyat miskin yang belum mendapatkan kartu Askeskin. Selain itu ditemukan kasus pemalsuan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang dilakukan oleh aparat desa, kecamatan hingga Pemda yang diberikan kepada pihak yang tergolong mampu.

Perencanaan Pemerintah juga di nilai belum matang dalam menyiapkan pendanaan. Dana Askeskin tahun 2007 yang telah disalurkan ke PT Askes senilai Rp 1,7 triliun hanya cukup untuk membayar tagihan biaya pelayanan Askeskin rumah sakit hingga periode Mei 2007. Sehingga pemerintah harus mengupayakan tambahan dana Askeskin tahun 2007 sebanyak Rp 1,7 triliun dari APBNP dan Rp 900 miliar dari realokasi dana Departemen Kesehatan untuk menutupi kekurangan. Keadaan ini menyebabkan kurang optimalnya pelayanan yang diberikan pelaksana kepada masyarakat miskin.

Dalam beberapa bulan terakhir, rumah sakit - rumah sakit rujukan pelayanan Askeskin di daerah mengeluhkan keterlambatan pembayaran klaim biaya pelayanan Askeskin dari PT Askes. Menurut Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari hal itu antara lain terjadi karena proses pencairan klaim PT Askes terlalu panjang. Sebelum disalurkan ke rumah sakit rujukan, dana Askeskin dari PT Askes pusat harus disalurkan dulu ke kantor regional PT Askes dan mengendap beberapa waktu di kantor regional.

Salah satu permasalahan yang cukup serius adalah adanya indikasi penggelembungan tagihan Askeskin yang dilakukan oleh sepuluh rumah sakit antara lain dugaan mark up dana askeskin sebesar Rp 5,411 M pada tagihan obat obatan di RSUD Bau Bau, Sulawesi Tenggara. Penggelembungan tagihan Askeskin di beberapa daerah ini ditengarai melibatkan pihak rumah sakit umum daerah (RSUD), PT Askes dan PT Kimia Farma serta oknum dokter.

Dari pihak pihak tersebut yang paling patut dipersalahkan dalam kasus ini adalah PT Askes yang memiliki kewenangan dalam menentukan lolos atau tidaknya tagihan yang diajukan rumah sakit. Meski para dokter memiliki kesempatan untuk memainkan resep obat bersama RSUD atau apotik Kimia Farma namun tetap harus melalui tim verifikasi klaim dana askes.


Pengawasan dan Penindakan

Menindaklanjuti beragam permasalahan dan penggelembungan tagihan askeskin ini, pemerintah harus segera menindaklanjuti dengan melakukan audit terhadap penyelenggaraan program askeskin dengan meminta BPK melakukan audit investigatif. Pemerintah juga harus segera mengevaluasi kinerja PT Askes, bila memang terjadi penyelewengan atau kekurangsiapan PT Askes sebagai pelaksana maka pemerintah berkewajiban meninjau kembali kerjasama dengan PT Askes dan atau melakukan tender ulang.

Selain itu, mekanisme pengawasan terhadap profesi dokter dan rumah sakit sudah harus lebih ditingkatkan karena selama ini banyak oknum dokter melakukan permainan dengan produsen obat dan pihak rumah sakit dengan menuliskan resep yang tidak masuk akal atau melebihi kebutuhan pasien. Pengawasan ini juga harus meliputi produsen obat atau apotik yang nakal karena selama ini belum ada badan yang melakukan fungsi pengawasan dan penindakan. Kedua fungsi ini sangat penting karena sebagus apapun program pemerintah untuk rakyat miskin jika masih terdapat celah untuk “bermain” maka tujuan mulia itu akan berujung kepada kesia-siaan.

Menyoal Angka Kemiskinan

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam konferensi pers 2 Juli 2007 di Jakarta mengumumkan keberhasilan pemerintah menurunkan tingkat kemiskinan penduduk. Dalam jumpa pers tersebut deputi bidang Statistik Sosial BPS, Arizal Ahnaf menyatakan jumlah penduduk miskin pada bulan Maret tahun ini mencapai 37, 17 juta. Angka ini lebih kecil dibanding bulan Maret tahun lalu yang masih mencapai 39,30 juta. Terjadi penurunan sebanyak 2,13 juta jiwa atau sebesar 16,58% dari jumlah penduduk Indonesia.

Berkurangnya jumlah penduduk miskin ini menurut laporan BPS disebabkan oleh kenaikan pendapatan penduduk yang lebih tinggi dari kenaikan barang. Salah satu indikatornya, dalam setahun terakhir nilai tukar petani naik sekitar 9 persen. BPS juga mengaitkan berkurangnya jumlah penduduk miskin ini dengan keberhasilan program pengentasan kemiskinan melalui program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Menurut BPS, banyak warga miskin yang berhasil memanfaatkan peluang usaha dari uang kompensasi kenaikan harga BBM itu.

