Nurani Pemimpin

Padang Ekspres 23 Juni 2007

Kesejahteraan masyarakat adalah hukum yang tertinggi (Sales Patriae Suprame Lex). Sebagai bagian dari masyarakat maka kata kata dari Cicero ini terasa sangat menyejukkan dan menimbulkan optimisme bagi kita semua. Betapa tidak sebagai rakyat kecil kita sangat mendambakan pemimpin-pemimpin yang menempatkan kepentingan masyarakat diatas segala galanya.

Delapan tahun berjalannya reformasi kita disuguhkan perubahan demi perubahan, yang paling kita rasakan adalah kebebasan berpendapat, berpolitik serta kebebasan pers. Meskipun banyak perubahan yang kita rasakan namun tujuan mulia reformasi untuk memberantas KKN dan memperbaiki kesejahteraan ekonomi masyarakat belumlah tercapai.

Zaman pemerintahan orde baru dulu kita terperangkap dalam Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang saking berkarat-karatnya sudah jadi budaya dalam birokrasi bahkan dalam masyarakat. Dalam arus perjalanannya orde reformasi ternyata tidak mampu mengobati penyakit yang bagaikan kanker kronis tersebut.

Masyarakat kita mengiba dalam derita dan nestapa yang tak kunjung usai. Negara yang seharusnya melindungi hak-hak rakyat dan memperjuangkan kesejahteraan hidupnya telah menjadi lembaga “mati” dan nyaris tidak memiliki hati. Reformasi telah terlantar atau diterlantarkan. Reformasi hanyalah menjadi simbol legalitas untuk memuluskan ambisi para elit politik dalam memperebutkan kekuasaan dan mengumpulkan kekayaan.

Lihat saja berbagai kasus korupsi yang mencuat di gawangi oleh pemimpin kita yang selama ini kita hormati. Kasus DKP yang saat ini sedang jadi perbincangan memperlihatkan betapa bobroknya moral pemimpin bangsa ini. Kasus Lapindo yang berlarut larut dimana rakyat tetap jadi korban kepentingan pemimpin dengan koloni dan koleganya. Belum lagi korupsi terhadap jatah rakyat di daerah daerah korban bencana. Benarlah kiranya pernyataan Buya Syafie Maarif yang mengatakan kita hidup dalam budaya kumuh.

Desentralisasi kewenangan pusat kedaerah sesungguhnya adalah angin segar bagi masyarakat kecil. Dengan otonomi setingkat kabupaten masyarakat berharap lebih diperhatikan oleh pemimpin. Namun rupa-rupanya budaya pemimpin yang korup tadi belumlah tersentuh oleh semangat reformasi. Meskipun pemerintah daerah telah menerapkan anggaran berbasis kinerja (performance budgeting) tetap saja para pemimpin mengakumulasikan anggaran daerah maupun pusat ke pos-pos yang “jauh panggang dari api” untuk memakmurkan masyarakat .

Simak saja hasil penelitian dari Institute for Development and Economic Analysis, yang meneliti soal alokasi anggaran daerah yang timpang dan belum pro-people budget. Menurut temuannya: Di Kabupaten Ciamis, anggaran 2004 untuk penanganan gizi buruk hanya Rp 10 juta, sementara jamuan makan pemerintah Rp 4 miliar lebih. Padahal kearifan lokal masa lalu mengajarkan kepada kita, agar bangsa beradab ini jangan lebih besar pasak dari pada tiang, lebih besar anak kunci dari gemboknya.

Sumatra Baratpun tidak terbebas dari kemelut anggaran timpang ini. Sebuah harian nasional (Rakyat Merdeka, 14 Mei 2007) memberitakan bahwa Gubernur Sumatra Barat menganggarkan pembangunan replika istana pagaruyung 69 M, dari dana tersebut sebanyak 59 M dibiayai dari APBD. Hanya sedikit lebih kecil dari anggaran untuk pendidikan termasuk pembangunan ratusan sekolah yang rusak dengan anggaran 70 M.

Padahal Permendagri 13/2006 mengamanatkan bahwa pendidikan termasuk kedalam 25 urusan wajib yang musti diambil oleh daerah sedangkan pariwisata adalah urusan pilihan yang tentu tidak lebih penting dari pada urusan wajib. Bukannya tidak menghargai sejarah namun sebagai masyarakat awam tentu kita lebih memprioritaskan pembangunan sekolah sekolah yang rusak serta rumah-rumah masyarakat yang hancur akibat gempa karena bagaimanapun pendidikan adalah aspek terpenting untuk membentuk generasi muda yang cerdas sebagai tumpuan masa depan.

Sebagai rakyat kecil kita tentu merasa miris dengan keadaan ini. Kalau di hitung-hitung pengeluaran pejabat, pegawai dan wakil rakyat menghabiskan sekitar 70% dari APBD, sisanya yang 30 % itulah yang digunakan untuk pelayan publik. Sisa sisa itulah yang digunakan untuk kita masyarakat, apakah itu pembangunan jalan atau sekolah dan rumah sakit. Itupun kalau anggaran itu tidak dikorupsi. Tidak lah heran perubahan dan kesejahteraan yang kita damba dambakan tidak kunjung datang.

Penyakit peradaban berupa KKN, pelanggaran HAM dan sebagainya yang telah melekat erat dalam urat nadi kehidupan kita masih belum mampu diselesaikan oleh pemimpin kita. Pemimpin yang kita harapkan memperjuangkan nasib rakyat kecil ternyata lebih sibuk mempertahankan kekuasaan politiknya. Pemimpin yang kita pilih lewat pemilu yang demokratis lebih tertarik untuk tebar pesona demi pemilu berikutnya. Pemimpin yang kita harapkan mendobrak kebuntuan ternyata lebih tertarik melakukan pembangunan yang “rancak dilabuah”.

