Minangkabau antara romantika dan perubahan

dimuat di opini Padang Ekspres
****************************

“Panakiak pisang sirauik, ambiak galah batang lintabuang, selodang jadikan niru, nan satitiak jadikan lauik, nan sakapa jadikan gunuang, alam takambang jadi guru”. Pepatah diatas merupakan cerminan pola pikir Minangkabau yang sangat mendasar dan bersifat terbuka terhadap semua pandangan, pendapat, agama yang memperkaya adat dan budaya. Sebuah falsafah social kemasyarakatan yang lahir dari budaya yang egaliter.

Belajar kepada alam adalah kata bijak yang selalu di dengung dengungkan dari generasi ke generasi Minangkabau. Dengan begitu Orang Minangkabau selalu memiliki pikiran yang terbuka serta mampu mengikuti perkembangan dunia yang terus berjalan secara linear. Hal ini juga terkandung kedalam pepatah Minang yang lain “ sakali ayia lalu sakali tapian barubah “ yang semakin mengokohkan masyarakat Minangkabau untuk bertekad selalu menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada,tentunya melalui proses penyaringan demi kesempurnaan adat dan limbago.

Kedalaman makna filosofi yang dikandung pepatah Minangkabau diatas sungguh sangat dirasakan oleh masyarakat Minang beberapa generasi lalu. Perombakan budaya dan adat besar besaran yang paling menentukan dalam Minangkabau mungkin adalah ketika terjadinya perang saudara antara kaum ulama pembaharu dengan kaum tua adat yang akhirnya berdamai di Bukit Marapalam.

Kedinamisan itupun berlanjut ke jaman perjuangan kemerdekaan dimana satu persatu tokoh Minangkabau muncul menjadi kaum intelektual yang mendorong lahirnya republic ini. Tak dapat disangkal saat itu suku minangkabau dikenal sebagai Gudangnya intelektual.

Bagaimana dengan Minangkabau saat ini ? Tampaknya pepatah yang mencerminkan perubahan yang dinamis tersebut semakin kehilangan rohnya. Dapat dilihat dengan tiadanya perubahan yang cukup berarti dalam khasanah kehidupan masyarakat. Sangat jarang Orang Minang masuk kedalam jajaran elite baik di pemerintahan ataupun pimpinan politik. Lalu apakah penyebab penurunan kualitas intelektual ini ?

Banyak ahli sejarah dan tokoh masyarakat berpendapat asal muasal kemunduran Minangkabau dari pentas nasional adalah dikarenakan kekalahan dalam pemberontakan PRRI silam. Akibat dari kekalahan itu sungguh luar biasa. Orang Minang kehilangan harga dirinya dan berlaku sebagai orang yang takluk (audrey Kahn).

Namun seiring perjalanan waktu sepertinya faktor Minang yang takluk itu musti dipertanyakan lagi. Masyarakat Minangkabau sudah kembali ke pemerintahan nagari sejak 6 tahun lalu begitupun otonomi daerah yang merupakan tujuan semula perjuangan PRRI telah dirasakan bersama..

Kalau memang sistem social dan politik masyarakat Minang sudah pulih seperti sebelum jaman pergolakan lalu kenapa respon masyarakat terhadap perubahan tidak seperti yang diharapkan ? Masyarakat Minang seolah olah tidak siap kembali ke zaman ber nagari. Banyak kalangan berpendapat hal itu disebabkan oleh “ketaklukan” terhadap masa lalu yang cukup lama ditanggung masyarakat sedangkan kalangan lain menganggap karena tidak adanya “user manual” mengenai kembali ke nagari tersebut.

Terlepas dari segala macam teori yang berkembang masyarakat Minangkabau memang sedang mengalami “muno” tidak mau tahu dengan perkembangan dinamika yang ada. Mereka seolah olah larut dengan budaya barat serta mengalami kejumudan yang berlebihan dengan membangga banggakan diri sendiri terkait dengan romantisme masa lalu.

Lantas bagaimana menyikapi problematika psikis masyarakat tersebut ? Sesungguhnya problem yang mendasar ini dialami oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari anak nagari, tokoh masyarakat, tokoh agama bahkan jajaran pemerintah. Boleh dikatakan tidak ada ide-ide brilian yang muncul dari pemerintah untuk kembali memajukan taraf hidup masyarakat apakah itu melalui pendidikan, ekonomi maupun khasanah budaya.

Pemerintah sebagai penanggung jawab pembangunan dan perubahan selalu memperlihatkan pemikiran yang standar . Padahal sesungguhnya yang dibutuhkan adalah pemikiran yang benar-benar baru diluar mainstream yang ada untuk mendobrak kebiasan lama penyebab kemunduran semangat perjuangan masyarakat, meskipun itu akan menentang arus. Semboyan “sakali ayia lalu sekali tapian barubah”, musti di masyarakatkan lagi. Ketika pembangunan harus merubah tatanan masyarakat atau budaya yang telah ada sebelumnya pemerintah mau tidak mau musti menjalankannya karena kodrat dari kebudayaan dan norma masyarakat adalah perubahan itu sendiri.

Sesungguhnya kita tidak perlu dulu memperdebatkan pola pendidikan apa yang cocok atau sistem apa yang baik bagi Sumbar saat ini. Sistem yang sempurnapun akan tidak berfungsi jika digerogoti oleh pihak yang menegakkan system tersebut.Yang perlu kita lakukan secepatnya adalah membangkitkan kembali “spirit” untuk menjadi yang terbaik dan berani menerima perubahan baik itu cara berfikir,berbudaya, bergaul, mengelola sumber daya/keelokan negeri dan yang terpenting objektif dalam menilai dan memahami diri sendiri.

Sejenak kita lupakan dulu kegemilangan masa silam, Kesalahan lain yang telah mendarah daging adalah kita terperangkap kedalam mitos mitos bahwa suku Minangkabau adalah suku yang hebat dan paling egaliter di Indonesia. Kita selalu terperangkap kedalam romantisme masa lalu ketika jaman Hatta, Natsir, Agus Salim, Tan Malaka menjadi tokoh yang turut membidani bangsa ini. Sehingga julukan orang minangkabau pun bertambah dengan “orang yang suka membicarakan kehebatan diri sendiri”.

Kita juga selalu membicarakan kekayaan alam yang cukup melimpah, obyek wisata alam yang sangat indah bahkan melebihi Bali. Itu tidak salah namun faktanya kita belum bisa menanfaatkan kelebihan alam itu dengan sebaik baiknya. Kenyataan menjelaskan kemajuan suatu suku bangsa atau masyarakat tidak dapat dijamin oleh tersedianya kekayaan alam. Bahkan Negara seperti Singapura dan Jepangpun bisa maju meskipun tanpa SDA yang memadai.

Meminjam kata kata Mari’e Muhammad kunci kemajuan suatu bangsa adalah kepemimpinan dan manajemen. Inovasi/perubahan, kepandaian, dan kelihaian menyerap teknologi dari bangsa lain yang lebih maju seraya mengembangkan teknologi yang ada dalam diri mereka sendiri.

Sesungguhnya hal itulah makna sebenarnya dari pepatah “alam takambang jadi guru” semoga kesadaran memaknai alam dengan terus mengikuti perubahan dan perkembangan jaman akan membangkitkan kembali spirit dan semangat masyarakat Minangkabau untuk mengejar ketertinggalan yang ada.

0 komentar: