Partai Islam; Jalan Terjal Menuju Puncak

Keberadaan Partai Islam di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam selalu menarik untuk ditelaah. Di Indonesia, gagasan tentang hubungan politik dan Islam telah berlangsung secara dinamis sejak zaman kolonial. Pada era pasca kolonial hubungan tersebut mengalami dinamikanya tersendiri yang oleh para pakar politik diklasifikasikan ke dalam beberapa macam. Rahmani Timorita Yulianti yang mengutip pendapat Abd. Azis Taba menyatakan bahwa hubungan negara dan Islam pada Orde Lama bersifat antagonis, kemudian berubah menjadi resiprokal kritis sejak adanya inisiatif proses pemahaman posisi keduanya (1982-1985), kemudian dari tahun 1985-1998 bersifat politik akomodatif.

Ketika era reformasi baru saja dimulai dengan beralihnya kepemimpinan Soeharto ke Presiden Habibie, politik indonesia menjadi kembali bergairah dengan keluarnya keputusan Habibie untuk tidak lagi menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Akibat dari kebijakan ini bermunculanlah partai politik Islam yang mengusung Islam sebagai asas politik antara lain Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan (PK).

Bermunculannya partai Islam ini tidak membuat masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam serta merta memberikan pilihan kepada partai-partai ini. Pemilu 1999 membuktikan bahwa partai Islam tidak mampu meraih suara signifikan dimana Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi pemenang. Pada pemilu 2004pun terjadi hal yang sama dimana Partai Golkar memenangi pemilihan diikuti oleh PDIP yang sama-sama berideologi nasionalis. Dalam konteks inilah kajian tentang partai Islam sangat menarik untuk dicermati.

Tipologi Partai Islam

Dari beberapa kajian yang pernah ada, partai Islam di Indonesia bisa dibedakan dari asas politiknya dan atau basis massa politiknya. Menurut penelitian yang dilakukan Arsekal Salim, partai politik Islam di Indonesia, adalah partai yang menggunakan label Islam (nama, prinsip, dan simbol), atau tidak menggunakan label Islam tetapi perjuangan sebenarnya adalah terutama untuk kepentingan umat Islam tanpa mengesampingkan kepentingan non-Muslim, atau tidak menggunakan label Islam, programnya juga untuk kepentingan semua penduduk Indonesia, tetapi konstituen utamanya berasal dari umat Islam.

Berdasarkan definisi dan kategori yang dibuat Arsekal Salim di atas, maka yang termasuk partai Islam kategori pertama semisal PPP, PBB,PNUI, PMB dan PKS. PPP menggunakan asas Islam dan memakai simbol Ka’bah yang merupakan simbol yang sakral dalam Islam. PBB asasnya Islam dengan lambang bulan sabit dan bintang yang menjadi ciri khas Islam. Kemudian kategori kedua dan ketiga seperti PKB dan PAN. Kedua partai tersebut tidak menggunakan asas Islam dan tidak menggunakan simbol-simbol Islam namun, konstituen utamanya adalah umat Islam sehingga tidak dapat dikatakan tidak kedua partai ini adalah partai Islam

Sementara itu, Muchammad Yuliyanto membagi entitas parpol Islam ke dalam dua konsepsi. Pertama, parpol Islam adalah parpol yang memiliki asas kepartaian Islam dengan kepemimpinan partai di bawah kendali orang-orang yang tidak diragukan keislamannya. Di samping itu, partai tersebut mengusung simbol-simbol keislaman dari tanda gambar sampai ke jargon-jargon politik. Partai demikian juga menamakan diri sebagai partainya orang Islam. Sekadar contoh adalah PPP, PBB, PUI, PSII, Masyumi sampai PUMI. Kedua, parpol yang secara asas, simbol, jargon dan perilaku keseharian amat jauh dari warna Islam, tetapi secara kepemimpinan di bawah kendali orang-orang beridentitas keislaman. Biasanya parpol demikian mengedepankan diri sebagai partai terbuka, namun memiliki basis konstituen umat Islam dan ormas keagamaan tertentu. Misalnya PKB dan PAN.

Melihat tipologi partai Islam diatas maka untuk Pemilu 2009 nanti setidaknya tercatat 9 Partai Islam yang sesuai dengan kategori diatas yang akan akan bertarung yaitu PKS, PPP, PBB, PBR, PKU, PNU, PAN, PKB dan PMB.

Dari pengelompokan partai Islam diatas ternyata masyarakat juga memiliki penilaian sendiri terhadap partai islam mana yang benar-benar islami dan yang nasionalis. Berdasarkan survey yang dilaksanakan oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI) ternyata persepsi masyarakat terhadap partai Islam menunjukkan bahwa partai yang menurut masyarakat paling Islam adalah PKS mengungguli PPP, PKB dan PBB. Sementara Golkar, dianggap paling Pancasilais bersama PDI Perjuangan dan Demokrat. Catatan LSI juga menunjukkan PKS memperoleh kemajuan paling besar dibandingkan parpol Islam lainnya menjelang Pemilu 2009.