Meskipun demikian, laporan BPS ini mendapat sorotan tajam berbagai pihak. Tanggapan paling keras datang dari ekonom yang tergabung dalam Tim Indonesia Bangkit (TIB) yang meragukan kebenaran laporan BPS. Para ekonom tersebut menilai jumlah penduduk miskin tidak mungkin berkurang karena daya beli masyarakat terus menurun ditambah program BLT yang sudah berakhir.

Menurut ekonom TIB, Hendri Saparini, saat ini daya beli rakyat kecil terus merosot, karena kenaikan pendapatan yang diterima lebih rendah daripada kenaikan harga barang dan jasa untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Salah satu indikator untuk mengukurnya adalah upah riil (upah nominal yang telah disesuaikan dengan inflasi). Meskipun inflasi yang dicatat BPS selama setahun terakhir antara 6-7 persen, upah riil yang diperoleh masyarakat masih terus mengalami penurunan. Untuk kelompok buruh tani, misalnya, antara Maret 2006 sampai Maret 2007, upah riil mengalami penurunan sekitar 0,2 persen. Pada periode yang sama, upah riil buruh bangunan, pembantu rumah tangga, dan potong rambut wanita masing-masing mengalami penurunan 2 persen, 0,5 persen, dan 2,5 persen. Demikian juga dengan upah riil buruh industri yang mengalami penurunan sekitar 1,2 persen selama tahun lalu.

Nilai tambah yang diciptakan melalui pertumbuhan ekonomi sekitar 5,5 persen hanya dinikmati oleh kelompok kelas menengah ke atas sehingga semakin memperbesar kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Hal ini sesuai dengan hasil survey yang dilakukan oleh lembaga jasa finansial Capgimini bekerjasama dengan Merrill Lynch yang mencatat peningkatan jumlah anggota klub jutawan dunia dengan kekayaan lebih dari US$ 1 juta yang bermunculan dari Indonesia, Singapura, India dan Rusia


Perdebatan tentang keabsahan laporan BPS ini terutama didasari tidak adanya penjelasan yang memuaskan dari BPS tentang penyebab turunnya angka kemiskinan Indonesia. Terutama soal transparansi dan argumentasi rasional-ekonomi yang lebih rinci. BPS tidak menjelaskan secara detil komponen konsumsi yang naik serta tidak menerangkan karakter masyarakat mana yang berhasil dientaskan dari kemiskinan.

Penduduk miskin dalam kategori BPS adalah mereka yang pengeluaran perbulannya dibawah Rp 166.697 perbulan, lebih tinggi dari garis kemiskinan tahun lalu Rp. 151.997 namun justru terjadi penurunan jumlah masyarakat miskin. Padahal dalam realita kenaikan harga-harga yang ditunjukkan dengan laju inflasi jelas menggerus daya beli masyarakat. Di saat harga-harga barang tinggi, angka yang ditetapkan BPS tersebut jauh dari kenyataan objektif.

Oleh karena itu BPS seharusnya merilis data penurunan kemiskinan ini lebih detil untuk meredam rasa tidak percaya pelaku ekonomi dan masyarakat terhadap laporan BPS. Kecurigaan masyarakat terhadap keabsahan laporan ini diperkuat dengan adanya dugaan intervensi pemerintah lewat Perpres No. 11/2005. Keberadaan Perpres ini memungkinkan adanya campur tangan pemerintah terhadap hasil analisa dan data BPS yang akan diumumkan ke publik.

Jika benar adanya maka ketidak akuratan data dikhawatirkan akan menimbulkan kesalahan dalam penanganan ekonomi Indonesia. Independensi BPS mutlak diperlukan karena tidak ada lembaga serupa yang bisa dijadikan pembanding. Oleh karena itu keberadaan Perpres No 11/2005 ini sebaiknya ditinjau ulang.

Kontroversi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN)

Bagaimanapun juga pembangunan sebuah PLTN disatu negara
bukanlah soal pemenuhan kebutuhan energi listrik semata tapi juga
sebuah keputusan yang menyangkut kehidupan. Dan oleh karena itu
harus diputuskan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat.

Dunia saat ini memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap kesediaan energi. Menipisnya cadangan bahan bakar fosil, fenomena pemanasan global serta kerusakan lingkungan akibat proses produksi dan pemanfaatan energi konvensional memaksa dunia untuk mencari energi alternatif yang menjamin ketersediaan energi dan aman terhadap lingkungan.

Menurut perkiraan, kebutuhan energi listrik tahun 2025 mencapai 100.000 megawatt (MW), sedangkan saat ini tersedia hanya 30.000 MW. Untuk menjamin ketersediaan energi listrik dimasa mendatang pemerintah berketetapan mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir atau PLTN pada jaringan listrik Jawa, Madura, dan Bali paling lambat tahun 2016.

