Koalisi untuk Pemerintahan yang Kuat

Harian Jurnal Nasional Kamis 11 September 2008

Hakikat koalisi sendiri adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri (autonomuos), dan tahan lama (durable).

Benni Inayatullah

Wacana koalisi partai politik di Indonesia kembali menghangat seiring berhembusnya rencana koalisi antara Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Bila wacana ini benar-benar bisa dilaksanakan maka akan menjadi angin segar bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

Banyaknya partai yang akan bertarung pada pemilu 2009 nanti memang menggiring partai politik untuk berkoalisi agar bisa mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. Terutama bila Undang-Undang Pemilihan Presiden yang sedang dibahas saat ini memutuskan persyaratan yang tinggi bagi partai untuk bisa mencalonkan misalnya 30 persen, maka bisa dipastikan tak ada satupun parpol yang mampu mengajukan calon secara sendiri.

Pemerintahan yang Kuat


Dalam sistem pemerintahan presidensil yang multipartai, koalisi adalah suatu keniscayaan untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Hakikat koalisi sendiri adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri (autonomuos), dan tahan lama (durable). Pemerintahan yang kuat bisa diartikan pemerintah yang mampu menciptakan dan mengimplementasikan kebijakannya tanpa khawatir mendapat penolakan atau perlawanan di parlemen. Pemerintahan yang mandiri adalah pemerintah yang mampu mengimplementasikan program dan kebijakan yang populer ataupun yang tidak populer tanpa harus didikte koalisi pendukungnya. Sedangkan pemerintah yang tahan lama adalah pemerintahan yang mampu mempertahankan kekuasannya dalam periode tertentu (5 tahun) tanpa harus khawatir diturunkan oleh elit tandingannya dengan seenak hati.

Dalam sejarah politik Indonesia, koalisi yang seperti ini boleh dikatakan belum pernah terjadi. Sejak demokrasi liberal tahun 1950-an, koalisi yang terbentuk adalah koalisi yang rapuh dan cair sehingga kabinet yang terbentuk jatuh bangun. Koalisi Kebangsaan yang mengusung Mega-Hasyim pada Pemilihan Presiden 2004 yang digawangi PDIP dan Golkar juga bubar di tengah jalan menyusul kepindahan Golkar dari koalisi Kebangsaan menjadi partai pendukung SBY-JK yang diusung koalisi Kerakyatan.

Sebagai koalisi yang berhasil mengantarkan SBY-JK menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2004-2009, koalisi kerakayatan juga bukanlah koalisi dalam gambaran yang ideal. Kasus terakhir yang membuktikan ini adalah lolosnya hak angket BBM dimana yang ikut mengajukan adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang merupakan pendukung koalisi Kerakyatan. Rapuhnya koalisi yang terbentuk ini tentu saja tidak akan mampu melahirkan pemerintahan yang kuat dan tegas. Setiap program dan kebijakan yang diusulkan presiden harus mempertimbangkan kepentingan partai anggota koalisinya. Bila tidak, maka koalisi yang rapuh itu bisa saja bubar di tengah jalan dan berbalik menjadi lawan pemerintah. Situasi seperti inilah yang mungkin menyebabkan presiden SBY terlihat sering ragu-ragu dan kurang tegas.

Koalisi Permanen

Untuk membentuk pemerintahan yang kuat, mandiri dan tahan lama, maka koalisi yang harus dibentuk adalah koalisi yang permanen. Yaitu koalisi yang terbentuk dari adanya nilai-nilai bersama, tujuan politik yang sama dengan adanya konsensus dan kontrak politik untuk mepertahankan koalisi. Bukanlah koalisi pragmatis yang hanya berdasarkan kepentingan sesaat untuk merebut kekuasaan.

Koalisi permanen ini memang tidak bisa dibentuk dengan sembarangan. Mengacu pada teori Arend Lijphart, setidaknya terdapat empat teori koalisi yang bisa diterapkan di Indonesia. Pertama, minimal winning coalition dimana prinsip dasarnya adalah maksimalisasi kekuasaan. Dengan cara sebanyak mungkin memperoleh kursi di kabinet dan mengabaikan partai yang tidak perlu untuk diajak berkoalisi. Kedua, minimum size coalition, dimana partai dengan suara terbanyak akan mencari partai yang lebih kecil untuk sekadar mencapai suara mayoritas. Ketiga, bargaining proposition, yakni koalisi dengan jumlah partai paling sedikit untuk memudahkan proses negosiasi. Keempat, minimal range coalition, dimana dasar dari koalisi ini adalah kedekatan pada kecenderungan ideologis untuk memudahkan partai-partai dalam berkoalisi dan membentuk kabinet.

Dalam praktik, koalisi kerakyatan yang mengusung SBY-JK pada Pilpres 2004 tidak memenuhi teori di atas. Sehingga dalam perjalanan pemerintahan tidaklah mengherankan bila koalisi yang terbentuk tidak memenuhi hakikat koalisi (strong, autonomuos, durable). Presiden kita, SBY berasal dari partai kecil dan gabungan partai kecil (Demokrat, PBB, PKPI, PKS dan belakangan Golkar). Meskipun dipilih langsung oleh rakyat, pemerintahan SBY masih harus menghadapi kekuatan oposisi PDIP yang kekuatannya masih berimbang. Sehingga pemerintahan yang terbentuk tidak terlalu kuat, kemandirian pemerintahan juga masih diragukan karena sering didikte oleh koalisi sehingga terkesan presiden SBY terlalu berhati-hati dalam membuat kebijakan dan mengambil keputusan. Bahkan untuk mempertahankan pemerintahan pun SBY harus cermat dalam menjalankan roda pemerintahan bila tidak ingin dilengserkan oleh lawan-lawan politiknya.

Cerita koalisi seperti itu tentu tidak akan terjadi bila parpol di Indonesia menciptakan koalisi permanen yang berdasarkan teori yang jelas. Koalisi yang mudah memang berawal dari kesamaan ideologi. Namun kesamaan ideologi juga harus disertai oleh adanya nilai-nilai bersama dan tujuan politik yang sama untuk diperjuangkan. Nilai bersama dan tujuan yang sama itulah yang akan menimbulkan saling percaya (trust) yang akan menjadi perekat bagi anggota koalisi untuk menciptakan pemerintahan yang tahan lama (durable).

Merujuk kepada wacana koalisi Golkar-PDIP saat ini, secara teori koalisi ini bisa terbentuk karena kedua partai ini adalah partai terbesar sehingga mudah mencapai suara mayoritas (minimal winning coalition), koalisi dengan jumlah partai yang sedikit (minimum size coalition), dan ideologi yang hampir sama (minimal range coalition). Pertanyaan selanjutnya apakah kedua partai ini mempunyai nilai-nilai bersama dan tujuan politik yang sama untuk diperjuangkan? Bila tidak tentu saja koalisi ini hanyalah koalisi pragmatis yang hanya bertujuan untuk merebut kekuasaan namun mengabaikan hakikat koalisi. Sepertinya syarat terakhir itu belum dimiliki oleh Golkar dan PDIP sehingga kemungkinan untuk berkoalisi masih tipis dan bilapun terbentuk maka koalisi tersebut tak lebih dari koalisi pragmatis yang berorientasi kekuasan ketimbang membentuk pemerintahan yang kuat dan efektif yang kita harapkan untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Analis Politik dan Perubahan Sosial The Indonesia Institute

Suara Terbanyak dan Konflik Hukum

Dimuat di Jurnal Nasional 27 Agustus 2008

Hingga saat ini sedikitnya terdapat 9 partai politik (parpol) yang akan menerapkan sistem suara terbanyak dalam menetapkan calon legislatif (caleg) 2009 nanti. Parpol itu antara lain: PAN, Golkar, Demokrat, Barnas, Hanura, PBR, PDS, PDIP dan PNBK. PDIP memakai suara terbanyak bila ada caleg yang mendapatkan suara 15 % BPP namun bila tidak ada maka kembali ke nomor urut sedangkan PNBK menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di suatu daerah pemilihan (dapil).

Dengan diterapkannya sistem suara terbanyak maka sudah terdapat dua sistem yang dipakai dalam menetapkan caleg terpilih. Pertama, tetap mengacu kepada Undang-Undang Pemilu No 10 Tahun 2008. UU Pemilu ini mengatur bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan perolehan suara calon yang mendapatkan 30 % dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di dapil tersebut. Bila tidak ada caleg yang memenuhi kuota tersebut maka, calon akan ditetapkan sesuai dengan nomor urut (sistem proporsional terbuka terbatas). Kedua, dengan menggunakan suara terbanyak dengan mengenyampingkan nomor urut ( sistem proporsional terbuka murni) seperti yang diamanatkan Undang-Undang.

Lebih Demokratis

Dipilihnya sistem suara terbanyak oleh beberapa parpol patut diberikan apresiasi karena telah menghembuskan angin segar bagi demokrasi kita. Selama ini sistem nomor urut dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan karena terpilihnya caleg berdasarkan nomor urut dan bukan berdasarkan suara yang diperolehnya. Dalam kata lain seorang caleg ditetapkan menjadi anggota legislatif adalah berasal dari kedekatannya dengan partai ketimbang kedekatan dengan masyarakat/ konstituennya. Hal ini biasanya akan menimbulkan split loyalty didalam internal partai dimana kader partai yang duduk di legislatif cenderung sangat loyal kepada pengurus parpol ketimbang pemilih yang menjadi konstituennya demi untuk mendapatkan nomor urut yang kecil dalam pemilu legislatif berikutnya.

Sebaliknya sistem yang berdasarkan suara terbanyak akan menumbuhkan kompetisi yang bagus antara caleg parpol yang berbeda maupun sesama caleg dalam satu partai. Dalam sistem ini, semua caleg mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi caleg terpilih. Terpilih atau tidaknya caleg tergantung usaha dia untuk mempopulerkan diri dan meraih simpati pemilih. Sehingga caleg yang terpilih adalah caleg yang benar-benar mempunyai kapasitas yang mumpuni dan mampu untuk menjelaskan program-programnya dengan baik ke masyarakat. Bukan caleg yang sekedar mengandalkan lobi ke petinggi parpol untuk mendapatkan nomor urut yang kecil – seringkali dalam proses ini terjadi politik uang-- padahal kapasitas dan integritasnya belum teruji ditengah masyarakat.

