Kontroversi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN)

Bagaimanapun juga pembangunan sebuah PLTN disatu negara
bukanlah soal pemenuhan kebutuhan energi listrik semata tapi juga
sebuah keputusan yang menyangkut kehidupan. Dan oleh karena itu
harus diputuskan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat.

Dunia saat ini memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap kesediaan energi. Menipisnya cadangan bahan bakar fosil, fenomena pemanasan global serta kerusakan lingkungan akibat proses produksi dan pemanfaatan energi konvensional memaksa dunia untuk mencari energi alternatif yang menjamin ketersediaan energi dan aman terhadap lingkungan.

Menurut perkiraan, kebutuhan energi listrik tahun 2025 mencapai 100.000 megawatt (MW), sedangkan saat ini tersedia hanya 30.000 MW. Untuk menjamin ketersediaan energi listrik dimasa mendatang pemerintah berketetapan mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir atau PLTN pada jaringan listrik Jawa, Madura, dan Bali paling lambat tahun 2016.

Bagi Indonesia, nuklir sebagai sumber energi terbarukan, memang layak diperhitungkan sebagai pembangkit listrik karena pemanfaatan sumber daya energi yang ada saat ini, seperti air dan minyak bumi, ketersediaannya sangat terbatas.

Namun sejalan dengan itu masih terjadi pro dan kontra terhadap penggunaan energi yang bersumber dari nuklir. Aktivis lingkungan Green peace termasuk pihak yang memaksa Indonesia untuk membatalkan rencana pembangunan PLTN ini, ribuan masyarakat Kudus dan jepara juga menolak Pembangkit Listrik bertenaga Nuklir dibangun di daerah mereka.

Laporan Akhir Penelitian LPM Unibraw juga menyatakan bahwa 63, 83% masyarakat Madura menjawab tidak mungkin PLTN dibangun di Madura, 13,33% menjawab tidak tahu, dan 20, 83% menjawab mungkin (hal ini belum tentu mereka setuju terhadap pembangunan PLTN).

Kekhawatiran masyarakat terhadap PLTN bukanlah tanpa alasan, telah terjadi beberapa kecelakaan dalam sekala kecil maupun besar. Pada tanggal 28 Maret 1979, telah terjadi kecelakaan yang relatif kecil di Three Mile Island (AS) hingga Tragedi Chernobyl di Ukraina tahun 1986 yang menimbulkan ribuan korban jiwa sehingga memberikan gambaran yang cukup buruk bagi industri nuklir.

Meskipun begitu dalam kenyataan untuk masa mendatang tenaga nuklir masih menjadi salah satu alternatif dari sekian banyak alternatif energi terbarukan seperti tenaga angin, gelombang laut, pasang surut, cahaya matahari, panas bumi yang tersedia melimpah bahkan gratis. Oleh karena itu pemerintah musti memberikan pemahaman dan jawaban terhadap kekhawatiran dan pertanyaan masyarakat terhadap pilihan teknologi ini, antara lain;

Pertama faktor ekonomi; Secara umum, PLTN dapat digolongkan sebagai investasi dengan modal tinggi dan perlu dikaitkan dengan kemampuan keuangan dalam negeri. Harga untuk satu reaktor milik General Electrict mencapai 12 Trilyun rupiah. Reaktor ini dapat befungsi sampai 30 tahun namun dalam kenyataannya reaktor di AS sudah tutup sebelum 20 tahun. Sesudah 12 tahun, efisiensinya menurun karena biaya operasional dan perbaikan meningkat, sementara risiko kecelakaan bertambah. Semakin tua umur suatu reaktor maka biaya operasional dan pengamanan akan semakin tinggi. Diperkirakan pengelolaan akan semakin tinggi setelah sekitar 7 tahun. Pada saat itu pengelolaan beralih ke tangan pihak Indonesia. Itu berarti biaya operasional, perawatan, dan pengolahan limbah radioaktif akan semakin melangit. Sementara itu cadangan uranium Indonesia diperkirakan hanya cukup untuk 11 tahun, selain teknologi hal ini tentu akan menambah ketergantungan terhadap negara lain. Dengan kata lain, negara pemilik teknologi lebih diuntungkan dalam proyek ini.

Kedua; faktor pencemaran lingkungan, kesehatan dan keamanan. Kekhawatiran masyarakat sangat tinggi terhadap radiasi akibat kebocoran dan limbah nuklir. Limbah nuklir yang memiliki konsentrasi radiasi tinggi membutuhkan penanganan khusus karena umur radiasi limbah ini membahayakan manusia dan lingkungan hingga ratusan tahun. Disamping itu kesiapan sumber daya manusia Indonesia juga masih dipertanyakan karena untuk menjadi operator dari sebuah reaktor nuklir ini dibutuhkan pendidikan khusus yang memakan waktu hingga 10 tahun.

Kekhawatiran-kekhawatiran inilah yang musti dijawab pemerintah sesegera mungkin yang menerangkan alasan pemilihan teknologi ini dibanding dengan energi alternatif lainnya yang bisa didapatkan di Indonesia secara lebih murah dan aman. Kajian bersifat rinci dan menyeluruh ini menjadi penting karena kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah menjadi faktor utama kelangsungan program ini. Kegagalan pemerintah dalam menjamin hak dan kepentingan masyarakat dalam kasus Lapindo, Meruya dan Pasuruan misalnya menjadi faktor pemicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Pada akhirnya, jaminan pemerintah bahwa program PLTN ini tidak akan merugikan lingkungan dan masyarakat adalah suatu keniscayaan.

.