Satu di antara dua matahari

Dimuat dI Teras Utama Padang Ekspres 2 Desember 2006

Menjelang Pemilu 2009 banyak bermunculan partai baru. Salah satu partai yang cukup mendapat perhatian adalah Partai Matahari Bangsa (PMB). Kemunculan partai ini menarik untuk disimak karena keberadaan partai ini merupakan inisiatif kader muda Muhammadiyah yang mengklaim bahwa PMB adalah partai resmi warga Muhammadiyah. Sementara secara de facto Muhammadiyah adalah basis pendukung Partai Amanat Nasional (PAN) yang saat ini dipimpin Soetrisno Bachir. Bagaimana bisa terjadi dualisme “matahari” dalam arus politik warga Muhammadiyah ?

Akumulasi kekecewaaan

Bermunculannya partai partai baru merupakan gejala politik yang biasa dalam proses demokratisasi. Partai baru itu ada yang tidak benar benar baru alias tukar nama karena partai sebelumnya tidak lolos electoral treshold dan ada juga partai yang benar benar baru meskipun sempalan dari partai yang telah ada sebelumnya.

Biasanya partai ini lahir karena akumulasi kekecewaan massa atau kader partai terhadap partai mereka sebelumnya. Fenomena ini bukanlah barang baru, sebut saja PDP yang lahir karena kekecewaan terhadap kepemimpinan Megawati di PDI-P. Kemudian PKNU yang lahir karena kecewa terhadap perpecahan di tubuh PKB. Begitu juga lahirnya PMB adalah karena kecewa terhadap PAN yang dirasa tidak mampu memperjuangkan aspirasi mereka

Setidaknya ada dua persoalan yang melatari kekecewaan tersebut., pertama pandangan mereka terhadap kinerja Partai yang diwujudkan angggota legislatif, kedua menyangkut aspirasi massa pemilih yang cenderung terpinggirkan. Sepertinya alasan kedua yang lebih dominan terhadap munculnya PMB.

Seperti yang dikemukakan Ketua Umum PMB Imam Daruqutni, PAN yang nota bene dilahirkan Muhammadiyah, dirasa banyak mengabaikan kepentingan warga Muhammadiyah. Dalam kepengurusan, warga Muhammadiyah mulai tersisihkan oleh orang orang yang bukan Muhammadiyah (free rider). Kalau dicermati memang kepengurusan PAN sepi dari alumni IMM yang merupakan lumbung kader Muda Muhammadiyah dan malah lebih banyak dihuni alumni HMI.

Kemudian minimnya perolehan suara PAN pada Pemilu 1999 dan 2004 dianggap karena PAN tidak menggunakan asas Islam sebagai landasan perjuangannya. Hal inilah yang banyak dikatakan sebagai faktor penyebab banyaknya suara warga Muhammadiyah yang lari. Mereka menganggap bahwa asas merupakan faktor fundamental bagi kesuksesan sebuah partai. Hal inilah yang barangkali mendasari PMB mengusung asas Islam sebagai landasan ideologi politiknya.

Pilihan baru

Menyimak perjalanan hubungan PAN dan Muhammadiyah, PAN hanya memperoleh suara maksimal 7% atau sekitar 7 juta suara bila dibandingkan jumlah anggota Muhammadiyah yang 30 juta orang tersebut. Realita seperti ini setidaknya menimbulkan ketidak puasan warga Muhammadiyah terhadap kendaraan politik mereka selama ini. Dalam bahasa lain hasrat politik warga Muhammadiyah tidak bisa tersalurkan sepenuhnya oleh PAN sejauh ini sehingga partai baru adalah salah satu pilihan yang logis.

Adanya dua partai yang sama sama mengklaim sebagai partainya Muhammadiyah ini sesungguhnya tidak akan membawa dampak langsung bagi Muhammadiyah. Sebagai lembaga sosial, Muhammadiyah sudah mempertegas dirinya tidak akan masuk ke wilayah politik praktis. Seperti yang dikatakan Din Syamsudin, Muhammadiyah adalah milik semua Parpol yang memperjuangkan misi Muhammadiyah.

Yang paling berpengaruh dengan kelahiran PMB tentu saja PAN yang memang kepengurusannya di daerah kental dengan nuansa Muhammadiyah. Karena memang di arus bawah, sebagian besar cabang dan ranting PAN didirikan atas inisiatif warga Muhammadiyah. Meskipun tidak ada hubungan struktural antara PAN dan Muhammadiyah, di antara keduanya kerap kali terjadi hubungan sinergis. Seringkali para aktivis PAN meminjam fasilitas Muhammadiyah untuk melakukan aktivitasnya. Hal ini bukan karena PAN-nya, tetapi karena memang orang yang berada di dalam dua organisasi tersebut itu-itu juga.

Dengan kelahiran PMB yang dimotori kader muda Muhammadiyah maka dominasi PAN terhadap warga Muhamadiyah terutama dikantong2 muhammadiyah seperti di Sumbar diprediksi akan berakhir. Kelompok ataupun pihak yang selama ini merasa terabaikan oleh PAN tentu saja memperoleh pilihan baru dalam menyalurkan aspirasi politiknya.

Kemelut PAN Sumbar

Di Sumbar sendiri gaung PMB telah cukup santer terdengar jauh sebelum partai ini dikenal publik. Tidaklah mengherankan karena PAN adalah salah satu partai paling berpengaruh di propinsi yang mayoritas masyarakatnya adalah warga Muhammadiyah.

Terlebih di Sumatera barat dinamika konflik antara Muhammadiyah dan PAN intensitasnya cukup tinggi. Pada Pilgub lalu misalnya calon Gubernur yang di sodorkan warga Muhammadiyah tidak mampu diakomodasi oleh PAN sehingga akhirnya calon aspirasi Muhammadiyah itu di usung oleh Parpol lain. Kasus ini merupakan preseden teramat buruk bagi PAN Sumbar. Saat dimana PAN mengkhianati basis massa yang merupakan “ibu” bagi PAN itu sendiri.

Fenomena suara terbanyak yang diusung oleh PAN di Pemilu 2004 lalu juga menyisakan banyak masalah. Mekanisme suara terbanyak yang awalnya di puji banyak pihak karena sangat demokratis ternyata telah menjadi bom waktu. Banyak masalah yang belum terselesaikan contoh nya di Kab. 50 kota, yang mendapat suara terbanyak sampai sekarang belum duduk di kursi legislatif.

Kekecewaan demi kekecewaan yang dialami oleh massa dan simpatisan PAN di Sumbar sepertinya akan menjadi amunisi politik bagi PMB untuk menarik dukungan warga Muhammadiyah di Sumbar.

Oleh karena itu mencermati dinamika politik Indonesia dan Sumbar khususnya kedepan akan amat menarik.. Menyimak kata- kata Ahmad Dani “tidak boleh ada dua matahari dalam satu keluarga” begitu pula bagi warga Muhammadiyah yang dihadapkan pada pilihan dua matahari, apakah memilih matahari biru ataukah lebih senang memilih matahari merah ? Sejarah akan memberikan jawabannya.