Melanggar UU


Mekanisme suara terbanyak memang lebih demokratis, kompetitif dan memenuhi rasa keadilan dibandingkan dengan menggunakan nomor urut namun, penerapan sistem ini melanggar Undang-Undang Pemilu sehingga menimbulkan beberapa masalah baru antara lain; pertama;. Caleg nomor urut kecil dengan suara minim bisa saja menolak mengundurkan diri untuk digantikan oleh caleg yang mendapatkan suara terbanyak (namun tidak memenuhi 30 % BPP) dengan nomor urut dibawahnya. Meskipun mekanisme internal partai sudah melakukan proses hukum melalui perjanjian tertulis dan di notariskan, namun tetap akan terjadi ketidakpastian hukum ( legal uncertainty ).
Bila itu terjadi, maka kekuatan hukum Undang-Undang lebih tinggi dari kesepakatan internal partai sehingga KPU bisa menganulir kesepakatan internal partai dengan sistem suara terbanyak itu. KPU tetap akan berpegang kepada UU Pemilu untuk menetapkan dan melantik anggota legislatif yang terpilih berdasarkan pemenuhan kuota 30 % atau kembali ke nomor urut.

Kedua; Konflik hukum akan muncul bila caleg yang mendapatkan suara terbanyak menggugat KPU/KPUD karena tidak mengindahkan mekanisme internal partai. Proses gugatan hukum ini tentu saja akan memperlambat penetapan caleg terpilih dan mengganggu kinerja KPU/KPUD. Caleg dengan suara terbanyak juga bisa melakukan gugatan wanprestasi terhadap caleg terilih yang ditetapkan KPU dengan sistem nomor urut. Proses ini akan berlangsung lama bahkan hingga batas waktu yang diperebutkan berakhir.

Ketiga; Dalam sistem suara terbanyak apabila caleg yang meraih suara terbanyak memiliki nomor urut besar maka caleg yang memiliki nomor urut kecil harus sukarela mengundurkan diri sebagai caleg terpilih dengan konsekuensi kehilangan haknya dalam PAW. Dengan kata lain suara pemilihnya akan terbuang percuma.

Memang, partai masih mempunyai mekanisme Penggantian Alih Waktu (PAW) dengan jalan memecat kader yang membangkang namun, jalan ini akan memakan waktu yang sangat panjang dan menghabiskan waktu dan energi yang tidak sedikit. Pada pemilu 2004 yang lalu konflik seperti ini mendera Partai Amanat Nasional (PAN) yang menyebabkan penetapan calon suara terbanyak terkatung-katung. Seperti kasus yang terjadi di Sumatera Barat dimana beberapa caleg yang mendapatkan suara terbanyak tidak dilantik hingga saat ini karena calon yang harus di PAW menduduki posisi ketua atau sekretaris partai. Padahal yang harus menandatangai proses PAW adalah ketua dan sekretaris parpol tersebut dan tentu saja mereka tidak rela di PAW atau paling tidak memperlambat proses PAW hingga batas waktu perebutan kursi berakhir.

Bagaimanapun juga sistem suara terbanyak sangat sesuai dengan semangat demokrasi. Oleh karena itu, untuk menghindari rumitnya konflik suara terbanyak ini dikemudian hari maka parpol, DPR dan pemerintah harus segera mengambil langkah antisipatif dengan melakukan amandemen terbatas UU Pemilu. Proses amandemen ini bila disepakati tidak akan menghabiskan waktu yang panjang karena hanya menyangkut pasal 214 antara lain dengan menambahkan klausul untuk mengakomodir mekanisme internal partai dalam menentukan caleg terpilih. Bila ini tidak dilakukan maka KPU/KPUD, parpol akan disibukkan oleh gugatan hukum caleg yang terjadi di seantero Indonesia.

Questioning DPD Candidates from Political Party Cadres

The ideal picture of the DPD seems to be some ways to go. The intention to make the DPD and the parliament two equal authorities is still a dream to realize.

On 10 April 2008, the Regional Representatives Council (DPD) officially submitted a judicial review to the Constitutional Court (MK) concerning the Law No 10/2008 on the General Elections. This judicial review to the general elections law is related to Article 12 that abolishes the requirement of domicile and Article 67 that allows members of political parties to become members of the DPD. The two articles are assessed to be against article 22 C Point (1) and 22 E Point (4) of the UUD 1945.

The review was submitted by seven applicants. They were the DPD RI, members of the DPD RI, the people from the regions, the National Secretary for Protection of Constitutional Rights of Customary Laws, the Center for Electoral Reform (Cetro), the Indonesian Parliamentary Center, and the Society Forum Concerning Indonesian Parliament (Formappi).
On 2 July 2008, the Constitutional Court finally decided to refuse the judicial review of the prerequisites for the DPD’s candidates in Law No. 10/2008 on the General Elections. Therefore, members of the political parties can become members of DPD.

Getting weak

The MK decision that refused the DPD’s petition to prohibit the political parties’ cadres to nominate as members of DPD was a decision that was not in line with the spirit of forming the DPD.

Since beginning, the birth of the DPD on one hand was aimed to fight for regional interests in Indonesian politics. On the other hand, it was also intended to balance the legislation-making processes, which sometimes favor the political parties. Thus, the DPD is the manifestation of the bicameral system. The parliament is the proxy of the people (Political Representatives), while the DPD is undoubtedly to represents territories (territorial representatives).

The biggest concern with the entry of political parties’ cadres in the DPD is the emergence of factions in the DPD consisting of members coming from political parties and factions comprising members coming from independent backgrounds. This will weaken the DPD.

The factions comprising members coming from political parties will cooperate with the parliament, so the making of the laws and regulations will be influenced heavily by political parties. This means that the bargaining power of the DPD will be weakened.


“Retirement House”

At the practical level, the decision of the Constitutional Court has made way for political parties’ cadres to nominate themselves from each region. Most of the candidates from the parties are cadres that have experienced two periods as members of DPR/DPRD and members of political parties that were discarded from the parties. These of course will return the presence of old politicians complete with their political sins.

A number of members of the Parliament have applied as candidates of the DPD; for example, member of Golkar Party Rambe Kamarulzaman representing North Sumatra. From PAN, there are AM Fatwa (DKI Jakarta), Patrialis Akbar (West Sumatra), and Afni Ahmad (DKI Jakarta).

In addition, there are also members from PDIP, such as Soetardjo Soerjogoeritno representing the Special Province Yogyakarta and Totok Ismunandar representing DKI Jakarta. Meanwhile, PKS also supports Dani Anwar to contest the elections from DKI Jakarta.

Therefore, to avoid the DPD as a place of the political parties’ exiles, the prerequisites of candidates must be strengthened. Besides, there is also a need to continue the effort to strengthen the position of the DPD by revising rules and regulations related to the DPD.

Negara & Mitos Globalisasi

Globalisasi memang menjadi semacam mantera di jaman modern ini. Dengan mantera ini, banyak hal diamini, ditoleransi dan dibenarkan. Tapi, di antara banyak hal itu, penindasan dan penghisapanlah yang utama. Banyak orang sebenarnya melihat dengan mata kepala sendiri akibat-akibat buruk yang disebabkan oleh Globalisasi. Namun, karena pemahaman mereka yang keliru tentang gejala ini, mereka jadi beranggapan bahwa ketidakadilan dan pemiskinan yang dibawa oleh globalisasi hanyalah sebuah dampak, sebuah efek samping - bukan inti yang hakiki dari globalisasi.

Ada beberapa mitos yang dipajang para pembela globalisasi untuk menutupi kebusukan di jantung pelebaran kapitalisme ini.
Pertama, tentunya, adalah mitos bahwa globalisasi adalah satu gejala baru, yang khas merupakan ciri dari kapitalisme modern. Para advokat globalisasi menyatakan bahwa, karena globalisasi adalah sebuah gejala baru, maka mustahil kita menghadapinya dengan belajar dari sejarah.
Kedua adalah anggapan bahwa karena globalisasi merambah ke seluruh dunia, maka tidak ada lagi "negeri imperialis" dan "negeri semi-kolonial". Di sebuah dunia yang saling tergantung, kalau negeri berkembang mau selamat, ia harus mendukung kemajuan di negeri maju.

Ketiga, dan yang menjadi pusat pembahasan kita sekarang, adalah mitos bahwa globalisasi membuat peran negara melemah. Dikatakan bahwa globalisasi meruntuhkan batas-batas negara nasional, membuat kita semakin menjadi satu "warga dunia".

Globalisasi, sebuah gejala baru?

Ya dan tidak. Ya, karena perluasan sebuah sistem ke tingkat global baru dimungkinkan akhir-akhir ini saja - berkat tingkat teknologi komunikasi dan transportasi yang telah membuat apa yang terjadi di satu tempat akan dengan mudah diketahui saat itu juga di tempat yang lain, yang kadang terpisah ribuan kilometer jauhnya. Tidak, karena yang namanya perluasan sistem, upaya untuk merebut dominasi (atau yang kemudian dikenal sebagai hegemoni) adalah sebuah gejala yang berlaku bagi sistem ekonomi-politik manapun.

Ketika kapal-kapal laut yang mampu melayari samudera belum ditemukan, kelas berkuasa telah mencoba memperluas kekuasaannya dengan menundukkan kelas penguasa di negeri yang lain. Dan, dengan demikian, mereka juga mencoba merebut dominasi atas rakyat pekerja di negeri sasaran mereka. Peradaban-peradaban besar - Mesir, Persia, Yunani, Romawi, dll. - semua berusaha memperluas pengaruhnya. Perluasan pengaruh ini dilakukan baik secara perdagangan atau, jika jalan damai tidak mempan, melalui penaklukan. Perluasan pengaruh ini tidak hanya terjadi dalam soal ekonomi-politik semata. Namun, perluasan agamapun berlangsung dengan cara yang sama. Diakui atau tidak, hampir tidak ada perluasan agama yang sepenuhnya berlangsung dengan "damai" dan "sukarela". Pada satu titik, perluasan agama pasti akan berbuah kekerasan. Sejarah mencatat bahwa sejak monoteisme belum berjaya di atas dunia, pembantaian atas nama agama sudah merupakan salah satu penyebab utama kematian di atas muka bumi ini.

Walau demikian, karena keterbatasan teknologi komunikasi dan transportasi, perluasan pengaruh ini hanya terjadi di wilayah yang terbatas. Penggunaan trireme (kapal laut yang didayung) memungkinkan Pax Romana berkibar di seluruh wilayah Laut Tengah, tapi tidak lebih luas daripada itu. Penggunaan kuda-kuda cepat memungkinkan Pax Mongolica berkibar di seputar Asia Tengah yang dipenuhi stepa, tapi juga tidak lebih daripada itu.