Grafik Survey LSI
Partai yang paling Islamis (versi LSI)

Sumber: Survey LSI September 2008

Dari hasil survey ini, LSI menyimpulkan bahwa persepsi ini sedikit dipengaruhi oleh sikap partisan pemilih, yakni kemampuan untuk mengidentifikasi keislaman partai sedikit terkait dengan kecenderungan pilihan terhadap partai bersangkutan. Walapun PBB oleh ahli dianggap lebih Islami dalam platform-nya, tapi di mata pemilih PKB dinilai lebih Islami meskipun tidak berplatform Islam karena pemilih PKB cenderung lebih banyak dari pemilih PBB.

Namun demikian, menurut LSI, secara umum penilaian pemilih atas tingkat keislaman partai ini sama dengan asessment para ahli. Golkar atau PDIP dipersepsikan jauh kurang Islami dibanding PKS misalnya. Di samping itu, di mata pemilih identitas Islam dan Pancasila cukup berbeda dan terpisah. PKS paling Islam, dan Golkar paling Pancasilais misalnya. Secara elektoral, Pancasila tidak bisa diidentikan dengan Islam, atau sebaliknya.

Namun dari survey yang berbeda yang dilakukan oleh Lembaga Survey Nasional (LSN) terdapat perbedaan cukup signifikan mengenai hal ini. PKS menduduki peringkat keempat partai yang dianggap paling Islami. Prosentase terbesar responden (76,9 persen) mempersepsikan PKNU sebagai partai yang paling Islami. PPP yang benar-benar berasas Islam berada di posisi kedua (75,9 persen). Di tempat ketiga PKB (67,3 persen), diikuti PKS (63,9 persen. Sementara itu, PBB di nomor lima (61,5 %), lalu PAN (55,3 persen), PBR (42,9 persen) dan PMB (20,4 persen)


Partai Paling islami (versi LSN)



Sumber: Hasil Survey LSN Oktober 2008

Dari kedua survey diatas, meskipun memiliki hasil yang berbeda setidaknya menunjukkan kebenaran dari kategorisasi yang dibuat oleh dua peneliti diatas. Masalah mana partai Islam yang paling Islami sepenuhnya tegrantung dari persepsi masyarakat yang menilainya.


Pencapaian suara Partai Islam dari Pemilu ke Pemilu
Pencapaian suara partai Islam dari pemilu ke pemilu cenderung menunjukkan penurunan. Pada Pemilu 1955 dari enam parpol Islam yang ikut berlaga yakni Masyumi, NU, PSII, Perti, PPTI, dan AKUI, akumulasi suara yang berhasil diperoleh 43,9 persen dari total suara sah. Perolehan suara tersebut justru semakin kecil dalam pemilu-pemilu berikutnya. Pemilu 1971 misalnya dengan empat partai Islam hanya terkumpul 27,1 persen.
Pada era Orde Baru di mana PPP sebagai satu-satunya partai Islam selama lima kali pemilu (1977, 1982, 1987, 1992, 1997) range suara tidak lebih dari 16-30 persen. %. Pada pemilu 1999, total suara partai Islam (PKB, PPP, PAN, PK, PKNU) anjlok menjadi 36.8%. Untuk lebih jelasnya lihat tabel hasil perolehan kursi partai-partai pada pemilu 1999 berikut ini.

Tabel: Perolehan suara Partai Pemilu 1999
No. Nama Partai Suara DPR Kursi
Tanpa SA Kursi
dengan SA
1. PDIP 35.689.073 153 154
2. Golkar 23.741.749 120 120
3. PPP 11.329.905 58 59
4. PKB 13.336.982 51 51
5. PAN 7.528.956 34 35
6. PBB 2.049.708 13 13
7. Partai Keadilan 1.436.565 7 6
8. PKP 1.436.565 4 6
9. PNU 679.179 5 3
10. PDKB 550.846 5 3
11. PBI 7.528.956 34 35
12. PDI 2.049.708 13 13
13. PP 655.052 1 1
14. PDR 427.854 1 1
15. PSII 375.920 1 1
16. PNI Front Marhaenis 365.176 1 1
17. PNI Massa Marhaen 345.629 1 1
18. IPKI 328.654 1 1
19. PKU 300.064 7 6
20. Masyumi 456.718 1 -
21. PKD 216.675 1 -
22. PNI Supemi 377.137 1 -
23. Krisna 369.719 0 -
24. Partai KAMI 289.489 - -
25. PUI 269.309 - -
26. PAY 213.979 - -
27. Partai Republik 328.564 - -
28. Partai MKGR 204.204 - -
29. PIB 192.712 - -
30. Partai SUNI 180.167 - -
31. PCD 168.087 - -
32. PSII 1905 152.820 - -
33. Masyumi Baru 152.589 - -
34. PNBI 149.136 - -
35. PUDI 140.980 - -
36. PBN 140.980 - -
37. PKM 104.385 - -
38. PND 96.984 - -
39. PADI 85.838 - -
40. PRD 78.730 - -
41. PPI 63.934 - -
42. PID 62.901 - -
43. Murba 78.730 - -
44. SPSI 61.105 - -
45. PUMI 49.839 - -
46. PSP 49.807 - -
47. PARI 54.790 - -
48. PILAR 40.517 - -
Jumlah 105.786.661 462 462
Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 1999
Dalam Pemilu 2004 lalu, nasib parpol Islam sedikit lebih beruntung dengan 21,17 persen suara dari 5 parpol Islam yang ada. Hal ini tidak lepas dari fenomena PKS dengan perolehan 7,34 persen setelah dalam Pemilu 1999 hanya mencapai 1,36 persen. Kalaupun diakumulasikan dengan PKB dan PAN akumulasi suara ketujuh partai tersebut tidak lebih dari 40 persen.
Dengan demikian pada pemilu 2004 ini, partai Islam yang terdiri dari 7 partai hanya memperoleh 231 kursi dari total 550 kursi. Untuk lebih jelasnya hasil perolehan partai-partai pada pemilu 2004 dapat dilihat dari tabel berikut ini.
Tabel Perolehan Suara Partai Islam 2004
No. Urut Nama Partai Politik Jumlah Suara
Sah Partai
Politik Jumlah Kursi
1. PNI 923.159 1
2. PBSD 636.397 0
3. PBB 2.970.487 11
4. MERDEKA 842.541 0
5. PPP 9.248.764 58
6. PDK 1.313.654 5
7. PIB 672.952 0
8. PNBK 1.230.455 1
9. DEMOKRAT 8.455.225 57
10. PKPI 1.424.240 1
11. PPDI 855.811 1
12. PNUI 895.610 0
13. PAN 7.303.324 52
14. PKPB 2.399.290 2
15. PKB 11.989.564 52
16. PKS 8.325.020 45
17. PBR 2.764.998 13
18. PDIP 21.026.629 109
19. PDS 2.414.254 12
20. GOLKAR 24.480.757 128
21. PANCASILA 1.073.139 0
22. PSI 679.296 0
23. PPD 657.916 0
24. PELOPOR 878.932 2
JUMLAH 113.462.414 550
Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 1999