Sesungguhnya masalah demi masalah yang dihadapi masyarakat bermula dari hilangnya kejernihan hati nurani pemimpin. Hilangnya hati nurani telah menyuburkan perilaku ketidakjujuran yang menyentuh setiap dimensi kehidupan. Pada akhirnya ungkapan masyarakat adalah hukum tertinggi masih jauh dari benak pemimpin kita, lalu kita mau apa ?

Kenaikan Harga Minyak Goreng

Sejak beberapa pekan terakhir harga minyak goreng di pasaran dalam negeri melonjak drastis. Harga semula yang berkisar antara Rp. 5.500 - Rp 6.000 melonjak menjadi Rp 8000 - Rp 9000 bahkan disejumlah daerah mencapai Rp 15.000.

Kenaikan harga ini dipicu oleh naiknya harga Crude Palm Oil (CPO) di pasaran internasional. Harga CPO dunia menembus angka US $ 780 per ton atau naik hampir dua kali lipat dibanding harga tahun lalu yang berkisar US $ 400 per ton. Dalam kondisi seperti ini harga CPO dalam negeri ikut terpengaruh.

Sejak dulu pasokan CPO untuk internasional memang selalu lebih dari dua pertiga total produksi sedangkan untuk pasaran dalam negeri kurang dari satu pertiganya. Sehingga harga pasaran CPO dunia saat ini yang melonjak tajam menggoda produsen CPO untuk meningkatkan volume ekspor nya lebih besar lagi ketimbang memasok untuk industri hilir dalam negeri. Akibatnya harga minyak goreng dan produk turunannya terus menunjukkan grafik kenaikan.

Setelah mendapat tekanan dari pemerintah untuk menurunkan harga minyak goreng dalam negeri, produsen CPO sepakat untuk meningkatkan pasokan dalam negeri minimal 100.000 metrik ton dengan harga yang lebih rendah dari pasaran internasional. Sementara itu wakil presiden Jusuf Kalla juga menyerukan agar meningkatkan jumlah operasi pasar. Sehingga dengan langkah-langkah tersebut diharapkan harga minyak goreng turun ke kisaran harga ideal hingga akhir bulan ini. Jika belum berhasil maka akan diambil kebijakan lain dengan menaikkan pajak ekspor .

Berbagai kebijakan tersebut akhirnya juga menyisakan tanda tanya; apakah cukup langkah pemerintah hanya dengan memantau realisasi komitmen produsen CPO untuk mengamankan harga pasar dalam negeri ? Pengusaha tentu juga tidak mau merugi karena dari hulu sampai ke hilir terdapat distorsi pasar yang cukup parah antara lain disinsentif pajak ekspor yang mempengaruhi pembelian ke tingkat petani. Operasi pasarpun juga tanpa kendala. Bila terjadi intervensi pasar, tidak jelas siapa yang akan menanggung biaya subsidi apakah pemerintah ataukah pihak produsen.

Meningkatkan pasokan dalam negeri juga dirasa tidak menjamin harga akan turun seperti yang diharapkan. Permintaan terhadap CPO sangat signifikan dan relatif lebih besar dibandingkan pasokannya (excess demand). Pasokannya tergantung/dibatasi alam (gestation period). Untuk meningkatkan produksinya, diperlukan waktu tanam hingga masa panen antara empat hingga lima tahun. Hal ini tentu saja juga bisa memicu kenaikan harga yang berlebihan ditingkat petani. Apalagi penggunaan CPO sebagai bahan dasar penggunaan BBM Nabati semakin populer di seluruh dunia .

Menentukan kebijakan untuk menangani persoalan ini musti mempertimbangkan berbagai aspek kepentingan, antara lain; pertama, kepentingan konsumen terutama rumah tangga yang memakai minyak goreng sebagai kebutuhan pokok. Kedua, kepentingan pengusaha kecil makanan yang mendapatkan keuntungan minim akibat kenaikan harga minyak.Ketiga, kepentingan pemerintah dalam meningkatkan devisa negara serta keempat, kepentingan petani sawit dan produsen CPO yang mendapat kesempatan menikmati keuntungan lebih dari sebelumnya. Kesemua aspek ini musti diakomodir namun aspek konsumen tetap harus menjadi prioritas utama.

Dalam hal ini, peran pemerintah yang sangat penting adalah menjaga tingkat inflasi dan harga-harga secara umum karena harga minyak goreng mempunyai pengaruh signifikan terhadap inflasi. Untuk menghindari kenaikan harga yang berlebihan dan memberatkan konsumen dibutuhkan sedikit intervensi pemerintah ketimbang menyerahkan sepenuhnya pada ekonomi pasar.

Rekomendasi;

1. Pemerintah menaikkan pajak ekspor kepada produsen CPO namun selisih kenaikan dari pajak sebelumnya digunakan untuk subsidi harga minyak goreng dalam negeri. Sehingga tidak memberatkan produsen CPO juga harga di tingkat petani serta pasaran dunia tetap terkontrol.

2. Dalam jangka menengah pemerintah melakukan intervensi terhadap hukum persaingan usaha karena industri hilir hanya dikuasai oleh satu atau dua pengusaha besar sehingga struktur pasar bersifat oligopolis dan ada kecenderungan kartel.

3. Mengingat kenaikan harga ini bisa terulang kapan saja maka dalam jangka panjang pemerintah perlu memikirkan untuk melahirkan UU Pengendalian Harga terutama terhadap bahan pokok. Dengan UU ini produsen dan pemasok tidak diperbolehkan menjual produk diatas harga yang ditetapkan pemerintah.