Penemuan kapal-kapal berlunas yang sanggup melayari laut dalam membuka kemungkinan baru, membuat permainan dapat berlangsung di lapangan yang lebih luas. Kapal-kapal layar besar, yang sanggup melayari samudera itu telah memungkinkan munculnya merkantilisme dan, kemudian, kolonialisme.

Di sini sebenarnya nampak adanya satu pengulangan, satu "titik nol yang lebih tinggi". Perluasan pengaruh dan kekuasaan, mula-mula lewat perdagangan dan kemudian dengan senjata, yang dari dulu telah berlangsung dalam skala regional, kini mulai berlangsung dalam skala global. Merkantilisme dan kolonialisme melakukan apa yang tidak sanggup dilakukan perluasan kekuasaan dalam bentuk-bentuk sebelumnya, yakni menghancurkan perkembangan peradaban mandiri dari bangsa-bangsa. Kedua pola hubungan produksi ini mendobrak isolasi (baik mutlak maupun relatif) dari berbagai bangsa di seluruh dunia.

Walau demikian, keterbatasan dalam hal komunikasi membuat kehadiran kekuatan pemaksa masih harus dilakukan secara fisik. Kita lihat bagaimana kemudian merkantilisme dan kolonialisme mengambil pola pendudukan sebagai metodenya untuk menjamin keberlangsungan hidupnya. Tentara yang membela kepentingan kelas pedagang (yang baru muncul saat itu) harus hadir secara fisik di tanah yang dikuasainya agar dapat mendominasi secara fisik juga rakyat pekerja di sana.

Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, berkembanglah teknologi komunikasi dengan amat pesatnya. Berkat penelitian di bidang elektromagnetik, berturut-turut orang menciptakan telegraf, telepon, radio, kemudian televisi. Semua ini memberi dimensi baru, kemungkinan-kemungkinan baru dalam hal pengendalian dan propaganda. Penguasaan dan hegemoni semakin tidak membutuhkan kehadiran alat-alat pemaksa secara fisik.
Terciptanya teknologi komunikasi ini disusul dengan terciptanya moda pengangkutan yang sama sekali baru: kendaraan bermotor - mula-mula beroda dua lalu empat, dan kemudian pesawat terbang. Teknologi transportasi yang baru ini membuka kemungkinan lebih jauh dalam hal penguasaan dan hegemoni. Kini, kalaupun kehadiran fisik masih diperlukan (satu saat pasti kekuatan pemaksa fisik pasti mau tidak mau harus dipakai), kehadiran itu tidak perlu dilakukan sepanjang waktu. Kehadiran fisik cukup diselenggarakan jika keadaan menuntut untuk itu.

Perubahan-perubahan inilah yang memungkinkan berkembangnya merkantilisme dan kolonialisme menjadi imperialisme. Imperialisme, yang didasarkan pada ekspor modal, oligarki keuangan, peleburan birokrasi-industri-keuangan dan penggunaan kelas borjuasi komprador dapat berkembang dengan baik karena kelas berkuasa di negeri induk dapat melakukan kendali yang cukup ketat akan perputaran modal yang ia tanamkan di negeri anak. Tanpa perlu berada langsung di satu negeri, seorang kapitalis dapat membuat rakyat pekerja di negeri tersebut bekerja keras menghasilkan keuntungan baginya. Ia dapat memastikan bahwa rakyat pekerja di negeri tersebut akan patuh kepada sistem penindasan karena kelas borjuasi nasional di negeri tersebut patuh padanya. Lebih jauh lagi, jika semua upaya pengendalian pribadinya gagal, ia dapat menggunakan kekuasaan negaranya sendiri karena ia adalah juga seorang pejabat politik.

Batu terakhir yang diperlukan untuk globalisasi adalah internet. Internet, yang diciptakan di pertengahan abad ke-20 untuk sebuah keperluan militer, memungkinkan pengendalian secara live. Teknologi ini juga memungkinkan pengendalian tersentral, dengan pekerjaan dan tanggungjawab yang terdesentralisasi.
Internet juga memungkinkan apa yang kemudian dikenal sebagai e-banking. Kini, transfer modal tidak perlu dilakukan secara fisik. Melainkan hanya berupa pertukaran dokumen. Kalaupun sesungguhnya hal ini telah ada ratusan tahun yang lalu, e-banking memberi lompatan kualitas pada sistem giral ini.

Dengan kata lain, internet memberi kemungkinan untuk melakukan pengendalian global secara ekonomi dan politik sekaligus.

Begitulah. Globalisasi bukan hal baru. Ia mengandung satu lompatan kualitas, itu betul. Tapi, pada hakikatnya, globalisasi adalah perluasan kekuasaan ekonomi-politik seperti yang telah berlangsung berabad-abad. Perluasan yang didorong oleh persaingan antar fraksi di tengah kelas berkuasa untuk memperbutkan kekuasaan dan hak eksploitasi atas rakyat pekerja.

Globalisasi menghasilkan kesetaraan antar-bangsa?


Sebetulnya, kalau kita melihat uraian di atas, sudah jelas bahwa jawaban kita adalah "mustahil". Seperti kita lihat, globalisasi cuma bentuk baru dari moda penghisapan yang dilakukan kelas berkuasa terhadap rakyat pekerja. Ia memang memiliki kualitas yang baru, dimensi yang baru, karena tingkatan teknologi yang kini ada telah memungkinkan dijangkaunya arena penghisapan yang luas dan tingkat kendali yang ketat atas penghisapan tersebut. Namun, sebagai lompatan kualitatif atas imperialisme, globalisasi cuma membawa imperialisme ke tingkat yang lebih tinggi.

Jadi, bukannya menghapuskan imperialisme dan membuat semua bangsa menjadi setara, atau setidaknya kelas berkuasa di semua bangsa menjadi setara, globalisasi justru membuat jurang ketimpangan antar-bangsa menjadi semakin lebar. Penghisapan yang dilakukan oleh kelas berkuasa di negeri maju terhadap rakyat pekerja di negeri berkembang menjadi semakin hebat. Sementara kelas berkuasa setempat semakin ditundukkan menjadi pelayan para imperialis.

Inilah satu kenyataan yang dapat kita amati sehari-hari pada saat ini, bahkan di Indonesia sendiri. Kita ini adalah budak IMF dan Bank Dunia. Sekalipun ada sesumbar bahwa pemerintah Indonesia hendak memutuskan hubungan dengan IMF, paling-paling kenyataannya nanti adalah perubahan bentuk kerjasama. Tidak lagi secara mencolok kasat mata, melainkan lebih halus dan di belakang layar.

Apa yang dikenal sebagai "bantuan luar negeri" sebenarnya juga merupakan kedok bagi praktek ekspor modal dari negeri imperialis. "Bantuan" itu pasti dilekati syarat bahwa tenaga ahli dan peralatan yang akan digunakan untuk proyek tersebut harus berasal dari negeri pemberi bantuan. Kita tahu betapa yang namanya "tenaga ahli asing" ini ongkosnya mahal betul. Gaya hidup mereka yang sangat kosmopolitan dibiayai oleh gaji mereka yang minimal berjumlah delapan angka. Yang harus membayar gaji ini adalah kita juga. Belum lagi peralatannya yang pasti dijual ke sini dengan harga di atas harga pasar dunia. Ini praktek yang telah berlangsung dalam berbagai skala. Tidak usah jauh-jauh. Bantuan dana untuk LSM saja selalu dibuntuti dengan syarat semacam ini jika bantuan itu diberi judul "pembangunan kelembagaan" (institutional building).

Kita juga dapat melihat bagaimana perlahan-lahan perusahaan-perusahaan yang mengaku "modal nasional" mulai terlucuti kedoknya dan memperlihatkan kekuatan modal asing di belakangnya. Perusahaan-perusahaan yang masih tinggal sebagai modal nasional murni juga mulai rontok karena dicaplok oleh modal asing. Kelak, yang namanya "borjuasi nasional" hanya akan menjadi pelayan belaka dari modal asing.

Globalisasi hanyalah satu bentuk yang lebih dahsyat dari imperialisme. Dan karena ia memberi dimensi penghisapan yang lebih kuat pada imperialisme, kesenjangan antar-bangsa yang ditimbulkannya pasti juga akan jauh lebih besar.

Negara melemah?


Sebetulnya inilah pokok bahasan kita kali ini. Namun, saya memerlukan memberi latar belakang agak panjang-lebar di muka agar pembahasan kita di sini tidak menjadi terlalu bertele-tele.

Contohnya begini. Bagaimana mungkin Negara melemah ketika terjadi peleburan antara pelaku bisnis industrial dan keuangan dengan pelaku politik? Kita lihat saja di negeri ini: hampir tidak ada (kalau tidak bisa dibilang "tidak ada sama sekali") elit partai politik di Indonesia yang bukan pelaku bisnis. Mereka pasti punya satu atau dua perusahaan. Besar/kecilnya bukan masalah, tapi toh biasanya mereka adalah pengusaha besar. Lihat saja daftar kekayaan pejabat negara seperti yang pernah dimuat harian Rakyat Merdeka secara bersambung beberapa waktu lalu.

Di sini hal itu mungkin belum begitu menyolok. Tapi lihatlah di negeri yang paling getol mempromosikan globalisasi: Amerika Serikat. Keluarga Bush memiliki perusahaan minyak (saat ini memegang monopoli produksi minyak di Bahrain), perusahaan konsultan persenjataan dan klub baseball. Keluarga Cheney (Wapres AS sekarang) merupakan salah satu pemegang saham utama di perusahaan pemasok teknologi perminyakan. Ini bisnis milyaran dolar. Menteri Luar Negeri AS sekarang, Collin Powell, juga memegang saham di berbagai perusahaan enerji. Satu bukti yang menyolok bahwa ada peleburan antara bisnis dan politik.

Belakangan ini ada satu upaya untuk memperkenalkan satu teori yang menyatakan bahwa ada tiga matra dalam kehidupan berbangsa: Negara - Pasar - Masyarakat Sipil. Tapi, kalau kita perhatikan, Negara dan Pasar ternyata dijalankan oleh orang yang itu-itu juga. Di bawah globalisasi, Negara dan Pasar adalah satu kesatuan. Teori semacam di atas adalah karangan para pembela globalisasi untuk menutupi fakta apa itu globalisasi.