Perlu dicatat, total suara partai Islam dua pemilu ini masih memasukkan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai Islam, maka suara partai Islam lebih sedikit.


Konflik Internal

Secara umum, gambaran partai-partai Islam sejak era reformasi bergulir banyak diwarnai koflik internal yang berujung pada perpecahan partai sehingga membentuk partai Islam sempalan. Contohnya PKB, partai ini telah berulangkali mengalami perpecahan antara tokoh utama Gus dur dan tokoh lainnya seperti Matori Abdul Jalil, Alwi Shihab dan terakhir Muhaimin Iskandar. Pada konflik yang muncul setelah Mukatamar PKB 2005 di Semarang, sejumlah kader yang tersisih dari partai akhirnya mendirikan dan bergabung ke dalam Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Partai ini dipelopori oleh sejumlah politisi antara lain Choirul Anam dan kiai khos yang merasa tidak sehaluan lagi dengan PKB. Lahirnya PKNU ini di prediksikan membuat suara nahdliyin terpecah pada pemilu nanti sehingga menyebabkan pengurangan suara PKB secara signifikan pada pemilu 2009.

Kasus yang sama juga mewarnai pilihan politik Muhamadiyah. PAN yang selama ini dianggap sebagai partai muhamadiyah juga mengalami perpecahan yang menyebabkan suara Muhammadiyah semakin terpolarisasi. Perubahan gaya kepemimpinan PAN pasca dipimpin Amien Rais serta kekecewaan kalangan Muhammadiyah terhadap PAN yang dianggap gagal menyuarakan aspirasi politik warga Muhammadiyah telah membuat kader muda Muhammadiyah merasa tidak sehaluan lagi sehingga lahirlah Partai Matahari Bangsa (PMB). Lahirnya PMB ini juga akan membuat perolehan suara PAN akan berkurang secara signifikan terutama dari warga Muhammadiyah.

Partai Bintang Reformasi (PBR) meskipun tidak mengalami perpecahan namun tampaknya juga akan mengalami pengurangan suara. Partai ini dulunya lahir oleh kharisma KH. Zainuddin MZ, seiring dengan keluarnya KH Zainuddin MZ maka pamor partai ini semakin menurun dan semakin ditinggalkan oleh pendukungnya.

Hal itu menunjukkan, konflik internal parpol Islam tampaknya akan menjadi masalah utama sehingga dapat diprediksi akan terjadi penggembosan politik pada induk pecahan partai tadi.Bila hal itu terjadi maka suara partai Islam akan terus mengalami penurunan.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa parpol yang berdasarkan Islam atau menjadikan umat Islam sebagai basisnya, sejauh ini belum menunjukkan tanda-tanda menguat dan terkonsolidasi dengan baik karena masih tetap bergumul dengan pelbagai masalah internal, yang membuat hampir tidak mungkin bagi mereka dapat berkembang menjadi parpol yang kuat dan modern sehingga memiliki peluang yang kuat pada 2009.

Satu-satunya partai Islam yang masih mungkin meningkatkan perolehan suaranya adalah PKS. Namun, PKS saat ini juga sedang bergumul dengan masalah identitas partainya. Sejak dicanangkan sebagai partai plural beberapa waktu lalu PKS sering dilanda pro dan kontra. Pergerakan PKS dari partai Islam kanan yang bergerak menuju ketengah menyimpan bara yang bila tidak tertangani dengan baik juga akan menjadi bibit perpecahan.

