Menyoal Angka Kemiskinan

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam konferensi pers 2 Juli 2007 di Jakarta mengumumkan keberhasilan pemerintah menurunkan tingkat kemiskinan penduduk. Dalam jumpa pers tersebut deputi bidang Statistik Sosial BPS, Arizal Ahnaf menyatakan jumlah penduduk miskin pada bulan Maret tahun ini mencapai 37, 17 juta. Angka ini lebih kecil dibanding bulan Maret tahun lalu yang masih mencapai 39,30 juta. Terjadi penurunan sebanyak 2,13 juta jiwa atau sebesar 16,58% dari jumlah penduduk Indonesia.

Berkurangnya jumlah penduduk miskin ini menurut laporan BPS disebabkan oleh kenaikan pendapatan penduduk yang lebih tinggi dari kenaikan barang. Salah satu indikatornya, dalam setahun terakhir nilai tukar petani naik sekitar 9 persen. BPS juga mengaitkan berkurangnya jumlah penduduk miskin ini dengan keberhasilan program pengentasan kemiskinan melalui program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Menurut BPS, banyak warga miskin yang berhasil memanfaatkan peluang usaha dari uang kompensasi kenaikan harga BBM itu.

Meskipun demikian, laporan BPS ini mendapat sorotan tajam berbagai pihak. Tanggapan paling keras datang dari ekonom yang tergabung dalam Tim Indonesia Bangkit (TIB) yang meragukan kebenaran laporan BPS. Para ekonom tersebut menilai jumlah penduduk miskin tidak mungkin berkurang karena daya beli masyarakat terus menurun ditambah program BLT yang sudah berakhir.

Menurut ekonom TIB, Hendri Saparini, saat ini daya beli rakyat kecil terus merosot, karena kenaikan pendapatan yang diterima lebih rendah daripada kenaikan harga barang dan jasa untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Salah satu indikator untuk mengukurnya adalah upah riil (upah nominal yang telah disesuaikan dengan inflasi). Meskipun inflasi yang dicatat BPS selama setahun terakhir antara 6-7 persen, upah riil yang diperoleh masyarakat masih terus mengalami penurunan. Untuk kelompok buruh tani, misalnya, antara Maret 2006 sampai Maret 2007, upah riil mengalami penurunan sekitar 0,2 persen. Pada periode yang sama, upah riil buruh bangunan, pembantu rumah tangga, dan potong rambut wanita masing-masing mengalami penurunan 2 persen, 0,5 persen, dan 2,5 persen. Demikian juga dengan upah riil buruh industri yang mengalami penurunan sekitar 1,2 persen selama tahun lalu.

Nilai tambah yang diciptakan melalui pertumbuhan ekonomi sekitar 5,5 persen hanya dinikmati oleh kelompok kelas menengah ke atas sehingga semakin memperbesar kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Hal ini sesuai dengan hasil survey yang dilakukan oleh lembaga jasa finansial Capgimini bekerjasama dengan Merrill Lynch yang mencatat peningkatan jumlah anggota klub jutawan dunia dengan kekayaan lebih dari US$ 1 juta yang bermunculan dari Indonesia, Singapura, India dan Rusia


Perdebatan tentang keabsahan laporan BPS ini terutama didasari tidak adanya penjelasan yang memuaskan dari BPS tentang penyebab turunnya angka kemiskinan Indonesia. Terutama soal transparansi dan argumentasi rasional-ekonomi yang lebih rinci. BPS tidak menjelaskan secara detil komponen konsumsi yang naik serta tidak menerangkan karakter masyarakat mana yang berhasil dientaskan dari kemiskinan.

Penduduk miskin dalam kategori BPS adalah mereka yang pengeluaran perbulannya dibawah Rp 166.697 perbulan, lebih tinggi dari garis kemiskinan tahun lalu Rp. 151.997 namun justru terjadi penurunan jumlah masyarakat miskin. Padahal dalam realita kenaikan harga-harga yang ditunjukkan dengan laju inflasi jelas menggerus daya beli masyarakat. Di saat harga-harga barang tinggi, angka yang ditetapkan BPS tersebut jauh dari kenyataan objektif.

Oleh karena itu BPS seharusnya merilis data penurunan kemiskinan ini lebih detil untuk meredam rasa tidak percaya pelaku ekonomi dan masyarakat terhadap laporan BPS. Kecurigaan masyarakat terhadap keabsahan laporan ini diperkuat dengan adanya dugaan intervensi pemerintah lewat Perpres No. 11/2005. Keberadaan Perpres ini memungkinkan adanya campur tangan pemerintah terhadap hasil analisa dan data BPS yang akan diumumkan ke publik.

Jika benar adanya maka ketidak akuratan data dikhawatirkan akan menimbulkan kesalahan dalam penanganan ekonomi Indonesia. Independensi BPS mutlak diperlukan karena tidak ada lembaga serupa yang bisa dijadikan pembanding. Oleh karena itu keberadaan Perpres No 11/2005 ini sebaiknya ditinjau ulang.