Lagi: bagaimana mungkin Negara melemah jika lembaga ini semakin besar tanggung-jawabnya untuk menjamin perputaran modal? Negara imperialis bertugas menjamin keamanan perputaran modal di negeri berkembang, sedangkan Negara berkembang bertugas menjamin agar modal imperialis tidak terganggu oleh "instabilitas politik".
Untuk membuka pasar, dibutuhkan satu proses yang dinamai deregulasi. Nama ini sesungguhnya juga tidak tepat dan sangat menipu. Seakan-akan apa yang tadinya diatur, kini tidak lagi diatur atau diperlonggar aturannya. Sesungguhnya, deregulasi tidak bermakna demikian. Makna sejati dari "deregulasi" adalah pergantian pemain dan pengurangan kewajiban pengusaha. Kalau tadinya satu jenis usaha dilakukan dengan monopoli atau kuasi-monopoli oleh lembaga pemerintah atau agen yang ditunjuk oleh pemerintah (sesuai konsep Negara Kesejahteraan yang Keynesian) kini hak usaha itu ditransfer pada swasta. Monopolinya sendiri tidak hapus, karena biasanya transfer ini dilakukan pada penawar tertinggi atas perusahaan pemerintah. Dengan demikian, monopoli pemerintah hanya digantikan oleh monopoli/kuasi-monopoli/oligopoli swasta. Dan, biasanya yang sanggup membeli hak monopoli seperti ini adalah pemodal asing - imperialis. Demikian juga soal kewajiban, kalau dulu pengusaha harus bayar banyak pajak, dengan "deregulasi" mereka dibebaskan dari banyak pajak itu.

Sepintas saja kita dapat melihat bahwa di ujung seluruh proses "deregulasi" ini terdapatlah penurunan pendapatan pemerintah. Pos anggaran mana yang kira-kira akan dikorbankan untuk menutup defisit pemerintah ini? Kita sama-sama tahu bahwa yang dipotong, dipangkas, digunduli, adalah pos untuk mensubsidi kebutuhan pokok rakyat.
Penggundulan terhadap pos subsidi ini tentunya akan memicu kejatuhan pada tingkat kesejahteraan rakyat. Upah riil akan jatuh karena tingkat upah nominal tetap sementara harga barang meroket ke langit. Keresahan akan berkembang di tengah rakyat pekerja. Aksi-aksi menuntut kenaikan upah akan marak. Kepekaan rakyat terhadap persoalan ekonomi dan politik akan naik, penerimaan mereka akan agitasi-propaganda kiri juga akan meningkat. Kelas berkuasa tahu ini berbahaya bagi mereka. Karena itu, sebuah proses "deregulasi" ekonomi akan selalu didampingi dengan proses pengetatan regulasi politik (dan juga keamanan).

Kita bisa melihat di Indonesia sendiri. Proses "reformasi ekonomi" yang ditujukan untuk menyiapkan Indonesia memasuki Perdagangan Bebas adalah bukti dari tesis di atas. Proses pengalihan usaha produktif dari pemerintah ke tangan swasta, pelonggaran pajak, pencaplokan modal nasional oleh modal asing - semuanya berlangsung mulus di bawah pengawasan Negara. Dan, yang lebih penting lagi, Negara kemudian membuat peraturan perburuhan yang lebih mencekik buruh, peraturan kelautan yang akan menggusur nelayan tradisional "secara alamiah dalam persaingan", peraturan agraria yang akan membuat petani miskin dipaksa bertarung dengan perusahaan agroindustri multinasional.

Kalau di tingkat nasional penguatan Negara ini semakin jelas terlihat justru setelah proses globalisasi dapat berjalan dengan kecepatan penuh, demikian pula halnya di tingkat internasional. Malah lebih jelas lagi.

Contoh yang dapat disebut di sini adalah peningkatan militerisme di negeri-negeri imperialis dengan alasan "memerangi terorisme". Saya sendiri beranggapan bahwa "terorisme" hanya sebuah preteks, sebuah alasan yang dicari-cari. Keluarga bin Laden adalah partner bisnis lama dari keluarga Bush. Bahkan keluarga Osama bin Laden dan keluarga Bush memiliki satu usaha patungan di bidang konsultan persenjataan yang bernama Carlyle Corporation. Saham bin Laden di sana adalah USD 2 juta. Agar preteks ini dapat meyakinkan banyak orang, mereka tega mengorbankan ribuan nyawa manusia di berbagai tempat - termasuk dalam tragedi WTC.

Tapi, contoh yang paling jelas kasat mata adalah agresi-agresi militer AS ke berbagai negeri untuk mengamankan kepentingan ekonominya. Agresi ke Afganistan, misalnya, sudah kita ketahui bersama adalah untuk mengamankan pembangunan jalur gas dan minyak dari Azerbaijan yang dikelola oleh Azerbaijan International Operating Company (AIOC), sebuah konsorsium perusahaan minyak multinasional yang antara lain berisi Unocal, Amoco, Exxon dan Pennzoil - perusahaan-perusahaan minyak AS. Sementara agresi ke Irak, semua juga tahu, adalah untuk merebut sumur-sumur minyak Irak. Setelah AS menduduki Irak, jelas bahwa ia kemudian membagi-bagi tender dan kontrak untuk "pembangunan kembali Irak" pada perusahaan-perusahaan Amerika. Inilah satu peran Negara yang sangat mencolok untuk menyelamatkan dunia bisnis AS yang terancam kebangkrutan. Bahkan, peran Negara ini telah dilakukan dengan cara yang paling primitif, yakni perang. Satu bukti lagi bahwa perluasan pengaruh melalui perdagangan satu saat pasti akan buntu dan kelas berkuasa pasti akan mengandalkan moncong senjata untuk bicara.

Penguatan Negara adalah syarat suksesnya globalisasi


Dari mana orang bisa berkata "di bawah globalisasi peran Negara akan melemah"? Uraian di atas telah membuktikan: globalisasi bukan sesuatu yang baru, ia hanya merupakan perluasan dan penguatan imperialisme dan, dengan demikian, membutuhkan penguatan negara sebagai syarat keberhasilannya.

Mitos-mitos seperti tiga yang telah dibahas di sini adalah karangan dari para pembela imperialisme untuk menutupi fakta-fakta telanjang yang ada di depan mata kita. Argumen mereka sebenarnya lemah dan mudah dipatahkan karena tidak berdasarkan pada fakta. Tapi, sekali lagi, prinsip propaganda fasis adalah juga prinsip propaganda imperialis: kebohongan yang diulang seribu kali akan berubah menjadi kebenaran.

Tugas kitalah untuk mematahkan seribu kali kebohongan mereka dengan seribu kali juga menyatakan kebenaran yang sejati. Kebenaran yang berdasarkan fakta, kebenaran yang berpihak pada rakyat pekerja.

Leiden is Lijden

Leiden is lijden, “memimpin adalah menderita”, sebuah pepatah kuno belanda yang disampaikan oleh Mr. Kasman Singodimedjo untuk menggambarkan kesulitan ekonomi yang dialami oleh pimpinan perjuangan saat itu. Mohammad Roem dalam Karangan berjudul “Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita” (Prisma No 8, Agustus 1977) mengisahkan keteladanan Agus Salim sebagai pemimpin yang mau menderita.

Kasman dan Roem melihat H. Agus Salim hidup dengan keadaan yang sangat sederhana, penuh kekurangan dan terbatas secara materi. Padahal H Agus Salim adalah tokoh dan pimpinan perjuangan kala itu yang juga memimpin Syarekat Islam yang sangat berpengaruh dalam pergerakan bangsa ketika itu.

Potret memimpin adalah menderita juga terlihat begitu jelas pada sosok Bung hatta. Proklamator ini juga menjalani hidup yang sederhana. Bung Hatta pernah mengalami kesulitan untuk membayar tagihan listrik, telpon dan air karena gaji pensiunnya tak cukup untuk membayar semua tagihan itu, sehingga Ibu Rahmi Hatta harus mengirim surat pada Bung Karno yang pada saat itu masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Bahkan, hingga ajal menjemput, Bung Hatta tidak kesampaian memiliki sepatu merk Bally yang begitu diidam-idamkannya.

Begitulah, Seorang pemimpin yang memahami hakikat leiden is lijden adalah manusia yang siap hidup untuk memberikan pengabdian penuhnya kepada negara atau komunitas yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang memahami hakikat leiden is lijden adalah manusia yang mampu bertindak benar diantara kesulitan-kesulitan dan masalah berat yang terhidang diatas meja pengabdiannya.

Pemimpin yang memahami hakikat Leiden is lijden adalah manusia yang ditakdirkan untuk memimpin, terlahir untuk memimpin karena muncul dari rahim persada yang dialiri darah kebaikan dan tumbuh dalam ruang lingkup moral budaya yang agung.

Pemimpin negarawan

Kepemimpinan yang ditunjukkan oleh H. Agus Salim dan Bung Hatta diatas adalah kepemimpinan yang dijalani oleh negarawan sejati. Tokoh tersebut menjadi pemimpin adalah berawal dari keterpanggilan untuk memimpin bangsa dan bukan karena panggilan profesi. Sehingga kekuasaan bagi mereka adalah sarana untuk mendatangkan kesejahteraan, kemakmuran dan kedamaian bagi rakyat.

Dalam kondisi berbangsa dan bernegara saat ini, faktor keterpanggilan karena profesi lebih kuat merasuki calon pemimpin bangsa ini. Mungkin pada awalnya pemimpin kita bertujuan mulia untuk memberikan perubahan kearah yang lebih baik. Namun, sejalan dengan apa yang dikatakan Lord Acton kekuasaan yang mutlak rentan disalahgunakan (power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely). Godaan materi dan kekuasaan yang kuat serta diperburuk oleh moral yang buruk membuat pemimpin berbagai tingkatan tergoda menyalahgunakan kekuasaannya untuk korupsi dan tindakan yang merugikan negara lainnya. Mereka meraih dan mempertahankan kekuasaan dengan segala cara dengan mengorbankan manusia lainnya.

Kita akui, menjadi pemimpin negara sebesar Indonesia memang tidaklah mudah. Lao Tzu (500 SM)mengatakan “memerintah negara besar adalah mirip dengan menggoreng ikan kecil”, apabila sering dibolak balik ikannya akan hancur menjadi bubuk. Berbeda dengan menggoreng ikan besar yang meskipun dibolak balik ikannya tetap utuh untuk menggambarkan memerintah negara yang kecil.