Dalam disertasinya mengenai prospek PKS di Indonesia, Ahmad Norma Permana menyatakan bahwa perilaku politik PKS cenderung ideologis ketika institusi politik masih tidak menentu (1998 – 2002). Menurutnya, secara organisatoris PK waktu itu masih demokratis dengan menempatkan Munas sebagai lembaga pengambil kebijakan tertinggi. Dalam pemilu PK juga masih meyakini bahwa moralisme adalah jalan utama menuju sukses pemilu dan dalam pemerintahan PK hanya mau bekerjasama dengan partai Islam.

Sementara itu setelah menjadi PKS dan melakukan konsolidasi demokrasi, perilaku politik PKS makin pragmatis. Dalam organisasi, majelis Syuro menjadi pengambil keputusan tertinggi (oligarchis) dan dalam pemilu lebih mengutamakan propaganda politik ketimbang dakwah. Dalam pemerintahan PKS juga menomorsatukan jabatan dengan kesediaan bekerjasama dengan siapa saja termasuk partai Kristen.

Tayangan Iklan PKS yang menampilkan gambar pahlawan nasional secara gamblang menunjukkan peralihan identitas tersebut yang rentan menuai konflik. Iklan yang ditayangkan di TV tersebut menuai beragam protes antara lain dari Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsudin yang menganggap pemasangan gambar KH Ahmad Dahlan adalah sebuah ketidakpantasan karena KH Ahmad dahlan adalah pendiri Muhammadiyah yang tidak masuk dalam struktur politik manapun. Penolakan terhadap iklan tersebut juga datang dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) karena memuat gambar pendiri NU KH Hasyim Asyari.

Terlepas dari substansi pro dan kontra tersebut, kasus ini menujukkan bahwa ada semacam penghalang bagi sesama partai Islam dan atau elemen Islam untuk bisa bersatu dan berkonsolidasi dengan baik dalam memperjuangkan nilai-nilai politik islam. Bila ini selalu terjadi maka, sangat sulit diharapkan partai Islam mampu mendulang perolehan suara yang cukup signifikan untuk paling tidak mengimbangi perolehan partai nasionalis sekuler.


Peluang partai Islam 2009

Bagaimana prospek partai Islam pada pemilu 2009 ? Hasil survei opini publik yang diadakan berbagai lembaga survey menunjukkan bahwa perolehan suara partai Islam tidak akan jauh dari hasil pemilu 2004. Survei CSIS misalnya menunjukkan bahwa sepertiga pemilih (30 %) belum menentukan pilihan. Dari yang sudah menentukan pilihan, 20.3% menyatakan akan memilih PDI-P. 18.1% memilih Golkar, 11.8% menyatakan pilihannya ke PKS. Sementara itu 6.8 % sudah menentukan pilihan ke PKB, Partai Demokrat sebesar 5.2%, PPP sebesar 2.7%, dan PAN sebesar 1.7%.

Grafik : Hasil Survey CSIS tentang Pilihan Masyarakat terhadap Partai Politik 2009

Sumber: Hasil Survey CSIS 2008

Suara PKS yang menanjak cukup tajam menurut hasil survei ini sebagian besar mengambil dari suara PAN dan PPP. Artinya, pangsa suara PKS bersinggungan langsung dengan partai Islam modernis lain seperti PAN, PPP dan PBB. Suara PKB yang akan jatuh ke PKS diprediksi kecil. Di samping karena pemilih PKB memiliki loyalitas tinggi, juga karena karakteristik sosio-religious dan demografis pemilih PKB dan PKS berbeda. Pemilih PKB rata-rata berdomisili di wilayah rural, berpendidikan rendah dan berpendapatan menengah ke bawah. Pecahab suara PKB di perkirakan lebih banyak lari ke PKNU yang memiliki latar socio-cultural yang sama.

Sementara itu potensi suara PAN diperkirakan cukup besar pindah ke PKS mengingat loyalitas pemilih PAN terhitung rendah yakni hanya 31% . Hasil survey menyatakan pada 2009 nanti sekitar 22,5% pemilih PAN pada pemilu 2004 yang akan menjatuhkan pilihan pada PKS.

Sementara itu pemilih PKS pada pemilu 2004 yang akan tetap memilih PKS pada pemilu 2009 sebesar 75,4%. Ini rekor tertinggi loyalitas pemilih. Peringkat kedua, Golkar (61%), disusul PDI-P (55,1%) PKB (48, 5%). Tingkat loyalitas pemilih partai Demokrat terhitung paling rendah (18.7%). Ini bukti bahwa pemilih partai Demokrat adalah swing voters dan fenomena sesaat.

Hasil survey LSI juga mendapatkan bahwa bila Pemilu diadakan pada bulan September 2008, ternyata masyarakat menjatuhkan pilihan kepada partai Islam sebanyak 16,6 % sementara yang lain menjatuhkan pilihan kepada partai non-Islam sebanyak 60 % sedangkan sebanyak 24,4 % menyatakan belum tahu akan emmilih partai yang mana.
















