PKS, Golkar, PDIP ke 2009

Dimuat di Sinar Harapan
5 Mei 2008

Kemenangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan partai kecil lainnya di Jawa Barat dan Sumatera Utara sangat mengejutkan. Untuk kesekian kalinya, partai besar bertekuk lutut dihadapan partai-partai kecil yang tidak memperoleh suara signifikan di daerah tersebut pada pemilu 2004.

Kemenangan PKS di Sumatera Utara misalnya, diangap telah menebar ancaman serius kepada partai besar. Karena dalam Pemilu 2004 lalu, perolehan suara PKS tidak masuk lima besar. Lima besar parpol di Sumut dalam Pemilu 2004 lalu adalah Golkar (22,6 %), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) (15,9 %), PDS (7,6 %), PPP (7,5 %), dan Partai Demokrat (6,9 %).

Meskipun begitu, secara keseluruhan partai Golkar terhitung masih menempati peringkat terbanyak dibanding partai lain, dalam menempatkan kadernya sebagai pemenang Pilkada sepanjang 2005-2008 yaitu sebanyak 138 Pilkada. Sementara itu PDIP mampu memenangi 100 Pilkada, sedangkan PKS memenangi 53 Pilkada, kesemuanya tanpa koalisi ataupun melalui koalisi (Kompas, 19 April 2008) .

Walaupun secara nasional partai besar jauh lebih unggul, namun kemenangan beruntun PKS ini merupakan tamparan keras bagi partai besar seperti Golkar dan PDIP serta partai besar lainnya. Kekalahan partai besar di beberapa daerah pemilihan ini memberikan sinyal darurat bagi partai besar supaya segera melakukan evaluasi mesin partai secara menyeluruh dan berhenti hanya mengandalkan image sebagai partai besar.

Kepemimpinan dan Rekrutmen

Untuk selanjutnya kita hanya akan membahas dua partai terbesar yaitu Golkar dan PDIP serta PKS sebagai penebar ancaman. Kekalahan Golkar dan PDIP di Jawa Barat dan Sumatera Utara sesungguhnya adalah cerminan dari buruknya kepemimpinan partai dan pola rekrutmen kandidat di masing-masing partai tersebut.

Kekalahan kandidat Golkar pada Pilkada di Sulawesi Selatan, Jawa barat dan Sumatera Utara misalnya, merupakan ironi tersendiri karena kandidat yang memenangkan Pilkada adalah kandidat yang sebelumnya pernah menjadi anggota/pengurus partai berlambang beringin tersebut. Syahrul Yasin Limpo adalah birokrat yang pernah menjabat sekretaris Golkar Sulawesi Selatan. Sementara itu, Syamsul Arifin adalah kader Golkar yang pernah menjabat Ketua DPD II Langkat namun dipecat dari Partai Golkar karena nekat maju mencalonkan diri sebagai gubernur Sumatera Utara.

Hal ini mengindikasikan secara jelas bahwa Golkar kurang jeli dalam memilih kandidat yang akan diusung dan boleh jadi disebabkan oleh kepemimpinan Golkar saat ini kurang responsif dan mengakar karena masih menganut kepemimpinan oligarki yang kental.

Sama halnya dengan Golkar, PDIP juga memiliki pola kepemimpinan oligarkis dari tingkat pusat hingga daerah. Hal ini menyebabkan proses rekrutmen lebih kental dengan intervensi elit (non-merit system) dibandingkan dengan aspirasi dari bawah. PDIP terlihat lebih senang mencalonkan kandidat yang berlatar belakang militer seperti halnya di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Bahkan keputusan untuk mengusung Mayjen TNI Purn Tri Tamtomo (mantan Pangdam Bukit Barisan) dalam Pilkada Sumut dilakukan hanya beberapa bulan mendekati Pilkada.

Pola rekrutmen kedua partai tersebut kelihatannya lebih memilih atas dasar pertimbangan penguasaan kepentingan ekonomi politik lewat pihak lain daripada mengusung kader potensial. Intervensi pengurus partai, terutama Dewan Pimpinan Pusat (DPP) masih kental, sehingga kesempatan kader non-structural sangat kecil. Penjaringan kandidat belum memuat prinsip demokratis, transparan, dan mendengarkan aspirasi konstituen, tetapi lebih atas dasar keinginan elit partai.

Pola rekrutmen seperti itu tak terlepas dari otoritas politik yang ada di partai dikuasai oleh segelintir ”orang kuat”. Merujuk pada pemikiran Robert Michels dalam Political Parties (1984), sulitnya partai untuk mereformasi diri adalah karena kuatnya oligarki partai. Sehingga Partai dengan sistem ini sulit untuk membuka ruang kebebasan bagi kadernya. Kebijakan partai bertumpuk pada kekekuasaan elit partai, sehingga sulit untuk diterapkannya sistem desentralisasi kepartaian. Dalam penetapan calon kepala daerah, pengurus di tingkat pusat hingga daerah diwajibkan taat terhadap keputusan partai yang bersifat final. Celakanya, kedua partai ini tidak memiliki soliditas mesin partai serta militansi kader yang kuat sehingga partai tidak mampu memaksa basis massa untuk menaati perintah tersebut.