Untuk mampu memeirntah dinegara sebesar Indonesia ini memang dibutuhkan negarawan yang mampu memaknai bahwa memimpin adalah menderita. Indonesia adalah negara yang majemuk yang terdiri dari berbagai macam kepentingan. Pemimpin seperti itu adalah pemimpin yang rela mengorbankan waktu dan pikirannya demi bangsa dan negaranya. Pemimpin yang tidak memandang latar belakang politik dan agamanya. Pemimpin yang memberlakukan adagium “ ketika tugas negara dimulai, maka kepentingan politik berakhir”. Artinya seorang pemimpin atau pejabat negara harus berkonsentrasi untuk mengurus negara dan mampu menentukan prioritas antara kepentingan negara dengan kepentingan golongan dan pribadi.

Kepemimpinan inilah yang telah diperlihatkan oleh H. Agus Salim, Bung Hatta dan lainnya. mereka siap menderita demi kepentingan bangsa dan negara. Lalu, apakah calon pemimpin yang saat ini berlomba-lomba untuk memenangkan kursi sebagai penguasa dengan mengiklankan diri secara gencar di media massa memahami hakikat memimpin adalah menderita ?

Sudah selayaknya sifat-sifat kenegarawanan para pemimpin kita terdahulu perlu diinternalisasikan ke dalam tiap diri calon-calon pemimpin kita saat ini. Bangsa ini butuh keteladanan dan sikap-sikap kenegarawanan yang lain. Mudah-mudahan kita selalu mampu mengambil hikmah dari para pemimpin-pemimpin kita di masa lalu, dan menjadi inspirasi bagi masa depan bangsa.

Anda mungkin belum melihat pemimpin seperti ini, tapi percayalah pemimpin seperti ini terus ada, terlahir disetiap generasi hanya saja untuk menemukannya saya dan anda harus bersikap dewasa dan objektif dalam melihat dan menilai seseorang. Jangan melihat seseorang seperti melihat dari lubang pintu, memicingkan sebelah mata. Tapi mundurlah selangkah dan buka kedua mata, maka saya dan anda akan melihat dunia seluas samudera.

Anda tentu menginginkan pemimpin seperti itu terlahir dari rahim ranah Bundo, sama seperti saya, tapi anda sedikit telat, karena saya telah melihat calon pemimpin seperti itu. Anda mau tahu ? mundurlah selangkah dan buka kedua mata, Insya Allah anda akan mampu melihatnya.

The Restriction on Double Positions

The bureaucracy is the element of the nation whose activities touch the lives of the citizens. Each policy issued by the bureaucracy really influences the foundations of social and national lives. Therefore, the double positions’ prohibition is certainly an appropriate policy to be supported.

A bureaucratic reform is a step in the improvement of the process against the disintegration of the bureaucracy. The improvement step does not only remove the discriminatory bureaucracy service. It also must be able to improve the professionalism of public officials.

In order to achieve those, Finance Minister Sri Mulyani and Minister of State-owned Enterprises Sofyan Jalil agreed to issue a Join Decree (SKB) on Double Positions. This issue began with the attention paid by the Corruption Eradication Commission (KPK) to a number of government officials who have double positions in the State Enterprises (BUMN). KPK considers that the double positions are susceptible to the behaviors of corruption.

Double positions can be found in almost all departments, especially the departments that are related to BUMNs. Technical officials in these departments usually held the positions of the commissioners in BUMNs. This precedence got the justification from Vice President Yusuf Kalla who said that double positions were legal for government officials to secure the government’s interests. However, the double positions have often caused the behavior of corruption.

Salary Standardization

Public policy expert Ichsanoedin Noorsy stated double positions prohibition must be followed by the standardization of the remuneration of public officials. The prohibition of double positions is intended to concentrate public officials to be responsible for one position. For that purpose, it is required a repair of operational system, appreciation, as well as reward system.

Like Noorsy, political observer Denny Indrayana also said that the raise of public officials’ remuneration must be done in order to support the prohibition of double positions in BUMNs. This is related to the remuneration system in Indonesia that is below standards, encouraging public officials to look for sources of additional incomes.


The opinions of the two observers are fully true because the standards of the public officials’ remuneration at this time are lower when compared for example to the Governor of the Central Bank or with the managing Director of the Mandiri Bank that can reach billions of rupiahs. However, this step must be followed by a legal action that is certain and strict against those who still have double positions or those who commit violations in the implementation of their tasks.

Before SKB, the double positions’ prohibition has been added in the Indonesian regulations: firstly, the PP 100/2000 on the Appointment of the Civil Servants (PNS) in the Structural Positions. The Article 8 of the PP states that PNS that occupies a structural position can not occupy double positions: structural and functional positions.

Secondly, the PP 47/2005 on the Change in PP 29/1997 on the PNS who occupy the double positions. The Article 2 of the PP states that the exceptions to the double positions are the public prosecutors, the researchers, and the designers. However, it is stressed in the Article 2 (1), that PNS is prohibited to occupy the double positions.

With the expected SKB of two ministers, there will be no double positions by public officials, so each official can be focused in carrying out his or her task without being disturbed by the corruption temptations.

Recommendations:

1. The double positions’ prohibition must be accompanied by the increased standards of remuneration for the public officials.

2. It must also be followed by sanctions that are firm and strict for the public officials who still have double positions.

3. The positions that are left by public officials must be filled up through a recruitment system that is clear and transparent so that these positions will be occupied by professional officials.

Dualism Management in PKB

The dismissal of Muhaimin Iskandar from the position of the chairman of the National Awakening Party (PKB) in a plenary meeting on 26 March 2008 created a new conflict in the PKB. The conflict got complicated after Muhaimin Iskandar had decided to challenge Abdurahman Wahid (or Gus Dur), the initiator of this dismissal.

The conflict between Gus Dur and Muhaimin began with the plenary meeting between the executive board (DPP) of the PKB and the Syuro (Advisory) Council. The meeting’s agenda was about the election of Mahfud MD as a Constitutional Judge. However, a demand to ask Muhaimin to resign was thrown during the meeting.

Two reasons were raised to back up this request. First, Muhaimin was alleged to have made a political agreement with Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) to support SBY for the 2009-2014 Presidency, even though Gus Dur has declared that he is going to contest the 2009 presidential elections. The logic is that the PKB will not endorse any vice presidential candidate, as it will nominate Gus Dur as the presidential candidate.

Secondly, in relation to the reason mentioned above, there was a rumor that Muhaimin is maneuvering to topple Gus Dur from the position of the chairman of the Syuro Council of the PKB. Both factors really worried Gus Dur, as he faced not only Muhaimin but also the people who supported Muhaimin.

Continuing Conflict

The current internal conflict stresses that a party that should accommodate the aspirations of Nahdliyin is loaded with conflicts of interests.

Before the current conflict, the PKB also experienced a conflict between Gus Dur and Matori Abdul Jalil, when Matori’s position as the PKB chairman was revoked by a planary meeting on 15 Augusts 2001. Then Gus Dur installed Alwi Shihab as the new chairman to replace Matori.

But, Alwi Shihab also experienced a fate like Matori’s, as he was removed by Gus Dur on 20 October 2004. From the cycle of conflicts mentioned above, it was seen that Gus Dur's factor was always involved in all conflicts that emerged in PKB.

Internal Democracy

What has been seen in PKB until now has generated a question about how far the progress of democratization has taken place in PKB. Since the PKB was formed, Gus Dur’s figure has played a central part in every political decision implemented by the PKB. We can say that the role of Gus Dur is similar to the role of Soeharto in Golkar in the New Order era.

What has been told by Gus Dur hence must be done by all PKN members. It is very clear that the PKB really depends on Gus Dur's figure. The PKB should develop a party system that has democratic mechanisms and rules to maintain the process of internal democratization.

Referring to the idea of Robert Michels in Political Parties (1984), a party's difficulty to reform itself is because of the strength of the party's oligarchy where political authority in the party is controlled by few "strongmen". In the PKB case, the strongman is Gus Dur

The dual management of PKB will threaten the PKB’s participation in the general elections in 2009.The PKB’s management that has the right to join the general elections will be determined by results of the court that is still in process.

However, there is also a possibility of the two versions of the management can not join the general elections in view of the fact that the trial process will need a long time.

- Benni Inayatullah –

The Indonesian Update Volume III. No. 2 June 2008

The internal conflicts in PKB have always begun with Gus Dur as the central figure in the PKB. If the PKB wants to free from the conflicts, then the only way is to place people who are in line with Gus Dur. However, that means that the process of democratization in the PKB continues to be paralyzed.

Indonesia, The Lost Decade

Kehawatiran terbesarku saat ini terhadap persoalan bangsa bertumpu kepada Pilpres 2009 mendatang. Dari calon-calon yang ada dan potensial untuk maju dan menag tidak satupun yang saya rasa mampu membawa bangsa ini bangkit dari keterpurukannya. Dari berbagai survey popularitas yang dilakukan lembaga survey semacam Lembaga Survey Nasional, Lembaga Survey Indonesia, Lembaga Riset Informasi, CSIS dan banyak lagi lainnya, calon yang terkuat tetap SBY dan Mega. Meskipun popularitas kedua orang ini hampir setara. Ditempat ketiga ada Sultan Hamengkubuwono X, sementara diperingkat lain ada nama-nama yang rasanya sulit untuk tampil sebagai Capres seperti Amien Tais, Sutiyoso, Wiranto, Yusuf Kalla dan lainnya.

Yang menjadi titik tumpu perhatianku adalah potensi SBY untuk memenangi Pilpres 2009 masih yang paling besar. Bila SBY memastikan maju dan menang lagi, maka Indonesia harus menunggu 5 tahun lagi untuk mengharapkan perubahan. Secara pribadi aku melihat kepemimpinan SBY selama 5 tahun ini tidak menghasilkan hal yang signifikan. Tidak ada perubahan besar yang mampu Dia lakukan dalam masa kepemimpinanya.

Memang secara pribadi SBY bukanlah pemimpin yang tegas meskipun mantan Jenderal. Tidak ada kebijakan publik ataupun keputusan politik yang langsung tertuju kepada perbaikan nasib rakyat. SBY selalu sibuk dengan jual gambar atau jual diri dengan menampilkan sosok yang sabar, berwibawa dan terkesan hati-hati. Tipe kepemimpinan seperti ini terbukti tidak mampu menelorkan perubahan yang mendasar. Bahkan image dan popularitas yang dia kejarpun semakin lama semakin melorot.