Grafik: Partai Yang akan Dipilih Bila Pemilihan Anggota DPR dilakukan Sekarang


Sumber: Survey LSI September 2008

Hasil survey LSI ini menunjukkan bahwa secara umum, Muslim, lepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya,cenderung memilih partai non-Islam. Kecenderungan sikap elektoral ini stabil atau bahkan menguat dalam empat tahun terakhir.

Mengaca pada hasil jajak pendapat tersebut, partai-partai yang berasas Islam atau berbasis massa Islam perlu mencari strategi yang matang untuk mengembangkan suara di luar suara tradisional. Dari 34 partai baru, setidaknya terdapat sembilan parpol Islam ataupun parpol yang berbasiskan ormas Islam. Dari 9 parpol tersebut bisa dikatakan mempunyai basis massa yang sama sehingga pertarungan antar parpol Islam tersebut hanya akan memperbutkan suara yang ada terutama konstituen partai islam yang terlebih dahulu mengikuti pemilu seperti PAN, PBB, PBR dan PKB


Penutup

Seperti yang disampaikan diawal tulisan ini, dinamika politik Islam di Indonesia selalu menarik dan unik untuk ditelaah dibandingkan dengan negara Islam lainnya. Secara sosiologis, masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, tetapi setiap kali Pemilu digelar mulai dari 1955 hingga 2004, parpol yang berbasiskan Islam tetap saja mendapatkan dukungan minoritas. Kondisi seperti ini diyakini masih akan terulangi pada Pemilu 2009 mendatang.

Hal ini membuktikan bahwa embel-embel agama tidak cukup ampuh dipakai untuk menarik simpati dan dukungan konstituen. Realitas menunjukkan bahwa wacana keagamaan belum bisa dijadikan entry point untuk merebut dukungan pada parpol yang bernuansa keagamaan. Tapi benarkah hasil pemilu ini merupakan sinyal yang jelas bahwa mayoritas Muslim sudah tak lagi menganggap penting simbol-simbol Islam dalam politik dan lebih peduli pada substansi?

Jika memang demikian, ini mungkin bisa dilihat dari dua arah yang saling terkait. Pertama, kaum Muslim lebih peduli untuk menjadikan Islam sebagai etika sosial, lebih mementingkan agar segala urusan kemasyarakatan—termasuk politik— dipengaruhi dan disemangati oleh nilai-nilai agama, seperti kejujuran, keadilan, dan sebagainya. Kesimpulan ini boleh ditarik, mengingat dalam lima belas tahun terakhir “Islam kultural” jelas menampakkan perkembangan yang sangat mengesankan di negeri ini. Jadi “ketidakpedulian” mereka pada “Islam politik” bukan karena mereka menganggap politik tidak penting, melainkan justeru karena meningkatnya kesadaran keagamaan mereka pada hal-hal yang jauh lebih penting daripada simbol. Kedua, berkaitan dengan itu, umat Muslim makin percaya bahwa adalah mungkin kepentingan umat Islam diperjuangkan pewujudannya oleh para politisi dari luar lingkungan “Islam politik”, atau bahkan kalangan non-Muslim.

Sepanjang tahun 2008, di antara partai-partai Islam yang cukup mengalami kemajuan berarti dilihat dari sikap elektoral pemilih adalah PKS. Tapi kemajuan PKS ini tidak mengancam suara dari partai-partai non-Islam,seperti PDIP, Golkar, dan Demokrat. Meningkatnya dukungan pada PKS disatu pihak dan dipihak lain suara partai-islam lainnya mengalami penurunan mengindikasikan bahwa kenaikan dukungan pada PKS terjadi dengan menggerogoti partai-partai Islam yang lain.

Lalu, bagaimana sesungguhnya peluang partai-partai Islam menghadapi pemilu 2009 ?

Melihat dinamika dan fakta yang ada, peluang parpol Islam maupun berbasis massa Islam tidak akan besar pada 2009. Faktor penyebabnya antara lain, konflik internal yang masih melanda sebagian partai Islam serta masih kurang responsifnya partai islam terhadap kondisi masyarakat yang diperparah oleh ideologi partai yang ekslusif. Faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah kepemimpinan yang sentralistik, memiliki ego yang tinggi sehingga susah untuk menyatukan berbagagai kepentingan menjadi isu utama dalam memperjuangkan nilai-nilai Islami

Bila partai Islam ingin mepertahankan suara pemilihnya atau bahkan meningkatkan pemilihnya meminjam istilah Burhanuddin Muhtadi dibutuhkan pembenahan yang menyeluruh baik intra ataupun ekstra antara lain;

Pertama, Parpol Islam harus segera melakukan rekontruksi dan penataan mendasar agar posisinya pada 2009 meningkat dan membaik.

Kedua, partai-partai Islam harus mempersiapkan kader-kadernya yang berkualitas untuk menyuplai penyelenggara negara yang dapat memberikan solusi dan menyelesaikan persoalan kebangsaan yang multidimensi disegala bidang.