Bagi Indonesia, nuklir sebagai sumber energi terbarukan, memang layak diperhitungkan sebagai pembangkit listrik karena pemanfaatan sumber daya energi yang ada saat ini, seperti air dan minyak bumi, ketersediaannya sangat terbatas.

Namun sejalan dengan itu masih terjadi pro dan kontra terhadap penggunaan energi yang bersumber dari nuklir. Aktivis lingkungan Green peace termasuk pihak yang memaksa Indonesia untuk membatalkan rencana pembangunan PLTN ini, ribuan masyarakat Kudus dan jepara juga menolak Pembangkit Listrik bertenaga Nuklir dibangun di daerah mereka.

Laporan Akhir Penelitian LPM Unibraw juga menyatakan bahwa 63, 83% masyarakat Madura menjawab tidak mungkin PLTN dibangun di Madura, 13,33% menjawab tidak tahu, dan 20, 83% menjawab mungkin (hal ini belum tentu mereka setuju terhadap pembangunan PLTN).

Kekhawatiran masyarakat terhadap PLTN bukanlah tanpa alasan, telah terjadi beberapa kecelakaan dalam sekala kecil maupun besar. Pada tanggal 28 Maret 1979, telah terjadi kecelakaan yang relatif kecil di Three Mile Island (AS) hingga Tragedi Chernobyl di Ukraina tahun 1986 yang menimbulkan ribuan korban jiwa sehingga memberikan gambaran yang cukup buruk bagi industri nuklir.

Meskipun begitu dalam kenyataan untuk masa mendatang tenaga nuklir masih menjadi salah satu alternatif dari sekian banyak alternatif energi terbarukan seperti tenaga angin, gelombang laut, pasang surut, cahaya matahari, panas bumi yang tersedia melimpah bahkan gratis. Oleh karena itu pemerintah musti memberikan pemahaman dan jawaban terhadap kekhawatiran dan pertanyaan masyarakat terhadap pilihan teknologi ini, antara lain;

Pertama faktor ekonomi; Secara umum, PLTN dapat digolongkan sebagai investasi dengan modal tinggi dan perlu dikaitkan dengan kemampuan keuangan dalam negeri. Harga untuk satu reaktor milik General Electrict mencapai 12 Trilyun rupiah. Reaktor ini dapat befungsi sampai 30 tahun namun dalam kenyataannya reaktor di AS sudah tutup sebelum 20 tahun. Sesudah 12 tahun, efisiensinya menurun karena biaya operasional dan perbaikan meningkat, sementara risiko kecelakaan bertambah. Semakin tua umur suatu reaktor maka biaya operasional dan pengamanan akan semakin tinggi. Diperkirakan pengelolaan akan semakin tinggi setelah sekitar 7 tahun. Pada saat itu pengelolaan beralih ke tangan pihak Indonesia. Itu berarti biaya operasional, perawatan, dan pengolahan limbah radioaktif akan semakin melangit. Sementara itu cadangan uranium Indonesia diperkirakan hanya cukup untuk 11 tahun, selain teknologi hal ini tentu akan menambah ketergantungan terhadap negara lain. Dengan kata lain, negara pemilik teknologi lebih diuntungkan dalam proyek ini.

Kedua; faktor pencemaran lingkungan, kesehatan dan keamanan. Kekhawatiran masyarakat sangat tinggi terhadap radiasi akibat kebocoran dan limbah nuklir. Limbah nuklir yang memiliki konsentrasi radiasi tinggi membutuhkan penanganan khusus karena umur radiasi limbah ini membahayakan manusia dan lingkungan hingga ratusan tahun. Disamping itu kesiapan sumber daya manusia Indonesia juga masih dipertanyakan karena untuk menjadi operator dari sebuah reaktor nuklir ini dibutuhkan pendidikan khusus yang memakan waktu hingga 10 tahun.

Kekhawatiran-kekhawatiran inilah yang musti dijawab pemerintah sesegera mungkin yang menerangkan alasan pemilihan teknologi ini dibanding dengan energi alternatif lainnya yang bisa didapatkan di Indonesia secara lebih murah dan aman. Kajian bersifat rinci dan menyeluruh ini menjadi penting karena kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah menjadi faktor utama kelangsungan program ini. Kegagalan pemerintah dalam menjamin hak dan kepentingan masyarakat dalam kasus Lapindo, Meruya dan Pasuruan misalnya menjadi faktor pemicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Pada akhirnya, jaminan pemerintah bahwa program PLTN ini tidak akan merugikan lingkungan dan masyarakat adalah suatu keniscayaan.

.