Aku banyak menerima informasi dan cerita yang menarik dari teman-teman yang berasal dari istana tentang sifat presiden kita ini yang menunjukkan kualitas dia sebenarnya. Namun sebaiknya tidak aku tulis disini namun bagi yang ingin mengetahui cerita-cerita seputar SBY cukup kita ngobrol-ngobrol di darat saja.

Apabila SBY ternyata menang lagi di Pilpres 2009 maka di jidat bangsa ini layak ditulis dengan huruf besar “Indonesia, The Lost Decade”, Indonesia dekade yang hilang

Tahapan Konvensi Partai Demokrat Amerika Serikat

Pemilu pendahuluan presiden Partai Demokrat Amerika Serikat 2008 adalah proses pemilihan delegasi Partai Demokrat, yang akan memilih calon presiden dari Partai Demokrat pada Pemilihan Umum Presiden Amerika Serikat 2008. Pemilihan ini terdiri dari berbagai pemilihan pendahulan melalui pemungutan suara, kaukus dan konvensi di seluruh negara bagian dan daerah AS yang lain. Rangkaian pemilihan ini dimulai dengan kaukus di Iowa pada 3 Januari 2008, dan berakhir dengan pemilihan di South Dakota dan Montana, keduanya pada tanggal 3 Juni 2008.

Calon presiden yang nantinya akan mewakili Partai Demokrat pada pemilu presiden secara resmi dipilih dalam Konvensi Nasional Partai Demokrat pada akhir Agustus 2008, namun delegasi yang akan menghadiri konvensi tersebut dipilih terlebih dahulu berdasarkan hasil rangkaian pemilu pendahuluan ini di negara bagian masing-masing. Untuk menjadi calon presiden, seorang kandidat harus memperoleh suara mayoritas dari 4.048 delegasi yang akan menghadiri konvensi, yaitu minimal 2.025 delegasi.

Tokoh yang mengikuti pemilihan ini adalah Barack Obama, Hillary Clinton, Mike Gravel

Tahapan Sistem Pemilihan Presiden di Amerika Serikat

I. Nominasi

Nominasi adalah dukungan resmi parpol kepada calon presiden. Proses nominasi yang sesungguhnya akan berakhir dalam konvensi nasional partai (biasanya pada musim panas atau tepatnya pada akhir Juli atau awal Agustus menjelang pilpres pada bulan November). Ada 2 tradisi model nominasi yang dilakukan di Amerika, melalui sistem Caucus dan Primary Election. Caucus dan primary memiliki fungsi sama.

Setiap negara bagian memiliki otonomi penuh, maka setiap negara bagian berhak menentukan model electoral mereka masing-masing.

1. Caucus

Sistem Caucus ini memberi legitimasi bagi elite-elite (ketua) partai. Bos partai menetukan siapa yang akan dikirim sebagai delegasi dalam konvensi partai nasional. wakil partai/elite partai bertemu untuk memilih kandidat presiden menurut suara mayoritas. Dalam sistem ini, dominasi bos partai terhadap penentuan anggota delegasi memudahkan bos partai untuk mengendalikan para delegasi dalam konvensi nasional untuk menentukan calon presiden dari partai.

Tetapi, akhir-akhir inipenggunaan sistem caucus dalam menentukan para delegasi mulai berkurang dibandingkan dengan sistem presidential primary.

2. Primary Election

Alrnatif lain sebagai tahap awal penentuan presiden adalah melalui pemilihan primary (primary election). Dalam proses ini para pemilih memberikan suara kepada para calon delegasi dalam konvensi partai. Primary election tidak hanya memilih delegasi namun juga merupakan indikasi awal apakah seorang calon dapat memenangkan pemilihan.

Ada dua model primary election, yaitu primary election terbuka dan primary election tertutup. Di setiap negara bagian memiliki sistem yang berbeda:

a. Primary Election Terbuka

Contoh model terbuka ini seperti di Michigan, South Carolina, Virginia dsb. Pada sistem ini setiap calon pemilih, baik anggota atau pendukung partai demokrat, republik atau independen, boleh memilih calon dari partai manapun.

b. Primary Election Tertutup

Namun untuk di beberapa negara bagian lain, seperti di California dan NY, primary election dilakukan dalam sistem tertutup. Artinya, hanya anggota Partai Republik yg boleh ikut pemilihan primary calon presiden dari republik dan anggota Partai Demokrat
yang ikut primary calon presiden dari demokrat.

Karena setiap negara bagian memiliki otonomi penuh, maka setiap negara bagian berhak menentukan model electoral mereka masing-masing.

II. Konvensi Nasional

Konvensi nasional merupakan tahap akhir dari penentuan calon presiden dari partai. Konvensi nasional ini biasanya berlangsung selama 4 hari. Tetapi pada umumnya para delegasi di konvensi nasional telah mengetahui siapa yang bakal dinominasi sebagai calon presiden (didapatkan dari primary election dan caucus). Para kandidat sudah terseleksi dalam pemilihan primer. Konvensi partai hanya mengukuhkan, tidak memilih, kandidat. Karena itu, semuanya dapat diatur dengan seksama.

Setelah konvensi nasional masing-masing partai menetapkan calon presidennya masing-masing, maka mereka akan bertarung dalam pemilu bulan Nopember.

Pada pemilu Nopember itu, rakyat AS memilih electors dari masing-masing distrik yang kemudian akan menetapkan siapa presiden AS dalam suatu mekanisme atau lembaga yang disebut electoral college. Dengan kata lain, dalam tahap inipun rakyat AS tidak memilih langsung presidennya tetapi melalui perwakilan. Setelah national primary, The real national election mempresentasikan pemenang Democrat dan Republican. Round ini disebut sebagai run off. Pemenang dari kompetisi election ini adalah pemenang mutlak sebagai president.

III. Pemilihan Nasional (Electoral College)

Electoral College System adalah sistem pemilihan presiden di Amerika. Meskipun pemilihan presiden Amerika sering disebut sistem pemilihan langsung, namun sesungguhnya pemilihan tidak dilakukan secara langsung. Pemilihan dilakukan dalam 2 tahap.

Tahap I

Dilakukan oleh rakyat AMerika secara langsung untuk mendapatkan population votes. Pemilihan langsung ini tidak memilih nama presiden namun memilih para electors di masing2 negara bagian.

Tahap II

Tahapan kedua adalah pemilihan presiden oleh para electors.

Para pemilih presiden atau presidential electors di tiap negara bagian merupakan gabungan dari jumlah Senator negara bagian (semua negara bagian sama yaitu 2 orang senator) ditambah dengan jumlah anggota House yang berbeda jumlahnya antara satu negara bagian dengan negara bagian lainnya.

Contributor: Hanta Yuda



Bingung

Pengasuh Evo udah minta pulang lagi. Padahal belum sebulan kerja. Alasannya sih gak kuat megang evo terus dan sepi. Padahal nyari dia lumayan nguras waktu dan kantong lo. Nyarinya di Palembang dekat tempat Uni ku.

Bingung..minggu besok dia dah pulang. Gantinya belum tentu dapat. Apa Istriku harus berhenti kerja ya ? tentu saja penghasilan keluarga jadi berkurang hampir separohnya. Mengingat gaji istriku menyumbang cukup besar dalam keuangan keluarga. Tapi..kalau mengingat Evo..mau aja rasanya hidup pas-pasan asal Evo dijaga mamanya sendiri.

alternatif lain, Evo sementara dititipin dulu ama Uni ku di Palembang. Tapi ya itu, kami gak kuat musti pisah dengan Evo..lagi lucu-lucunya dan sedang belajar berjalan. Mana bulan depan ultah pertama lagi.

Bingung...gak ada tempat mengadu..

Aku Menemukan Sorga

Aku menemukan sorga
disetiap rintihan kelaparan, erangan kepedihan dan lolongan kesengsaraan

Aku menemukan sorga
disetiap kaisan penyambung nafas
disetiap gemerincing kerincing yang mengiringi ayunan lengan hitam lusuh dan kumuh

Aku menemukan sorga
disetiap hadir di persimpangan jalan, menanti garis nasib enggan berkedip
sipit

Aku menemukan sorga
kau zalimi aku, kukutuk kau jadi batu

PKS, Golkar, PDIP ke 2009

Dimuat di Sinar Harapan
5 Mei 2008

Kemenangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan partai kecil lainnya di Jawa Barat dan Sumatera Utara sangat mengejutkan. Untuk kesekian kalinya, partai besar bertekuk lutut dihadapan partai-partai kecil yang tidak memperoleh suara signifikan di daerah tersebut pada pemilu 2004.

Kemenangan PKS di Sumatera Utara misalnya, diangap telah menebar ancaman serius kepada partai besar. Karena dalam Pemilu 2004 lalu, perolehan suara PKS tidak masuk lima besar. Lima besar parpol di Sumut dalam Pemilu 2004 lalu adalah Golkar (22,6 %), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) (15,9 %), PDS (7,6 %), PPP (7,5 %), dan Partai Demokrat (6,9 %).

Meskipun begitu, secara keseluruhan partai Golkar terhitung masih menempati peringkat terbanyak dibanding partai lain, dalam menempatkan kadernya sebagai pemenang Pilkada sepanjang 2005-2008 yaitu sebanyak 138 Pilkada. Sementara itu PDIP mampu memenangi 100 Pilkada, sedangkan PKS memenangi 53 Pilkada, kesemuanya tanpa koalisi ataupun melalui koalisi (Kompas, 19 April 2008) .

Walaupun secara nasional partai besar jauh lebih unggul, namun kemenangan beruntun PKS ini merupakan tamparan keras bagi partai besar seperti Golkar dan PDIP serta partai besar lainnya. Kekalahan partai besar di beberapa daerah pemilihan ini memberikan sinyal darurat bagi partai besar supaya segera melakukan evaluasi mesin partai secara menyeluruh dan berhenti hanya mengandalkan image sebagai partai besar.

Kepemimpinan dan Rekrutmen

Untuk selanjutnya kita hanya akan membahas dua partai terbesar yaitu Golkar dan PDIP serta PKS sebagai penebar ancaman. Kekalahan Golkar dan PDIP di Jawa Barat dan Sumatera Utara sesungguhnya adalah cerminan dari buruknya kepemimpinan partai dan pola rekrutmen kandidat di masing-masing partai tersebut.