Ketiga, parpol Islam hendaknya responsif terhadap kondisi yang terjadi di masyarakat dengan menjalankan program yang dapat menyelesaikan masalah riil masyarakat, antara lain masalah tenaga kerja/pengangguran, kemiskinan dan pendidikan. Parpol Islam harus merevitalisasi politik yang simbolik menjadi politik yang substantif, dalam arti menjabarkan secara jelas visi dan misi keislaman ke dalam program dan kerja politik yang relevan di masa kini.

Keempat, partai Islam harus lebih mengedepankan kepentingan jangka panjang daripada jangka pendek partai. Kepentingan jangka panjang dalam arti tidak terjebak pada kekuasaan. Karena kekuasaan akan menjadikan partai-partai Islam melupakan tujuan jangka panjangnya.

Kelima, Kalau target elektoralnya adalah menjadi partai terbesar, maka partai Islam harus keluar dari captive market-nya dengan merambah konstituen baru yang selama ini bernaung di rumah-rumah partai nasionalis. Partai Islam harus mengekplorasi dan menawarkan program-program untuk kesejahteraan rakyat yang lebih terukur, dan tidak lagi mengandalkan retorika yang menguatkan sentimen keagamaan. Bila tidak maka partai Islam hanya akan saling memakan (kanibalisasi) satu sama lain

Koalisi untuk Pemerintahan yang Kuat

Harian Jurnal Nasional Kamis 11 September 2008

Hakikat koalisi sendiri adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri (autonomuos), dan tahan lama (durable).

Benni Inayatullah

Wacana koalisi partai politik di Indonesia kembali menghangat seiring berhembusnya rencana koalisi antara Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Bila wacana ini benar-benar bisa dilaksanakan maka akan menjadi angin segar bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

Banyaknya partai yang akan bertarung pada pemilu 2009 nanti memang menggiring partai politik untuk berkoalisi agar bisa mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. Terutama bila Undang-Undang Pemilihan Presiden yang sedang dibahas saat ini memutuskan persyaratan yang tinggi bagi partai untuk bisa mencalonkan misalnya 30 persen, maka bisa dipastikan tak ada satupun parpol yang mampu mengajukan calon secara sendiri.

Pemerintahan yang Kuat


Dalam sistem pemerintahan presidensil yang multipartai, koalisi adalah suatu keniscayaan untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Hakikat koalisi sendiri adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri (autonomuos), dan tahan lama (durable). Pemerintahan yang kuat bisa diartikan pemerintah yang mampu menciptakan dan mengimplementasikan kebijakannya tanpa khawatir mendapat penolakan atau perlawanan di parlemen. Pemerintahan yang mandiri adalah pemerintah yang mampu mengimplementasikan program dan kebijakan yang populer ataupun yang tidak populer tanpa harus didikte koalisi pendukungnya. Sedangkan pemerintah yang tahan lama adalah pemerintahan yang mampu mempertahankan kekuasannya dalam periode tertentu (5 tahun) tanpa harus khawatir diturunkan oleh elit tandingannya dengan seenak hati.

Dalam sejarah politik Indonesia, koalisi yang seperti ini boleh dikatakan belum pernah terjadi. Sejak demokrasi liberal tahun 1950-an, koalisi yang terbentuk adalah koalisi yang rapuh dan cair sehingga kabinet yang terbentuk jatuh bangun. Koalisi Kebangsaan yang mengusung Mega-Hasyim pada Pemilihan Presiden 2004 yang digawangi PDIP dan Golkar juga bubar di tengah jalan menyusul kepindahan Golkar dari koalisi Kebangsaan menjadi partai pendukung SBY-JK yang diusung koalisi Kerakyatan.

Sebagai koalisi yang berhasil mengantarkan SBY-JK menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2004-2009, koalisi kerakayatan juga bukanlah koalisi dalam gambaran yang ideal. Kasus terakhir yang membuktikan ini adalah lolosnya hak angket BBM dimana yang ikut mengajukan adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang merupakan pendukung koalisi Kerakyatan. Rapuhnya koalisi yang terbentuk ini tentu saja tidak akan mampu melahirkan pemerintahan yang kuat dan tegas. Setiap program dan kebijakan yang diusulkan presiden harus mempertimbangkan kepentingan partai anggota koalisinya. Bila tidak, maka koalisi yang rapuh itu bisa saja bubar di tengah jalan dan berbalik menjadi lawan pemerintah. Situasi seperti inilah yang mungkin menyebabkan presiden SBY terlihat sering ragu-ragu dan kurang tegas.

Koalisi Permanen

Untuk membentuk pemerintahan yang kuat, mandiri dan tahan lama, maka koalisi yang harus dibentuk adalah koalisi yang permanen. Yaitu koalisi yang terbentuk dari adanya nilai-nilai bersama, tujuan politik yang sama dengan adanya konsensus dan kontrak politik untuk mepertahankan koalisi. Bukanlah koalisi pragmatis yang hanya berdasarkan kepentingan sesaat untuk merebut kekuasaan.