Berbeda dengan Golkar dan PDIP, PKS memiliki tipe kepemimpinan yang kolektif. Setiap keputusan atau kebijakan partai di semua tingkat kepengurusan dilakukan dengan melibatkan semua pengurus. Dalam tradisi demokrasi, kepemimpinan kolektif adalah sesuatu yang sangat penting, karena akan meminimalisir kecenderungan oligarki.

Meskipun begitu, pola rekrutmen kandidat PKS juga tidak lepas dari intervensi elit seperti halnya Partai Golkar dan PDIP. Namun, basis massa PKS sangat patuh terhadap keputusan yang dibuat partai. Soliditas mesin partai sangat terasa sehingga militansi kader mampu memobilisasi basis massa untuk memilih kandidat yang diusung partai tersebut.

Pola Kampanye

Kelemahan PKS sebagai partai baru yang minim tokoh-tokoh potensial yang mempunyai ikatan emosional yang kuat dengan masyarakat lokal, disikapi dengan menggandeng dan merekrut tokoh-tokoh tersebut untuk meraih dan memperoleh dukungan luas masyarakat. Hal ini terlihat dengan jelinya PKS menempatkan Dede Yusuf di Jawa Barat yang merupakan publik figur dan sudah dikenal masyarakat luas. Demikian juga halnya dengan mengusung Syamsul Arifin di Sumatera Utara yang dikenal sangat merakyat dan pernah menjabat sebagai Bupati.

PKS juga memiliki teknik kampanye yang beragam. Ada tahap perencanaan yang terdiri dari segmentasi, targeting dan positioning program-program pada pemilu yang terdiri dari direct marketing/door to door dan Polling. Dari strategi-strategi itu yang paling menonjol dan sangat efektif dalam menjaring massa adalah direct marketing karena langsung berhubungan dengan masyarakat, jadi bisa diketahui berapa kekuatan nyata yang mendukung PKS.

Hal ini tidak diantisipasi oleh Golkar dan PDIP dengan merubah strategi dan pola kampanye tradisional selama ini dengan strategi yang lebih efektif. Gokar masih menggunakan pola kampanye lama yang mengandalkan jaringan birokrasi untuk memobilisasi massa seperti era orde baru. Pada era orde baru, pola ini sangat efektif karena Golkar ketika itu bisa menginstruksikan gubernur hingga camat untuk memobilisasi massa. Hal yang mustahil dilakukan saat ini meskipun Katua Umum Golkar Jusuf Kalla menjabat Wakil Presiden.

PDIP juga kelihatannya masih terlalu percaya diri mengandalkan basis massa massa yang kebanyakan berasal dari masyarakat berpendapatan rendah, berpendidikan rendah, tinggal di pedesaan, dan kaum minoritas, yang masih menjunjung tinggi pemimpin karismatik dan fanatik. Padahal dalam memilih kepala daerah masyarakat lebih banyak melihat popularitas calon ketimbang ideologi partai maupun sosok pimpinan partai yang mengusung calon tersebut.

Proyeksi 2009

Apakah kemenangan beruntun yang didapat PKS dalam Pilkada menunjukkan peningkatan dukungan masyarakat terhadap PKS ataukah hanya dukungan sesaat yang dipengaruhi oleh momentum Pilkada ataupun koalisi yang dibangun pada Pilkada ?

Agak sulit kiranya menyimpulkan peningkatan suara PKS dalam Pilkada merupakan indikasi semakin besarnya dukungan masyarakat. Karena faktor terpenting dalam pilkada adalah figur calon yang ditunjang mesin partai yang solid. Keberhasilan PKS menemukan figur calon yang memiliki ketokohan cukup kuat, dimana tokoh eksternal dan kader internal memiliki ketokohan yang seimbang dan disempurnakan dengan mesin partai yang solid serta kader militan yang mampu memobilisasi massa ke tempat pemungutan suara adalah penentu kemenangan tersebut.

Sementara itu, kegagalan Partai Golkar dan PDIP mempertahankan kantong-kantong massanya akan menjadi ancaman serius di Pemilu 2009. Realitas politik dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung yang diselenggarakan selama beberapa tahun terakhir ini belum menunjukkan gelagat partai ini melakukan perbaikan kinerja mempertahankan basis massanya. Bahkan, ada kecenderungan partai-partai ini sulit mempertahankan dominasi di beberapa wilayah. Bila kedua partai ini tidak membenahi pola kepemimpinan dan dan rekrutmen calon legislatif, bukan mustahil kedua partai ini akan mengalami penurunan suara dalam pemilu tahun depan, meskipun masih akan menjadi dua partai terbesar.