Kekalahan kandidat Golkar pada Pilkada di Sulawesi Selatan, Jawa barat dan Sumatera Utara misalnya, merupakan ironi tersendiri karena kandidat yang memenangkan Pilkada adalah kandidat yang sebelumnya pernah menjadi anggota/pengurus partai berlambang beringin tersebut. Syahrul Yasin Limpo adalah birokrat yang pernah menjabat sekretaris Golkar Sulawesi Selatan. Sementara itu, Syamsul Arifin adalah kader Golkar yang pernah menjabat Ketua DPD II Langkat namun dipecat dari Partai Golkar karena nekat maju mencalonkan diri sebagai gubernur Sumatera Utara.

Hal ini mengindikasikan secara jelas bahwa Golkar kurang jeli dalam memilih kandidat yang akan diusung dan boleh jadi disebabkan oleh kepemimpinan Golkar saat ini kurang responsif dan mengakar karena masih menganut kepemimpinan oligarki yang kental.

Sama halnya dengan Golkar, PDIP juga memiliki pola kepemimpinan oligarkis dari tingkat pusat hingga daerah. Hal ini menyebabkan proses rekrutmen lebih kental dengan intervensi elit (non-merit system) dibandingkan dengan aspirasi dari bawah. PDIP terlihat lebih senang mencalonkan kandidat yang berlatar belakang militer seperti halnya di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Bahkan keputusan untuk mengusung Mayjen TNI Purn Tri Tamtomo (mantan Pangdam Bukit Barisan) dalam Pilkada Sumut dilakukan hanya beberapa bulan mendekati Pilkada.

Pola rekrutmen kedua partai tersebut kelihatannya lebih memilih atas dasar pertimbangan penguasaan kepentingan ekonomi politik lewat pihak lain daripada mengusung kader potensial. Intervensi pengurus partai, terutama Dewan Pimpinan Pusat (DPP) masih kental, sehingga kesempatan kader non-structural sangat kecil. Penjaringan kandidat belum memuat prinsip demokratis, transparan, dan mendengarkan aspirasi konstituen, tetapi lebih atas dasar keinginan elit partai.

Pola rekrutmen seperti itu tak terlepas dari otoritas politik yang ada di partai dikuasai oleh segelintir ”orang kuat”. Merujuk pada pemikiran Robert Michels dalam Political Parties (1984), sulitnya partai untuk mereformasi diri adalah karena kuatnya oligarki partai. Sehingga Partai dengan sistem ini sulit untuk membuka ruang kebebasan bagi kadernya. Kebijakan partai bertumpuk pada kekekuasaan elit partai, sehingga sulit untuk diterapkannya sistem desentralisasi kepartaian. Dalam penetapan calon kepala daerah, pengurus di tingkat pusat hingga daerah diwajibkan taat terhadap keputusan partai yang bersifat final. Celakanya, kedua partai ini tidak memiliki soliditas mesin partai serta militansi kader yang kuat sehingga partai tidak mampu memaksa basis massa untuk menaati perintah tersebut.

Berbeda dengan Golkar dan PDIP, PKS memiliki tipe kepemimpinan yang kolektif. Setiap keputusan atau kebijakan partai di semua tingkat kepengurusan dilakukan dengan melibatkan semua pengurus. Dalam tradisi demokrasi, kepemimpinan kolektif adalah sesuatu yang sangat penting, karena akan meminimalisir kecenderungan oligarki.

Meskipun begitu, pola rekrutmen kandidat PKS juga tidak lepas dari intervensi elit seperti halnya Partai Golkar dan PDIP. Namun, basis massa PKS sangat patuh terhadap keputusan yang dibuat partai. Soliditas mesin partai sangat terasa sehingga militansi kader mampu memobilisasi basis massa untuk memilih kandidat yang diusung partai tersebut.

Pola Kampanye

Kelemahan PKS sebagai partai baru yang minim tokoh-tokoh potensial yang mempunyai ikatan emosional yang kuat dengan masyarakat lokal, disikapi dengan menggandeng dan merekrut tokoh-tokoh tersebut untuk meraih dan memperoleh dukungan luas masyarakat. Hal ini terlihat dengan jelinya PKS menempatkan Dede Yusuf di Jawa Barat yang merupakan publik figur dan sudah dikenal masyarakat luas. Demikian juga halnya dengan mengusung Syamsul Arifin di Sumatera Utara yang dikenal sangat merakyat dan pernah menjabat sebagai Bupati.

PKS juga memiliki teknik kampanye yang beragam. Ada tahap perencanaan yang terdiri dari segmentasi, targeting dan positioning program-program pada pemilu yang terdiri dari direct marketing/door to door dan Polling. Dari strategi-strategi itu yang paling menonjol dan sangat efektif dalam menjaring massa adalah direct marketing karena langsung berhubungan dengan masyarakat, jadi bisa diketahui berapa kekuatan nyata yang mendukung PKS.

Hal ini tidak diantisipasi oleh Golkar dan PDIP dengan merubah strategi dan pola kampanye tradisional selama ini dengan strategi yang lebih efektif. Gokar masih menggunakan pola kampanye lama yang mengandalkan jaringan birokrasi untuk memobilisasi massa seperti era orde baru. Pada era orde baru, pola ini sangat efektif karena Golkar ketika itu bisa menginstruksikan gubernur hingga camat untuk memobilisasi massa. Hal yang mustahil dilakukan saat ini meskipun Katua Umum Golkar Jusuf Kalla menjabat Wakil Presiden.

PDIP juga kelihatannya masih terlalu percaya diri mengandalkan basis massa massa yang kebanyakan berasal dari masyarakat berpendapatan rendah, berpendidikan rendah, tinggal di pedesaan, dan kaum minoritas, yang masih menjunjung tinggi pemimpin karismatik dan fanatik. Padahal dalam memilih kepala daerah masyarakat lebih banyak melihat popularitas calon ketimbang ideologi partai maupun sosok pimpinan partai yang mengusung calon tersebut.

Proyeksi 2009

Apakah kemenangan beruntun yang didapat PKS dalam Pilkada menunjukkan peningkatan dukungan masyarakat terhadap PKS ataukah hanya dukungan sesaat yang dipengaruhi oleh momentum Pilkada ataupun koalisi yang dibangun pada Pilkada ?

Agak sulit kiranya menyimpulkan peningkatan suara PKS dalam Pilkada merupakan indikasi semakin besarnya dukungan masyarakat. Karena faktor terpenting dalam pilkada adalah figur calon yang ditunjang mesin partai yang solid. Keberhasilan PKS menemukan figur calon yang memiliki ketokohan cukup kuat, dimana tokoh eksternal dan kader internal memiliki ketokohan yang seimbang dan disempurnakan dengan mesin partai yang solid serta kader militan yang mampu memobilisasi massa ke tempat pemungutan suara adalah penentu kemenangan tersebut.

Sementara itu, kegagalan Partai Golkar dan PDIP mempertahankan kantong-kantong massanya akan menjadi ancaman serius di Pemilu 2009. Realitas politik dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung yang diselenggarakan selama beberapa tahun terakhir ini belum menunjukkan gelagat partai ini melakukan perbaikan kinerja mempertahankan basis massanya. Bahkan, ada kecenderungan partai-partai ini sulit mempertahankan dominasi di beberapa wilayah. Bila kedua partai ini tidak membenahi pola kepemimpinan dan dan rekrutmen calon legislatif, bukan mustahil kedua partai ini akan mengalami penurunan suara dalam pemilu tahun depan, meskipun masih akan menjadi dua partai terbesar.

Desentralisasi Pariwisata

Dimuat di Sinar Harapan, 31 Maret 2008

Saat ini telah memasuki bulan ketiga Tahun Kunjungan Indonesia 2008 dicanangkan oleh pemerintah Indonesia. Selama tiga bulan ini belum jelas kemungkinan apakah jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia yang ditargetkan sebesar 7 juta dengan perolehan devisa sebesar US$ 6,7 miliar akan tercapai atau tidak. Namun, target itu sesungguhnya realistis apabila diiringi dengan program yang benar-benar padu dan mampu menonjolkan keunikan Indonesia.

Untuk mengejar target tersebut, pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp 103,57 miliar untuk pengembangan 10 destinasi pariwisata unggulan yang tersebar di luar Jawa dan Bali. Suatu jumlah yang bisa jadi cukup besar atau bisa juga tidak mencukupi tergantung implementasi kemana dana itu diarahkan. Karena, anggaran sebesar apapun sesungguhnya tidaklah dapat berbuat banyak apabila hanya digunakan untuk menutupi biaya promosi atau perbaikan infrastruktur semata.

Pembangunan industri pariwisata tidak cukup hanya dengan membangun hotel dan infrastruktur lainnya saja. Dunia pariwisata lebih membutuhkan daya tarik yang mampu membuat wisatawan betah untuk berlama-lama tinggal di Indonesia. Destinasi wisata manapun, dengan anggaran berapapun, tidak akan sukses bila masyarakat tidak memiliki peran yang sinergis dan visi dan misi yang sama dengan pemerintah. Seindah apapun sebuah objek wisata, hanyalah akan menjadi benda mati apabila tidak diimbangi oleh budaya masyarakat yang sadar wisata (hospitality).

Inilah persoalan sesungguhnya dalam pengembangan wisata Indonesia. Budaya melayani masyarakat masih sangat kurang kalau tidak dikatakan minim, sehingga menjadi momok terbesar dalam membentuk citra wisata Indonesia. Pelayanan hotel banyak yang masih dibawah standar internasional, begitu juga dalam pelayanan transportasi yang banyak diwarnai oleh premanisme di terminal-terminal angkutan hingga ke bandara berkaliber Internasional. Wisatawan masih banyak yang mengeluhkan taksi di beberapa kota yang tidak menggunakan argometer dalam melayani penumpangnya sehingga tarif yang digunakan sangat mencekik leher. Begitu juga harga cendera mata dan makanan tradisional daerah yang harganya bisa melonjak drastis tergantung dari tampilan si pembeli.

The World is Flat

Dari sekian banyak daerah tujuan wisata mungkin hanya Bali atau Jogja saja yang sudah memiliki budaya pelayanan yang memadai yang dipadukan dengan kekayaan budaya tradisional serta infrastruktur yang memadai. Beberapa daerah lain yang juga memiliki potensi pariwisata yang besar, belum terlihat tindakan nyata untuk mendongkrak pariwisata sebagai penghasil devisa terbesar. Apalagi melibatkan masyarakat sebagai salah satu penggerak industri pariwisata. Kondisi ini tentu tidak mampu menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat yang sesungguhnya adalah modal awal berkembangnya budaya melayani dalam masyarakat.

“The world is flat” begitu kesimpulan Thomas Friedman, seorang kolumnis tersohor dari the New York Times. Bukan menantang kesimpulan Copernicus, melainkan lontaran kata-kata itu lahir setelah dia menyaksikan efek globalisasi yang dahsyat dalam berbagai bidang.

Memang, dinamika ekonomi dan politik internasional tidak lagi menjadi aktifitas yang terisolasi di arena global saja. Dinamika itu memiliki dimensi dan efek lokal yang sangat tinggi. Dalam laporan Bank Dunia tahun 2000, kecenderungan desentralisasi dan globalisasi disinyalir berjalan secara bersamaan. Desentralisasi membuat unit-unit yang berkompetisi di tingkat internasional bisa menjadi lebih kecil. Kompetisi di bidang perdagangan dan investasi misalnya, tidak lagi merujuk pada tingkat negara, tetapi sudah pada tingkat sub-nasional.

Dalam konteks inilah desentralisasi pariwisata di Indonesia menjadi relevan. Pariwisata muncul menjadi Industri yang tumbuh tidak hanya di level nasional namun mampu menunjukkan karakter yang berbeda di setiap daerah yang memiliki potensi pariwisata.

Koordinasi dengan Daerah

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata merilis kajian yang menarik tentang daya saing pariwisata daerah. Kajian yang dilakukan pada tahun 2006-2007 ini mengungkap bahwa wisatawan mancanegara dari negara yang berbeda memiliki kecenderungan untuk berkunjung kedaerah yang berbeda pula. Fakta ini memberikan pesan bahwa setiap destinasi wisata yang tersebar diberbagai daerah harus bisa menyusun blueprint pariwisata dengan menetapkan target yang tepat sesuai dengan karakteristik wisatawan mancanegara tersebut atau sesuai dengan pasar yang dominan selama ini.

Luas dan tersebarnya daerah tujuan wisata Indonesia juga menyebabkan semakin berbeda pula keunggulan dan potensi yang dimiliki daerah tersebut. Manado misalnya berpotensi untuk menjadi gerbang daerah wisata Indonesia bagian Timur yang siap mengolah negara-negara Asia Pasific. Begitu juga Sumatera Barat mempunyai potensi besar untuk menjadi pintu gerbang wisatawan yang berasal dari Asia Tenggara dan negara-negara timur tengah.

Oleh karena itu dalam rangka Visit Indonesia Year 2008, program destinasi unggulan dan program Visit Indonesia Year 2008 seharusnya dikoordinasikan dengan daerah agar diperoleh hasil yang optimal. Berbagai program kegiatan yang cerdas dan menarik harus disusun dengan baik sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing.

Kembali kepada pernyataan Thomas Friedman, desentralisasi membuat dunia usaha pariwisata di tingkat sub-nasional memiliki peluang untuk menaklukan globalisasi demi peningkatan kesejahteraan populasi di wilayahnya. Ini adalah ilustrasi betapa masyarakat lokal memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap globalisasi.

Oleh karena itu sekaranglah saatnya seluruh daerah yang memiliki potensi pariwisata melaksanakan program bersama secara terpadu. Pemerintah pusat cukup berperan dalam mengoptimalkan kegiatan promosi dan mengupayakan kemudahan bagi kunjungan wisman dan investasi pariwisata. Namun, dalam urusan menentukan corak dan karakteristik pariwisata yang akan dibangun, Pemerintah Daerah beserta masyarakat lokal-lah yang akan menentukan.

Verifikasi Parpol Baru

Departemen Hukum dan Hak Azazi Manusia (Depkumham) telah memulai verifikasi partai politik (parpol) baru sejak Kamis 28 Februari 2008. Verifikasi dilakukan terhadap 47 dari 115 partai politik yang mendaftar. Parpol baru yang telah melewati tahap verifikasi dan dinyatakan memenuhi semua prasayarat yang ditentukan akan dilaporkan ke Menteri Hukum dan HAM, untuk disahkan sebagai badan hukum. Sehingga pada april mendatang, partai politik baru yang telah mempunyai badan hukum dapat diumumkan.

Dalam perkembangan selanjutnya, dari 47 Parpol tersebut, delapan parpol yaitu PBSD, PPD, PSI, PNBK, PPNU Indonesia, PIB, Partai Merdeka, dan Partai Patriot Pancasila dipersilahkan Depkumham untuk langsung mendaftar verifikasi di KPU. Keputusan Depkumham ini keluar setelah KPU memutuskan Parpol yang telah memiliki badan hukum bisa langsung mendaftarkan diri ke KPU.

Anggota KPU I Gusti Putu Artha menjelaskan, dasar bagi keputusan ini adalah Pasal 51 Ayat (1) UU No. 2 Tahun 2008 tentang Parpol. Pasal ini mengatur bahwa parpol yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasar pada UU 31/2002 tentang Parpol tetap diakui keberadaannya

Sementara itu, KPU akan membuka pendaftaran partai politik peserta Pemilu 2009 sebanyak dua tahap. Tahap I untuk parpol lama yaitu sebanyak 50 parpol. Parpol lama itu adalah 16 parpol di DPR yang sudah pasti menjadi peserta pemilu, delapan parpol yang tidak mempunyai kursi, dan 26 parpol yang tidak lolos verifikasi faktual di Pemilu 2004. Sedangkan tahap II adalah untuk parpol baru yang lolos verifikasi di Departemen Hukum dan HAM. Meskipun parpol lama diperkenankan langsung mendaftar ke KPU, namun tetap harus menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, serta UU 2/2008 tentang Parpol.

Keputusan KPU ini sesungguhnya meringankan beban partai-partai kecil dalam menyiapkan diri untuk menghadapi pemilu 2009. Apabila mereka harus melengkapi lagi syarat administrasi verifikasi Depkumham, maka akan membutuhkan biaya yang besarnya mencapai Rp 5 miliar-Rp 10 miliar. Suatu ketidakadilan bila partai kecil yang memiliki kursi di DPR, meskipun tidak lolos Electoral Treshold (ET), tidak mengeluarkan biaya apapun karena memiliki free pass untuk pemilu 2009.

Keputusan KPU ini merupakan angin segar untuk kematangan demokrasi di Indonesia. Bagi Indonesia yang terhitung baru dalam menerapkan demokrasi, pemberian kebebasan bagi rakyat untuk berkumpul dan berserikat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 adalah suatu keniscayaan. Oleh karena itu, keinginan melakukan pembatasan jumlah partai untuk menuju sistem multipartai sederhana demi memperkuat sistem presidensial tidak harus dimulai dari membatasi jumlah peserta pemilu.

Penerapan Parliamentary Treshold (PT) sebanyak 2,5 % di parlemen sesungguhnya sudah mumpuni untuk menyaring partai mana yang benar-benar mendapatkan dukungan dari rakyat dan mana yang tidak. Dengan kata lain partai yang benar-benar memiliki sistem kepartaian yang kuat akan tetap eksis dengan menempatkan anggotanya di parlemen, sedangkan partai baru yang sistem kepartaiannya lemah dan tidak memiliki akar massa akan tereliminasi dengan sendirinya.

Oleh karena itu keputusan KPU yang memberikan kesempatan yang sama kepada partai lama maupun baru untuk ikut meramaikan Pemilu 2009 dan Pemilu-Pemilu berikutnya patut untuk didukung.

KPK Menyemai Harapan Baru

“Power Tend to Corrupt” kata-kata terkenal dari Lord Acton itu kembali menemukan pembuktiannya di Indonesia. Aparat penegak hukum yang paling berwenang dalam menyelidiki dan mengadili kasus hukum di negara ini, justru melakukan pelanggaran hukum. Ketua Tim Jaksa penyelidik kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Urip Tri Gunawan tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima uang sejumlah US$660 ribu atau kurang lebih 6 M rupiah. Uang itu ditengarai sebagai uang suap dari Sjamsul Nursalim, obligor terbesar kasus BLBI.

Di Indonesia, kasus korupsi sudah berurat berakar menggerogoti setiap lapisan anak bangsa, tidak terkecuali instansi-instansi pemerintahan. Belum tuntasnya pemberantasan korupsi di Indonesia ditengarai karena aparat penegak hukum yang tebang pilih. Penegak hukum memperlihatkan “taring”nya hanya ketika berhadapan dengan kasus korupsi yang dilakukan oleh orang/sekelompok orang yang tidak memiliki kekuasaan atau uang. Namun, ketika berhadapan dengan pihak yang memiliki kekuasaan dan uang, serta merta penegak hukum seperti macan ompong yang tidak memiliki keberanian untuk menyelidiki apalagi mengadili.

Oleh karena itu, keberanian KPK menangkap Jaksa Urip ini patut diberikan apresiasi. Selain karena ini merupakan kasus yang berkaitan dengan kasus besar BLBI, juga karena keberanian KPK menangkap aparat penegak hukum lainnya. Kalau boleh dikatakan sebagai prestasi, penangkapan ini seakan memupus keraguan khalayak terhadap pimpinan KPK Antasari Azhar, ketika pertama kali menjabat. Benarkah ?

Memang, jalan yang akan ditempuh KPK masih panjang untuk membuktikan hal tersebut. Namun, tidak ada salahnya menaruh harapan besar kepada KPK dalam kepemimpinan Antasari Azhar saat ini untuk dapat berbuat lebih banyak mengungkap dan memberantas kasus korupsi yang telah meluluhlantakkan sendi-sendi bangsa ini. Semoga, kata-kata Lord Acton diatas tidak kembali berlaku di dalam tubuh KPK, karena bagaimanapun juga aparatur penegak hukum masih sangat rawan terhadap godaan suap.

Bunga Anindya 2


Angin semilir menerjang rerumputan, menyibak pintu hati ,yang bergetar oleh ketukan amora
Bunga…
dewi manakah yang menjelma kedalam tiap helai kuntummu ?
Hingga mataku mengedip syahdu, terpikat kemilau embun yang menyejukkan

Himbauan kau kah itu ?
Yang menyentak setiap inci tulang putih,
yang digerakkan segumpal daging merah berdetak-detak,
hingga langkahku terseret mencari asal segala asa yang kini menguasaiku

aku menemukanmu bunga,
harum sukmamu membawaku kesini
bersimpuh luluh dihadapanmu
dan menjadi tanah hitam
tuk mengekalkan keindahanmu
ditempat permainan segala dewa dan dewi

Jakarta, 27 Februari 2008