Koalisi permanen ini memang tidak bisa dibentuk dengan sembarangan. Mengacu pada teori Arend Lijphart, setidaknya terdapat empat teori koalisi yang bisa diterapkan di Indonesia. Pertama, minimal winning coalition dimana prinsip dasarnya adalah maksimalisasi kekuasaan. Dengan cara sebanyak mungkin memperoleh kursi di kabinet dan mengabaikan partai yang tidak perlu untuk diajak berkoalisi. Kedua, minimum size coalition, dimana partai dengan suara terbanyak akan mencari partai yang lebih kecil untuk sekadar mencapai suara mayoritas. Ketiga, bargaining proposition, yakni koalisi dengan jumlah partai paling sedikit untuk memudahkan proses negosiasi. Keempat, minimal range coalition, dimana dasar dari koalisi ini adalah kedekatan pada kecenderungan ideologis untuk memudahkan partai-partai dalam berkoalisi dan membentuk kabinet.

Dalam praktik, koalisi kerakyatan yang mengusung SBY-JK pada Pilpres 2004 tidak memenuhi teori di atas. Sehingga dalam perjalanan pemerintahan tidaklah mengherankan bila koalisi yang terbentuk tidak memenuhi hakikat koalisi (strong, autonomuos, durable). Presiden kita, SBY berasal dari partai kecil dan gabungan partai kecil (Demokrat, PBB, PKPI, PKS dan belakangan Golkar). Meskipun dipilih langsung oleh rakyat, pemerintahan SBY masih harus menghadapi kekuatan oposisi PDIP yang kekuatannya masih berimbang. Sehingga pemerintahan yang terbentuk tidak terlalu kuat, kemandirian pemerintahan juga masih diragukan karena sering didikte oleh koalisi sehingga terkesan presiden SBY terlalu berhati-hati dalam membuat kebijakan dan mengambil keputusan. Bahkan untuk mempertahankan pemerintahan pun SBY harus cermat dalam menjalankan roda pemerintahan bila tidak ingin dilengserkan oleh lawan-lawan politiknya.

Cerita koalisi seperti itu tentu tidak akan terjadi bila parpol di Indonesia menciptakan koalisi permanen yang berdasarkan teori yang jelas. Koalisi yang mudah memang berawal dari kesamaan ideologi. Namun kesamaan ideologi juga harus disertai oleh adanya nilai-nilai bersama dan tujuan politik yang sama untuk diperjuangkan. Nilai bersama dan tujuan yang sama itulah yang akan menimbulkan saling percaya (trust) yang akan menjadi perekat bagi anggota koalisi untuk menciptakan pemerintahan yang tahan lama (durable).

Merujuk kepada wacana koalisi Golkar-PDIP saat ini, secara teori koalisi ini bisa terbentuk karena kedua partai ini adalah partai terbesar sehingga mudah mencapai suara mayoritas (minimal winning coalition), koalisi dengan jumlah partai yang sedikit (minimum size coalition), dan ideologi yang hampir sama (minimal range coalition). Pertanyaan selanjutnya apakah kedua partai ini mempunyai nilai-nilai bersama dan tujuan politik yang sama untuk diperjuangkan? Bila tidak tentu saja koalisi ini hanyalah koalisi pragmatis yang hanya bertujuan untuk merebut kekuasaan namun mengabaikan hakikat koalisi. Sepertinya syarat terakhir itu belum dimiliki oleh Golkar dan PDIP sehingga kemungkinan untuk berkoalisi masih tipis dan bilapun terbentuk maka koalisi tersebut tak lebih dari koalisi pragmatis yang berorientasi kekuasan ketimbang membentuk pemerintahan yang kuat dan efektif yang kita harapkan untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Analis Politik dan Perubahan Sosial The Indonesia Institute

Suara Terbanyak dan Konflik Hukum

Dimuat di Jurnal Nasional 27 Agustus 2008

Hingga saat ini sedikitnya terdapat 9 partai politik (parpol) yang akan menerapkan sistem suara terbanyak dalam menetapkan calon legislatif (caleg) 2009 nanti. Parpol itu antara lain: PAN, Golkar, Demokrat, Barnas, Hanura, PBR, PDS, PDIP dan PNBK. PDIP memakai suara terbanyak bila ada caleg yang mendapatkan suara 15 % BPP namun bila tidak ada maka kembali ke nomor urut sedangkan PNBK menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di suatu daerah pemilihan (dapil).

Dengan diterapkannya sistem suara terbanyak maka sudah terdapat dua sistem yang dipakai dalam menetapkan caleg terpilih. Pertama, tetap mengacu kepada Undang-Undang Pemilu No 10 Tahun 2008. UU Pemilu ini mengatur bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan perolehan suara calon yang mendapatkan 30 % dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di dapil tersebut. Bila tidak ada caleg yang memenuhi kuota tersebut maka, calon akan ditetapkan sesuai dengan nomor urut (sistem proporsional terbuka terbatas). Kedua, dengan menggunakan suara terbanyak dengan mengenyampingkan nomor urut ( sistem proporsional terbuka murni) seperti yang diamanatkan Undang-Undang.

Lebih Demokratis

Dipilihnya sistem suara terbanyak oleh beberapa parpol patut diberikan apresiasi karena telah menghembuskan angin segar bagi demokrasi kita. Selama ini sistem nomor urut dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan karena terpilihnya caleg berdasarkan nomor urut dan bukan berdasarkan suara yang diperolehnya. Dalam kata lain seorang caleg ditetapkan menjadi anggota legislatif adalah berasal dari kedekatannya dengan partai ketimbang kedekatan dengan masyarakat/ konstituennya. Hal ini biasanya akan menimbulkan split loyalty didalam internal partai dimana kader partai yang duduk di legislatif cenderung sangat loyal kepada pengurus parpol ketimbang pemilih yang menjadi konstituennya demi untuk mendapatkan nomor urut yang kecil dalam pemilu legislatif berikutnya.

Sebaliknya sistem yang berdasarkan suara terbanyak akan menumbuhkan kompetisi yang bagus antara caleg parpol yang berbeda maupun sesama caleg dalam satu partai. Dalam sistem ini, semua caleg mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi caleg terpilih. Terpilih atau tidaknya caleg tergantung usaha dia untuk mempopulerkan diri dan meraih simpati pemilih. Sehingga caleg yang terpilih adalah caleg yang benar-benar mempunyai kapasitas yang mumpuni dan mampu untuk menjelaskan program-programnya dengan baik ke masyarakat. Bukan caleg yang sekedar mengandalkan lobi ke petinggi parpol untuk mendapatkan nomor urut yang kecil – seringkali dalam proses ini terjadi politik uang-- padahal kapasitas dan integritasnya belum teruji ditengah masyarakat.

Melanggar UU


Mekanisme suara terbanyak memang lebih demokratis, kompetitif dan memenuhi rasa keadilan dibandingkan dengan menggunakan nomor urut namun, penerapan sistem ini melanggar Undang-Undang Pemilu sehingga menimbulkan beberapa masalah baru antara lain; pertama;. Caleg nomor urut kecil dengan suara minim bisa saja menolak mengundurkan diri untuk digantikan oleh caleg yang mendapatkan suara terbanyak (namun tidak memenuhi 30 % BPP) dengan nomor urut dibawahnya. Meskipun mekanisme internal partai sudah melakukan proses hukum melalui perjanjian tertulis dan di notariskan, namun tetap akan terjadi ketidakpastian hukum ( legal uncertainty ).
Bila itu terjadi, maka kekuatan hukum Undang-Undang lebih tinggi dari kesepakatan internal partai sehingga KPU bisa menganulir kesepakatan internal partai dengan sistem suara terbanyak itu. KPU tetap akan berpegang kepada UU Pemilu untuk menetapkan dan melantik anggota legislatif yang terpilih berdasarkan pemenuhan kuota 30 % atau kembali ke nomor urut.

Kedua; Konflik hukum akan muncul bila caleg yang mendapatkan suara terbanyak menggugat KPU/KPUD karena tidak mengindahkan mekanisme internal partai. Proses gugatan hukum ini tentu saja akan memperlambat penetapan caleg terpilih dan mengganggu kinerja KPU/KPUD. Caleg dengan suara terbanyak juga bisa melakukan gugatan wanprestasi terhadap caleg terilih yang ditetapkan KPU dengan sistem nomor urut. Proses ini akan berlangsung lama bahkan hingga batas waktu yang diperebutkan berakhir.

Ketiga; Dalam sistem suara terbanyak apabila caleg yang meraih suara terbanyak memiliki nomor urut besar maka caleg yang memiliki nomor urut kecil harus sukarela mengundurkan diri sebagai caleg terpilih dengan konsekuensi kehilangan haknya dalam PAW. Dengan kata lain suara pemilihnya akan terbuang percuma.

Memang, partai masih mempunyai mekanisme Penggantian Alih Waktu (PAW) dengan jalan memecat kader yang membangkang namun, jalan ini akan memakan waktu yang sangat panjang dan menghabiskan waktu dan energi yang tidak sedikit. Pada pemilu 2004 yang lalu konflik seperti ini mendera Partai Amanat Nasional (PAN) yang menyebabkan penetapan calon suara terbanyak terkatung-katung. Seperti kasus yang terjadi di Sumatera Barat dimana beberapa caleg yang mendapatkan suara terbanyak tidak dilantik hingga saat ini karena calon yang harus di PAW menduduki posisi ketua atau sekretaris partai. Padahal yang harus menandatangai proses PAW adalah ketua dan sekretaris parpol tersebut dan tentu saja mereka tidak rela di PAW atau paling tidak memperlambat proses PAW hingga batas waktu perebutan kursi berakhir.

Bagaimanapun juga sistem suara terbanyak sangat sesuai dengan semangat demokrasi. Oleh karena itu, untuk menghindari rumitnya konflik suara terbanyak ini dikemudian hari maka parpol, DPR dan pemerintah harus segera mengambil langkah antisipatif dengan melakukan amandemen terbatas UU Pemilu. Proses amandemen ini bila disepakati tidak akan menghabiskan waktu yang panjang karena hanya menyangkut pasal 214 antara lain dengan menambahkan klausul untuk mengakomodir mekanisme internal partai dalam menentukan caleg terpilih. Bila ini tidak dilakukan maka KPU/KPUD, parpol akan disibukkan oleh gugatan hukum caleg yang terjadi di seantero Indonesia.