Seleksi KPU itu

Proses pemilihan anggota KPU 2007 – 2012 diwarnai banyak persoalan. Sejak proses seleksi hingga pelantikan, disertai pro dan kontra yang bersifat substansial. Persoalan demi pesoalan yang menyertai pembentukan komisi yang mempunyai peranan vital dalam penegakan demokrasi di Indonesia ini, menimbulkan pertanyaan tentang kredibiltas lembaga ini dikemudian hari.

Persoalan yang paling menonjol adalah rendahnya kepercayaan publik terhadap proses pemilihan komisi nasional ini yang ditandai oleh perdebatan dan berita tiada henti, sejak tim mengumumkan 45 bakal calon anggota KPU yang dinyatakan lolos tes tertulis dan rekam jejak dari sebanyak 260 peserta pada 31 Juli 2007.

Bahkan jauh sebelum itu, banyak kalangan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) akademisi dan profesional mempertanyakan proses seleksi yang bukan dilakukan oleh ahlinya dan belum pernah terlibat dalam penyelenggaraan, pengawas ataupun pemantau pemilu bahkan tidak satupun dari tim seleksi yang berlatar belakang keilmuan bidang politik.

Kekhawatiran publik semakin bertambah ketika mekanisme seleksi dipandang bermasalah terutama dalam tes psikologi untuk mengukur kompetensi dan kesetiaan. Pemilihan materi tes psikologi dikerjakan oleh lembaga tes psikologi yang tidak jelas. Indra J Piliang, peserta seleksi yang tidak lolos dan merasa dilangkahi hak-hak politiknya telah melakukan tuntutan secara hukum terhadap panitia tim seleksi pada tanggal 23 Agustus 2007. Hal ini juga diikuti oleh Dasman Djamaluddin dan Hasannudin, yang mendaftarkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), pada tanggal 30 Oktober 2007..

Dari 7 orang anggota KPU yang terpilih dari fit dan proper test yang dilakukan DPR RI, salah satu anggota terpilih ternyata tersangkut masalah hukum dimana yang bersangkutan sudah ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi. Sehingga pelantikan yang dilakukan presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 23 Oktober 2007 di istana negara terhadap 6 orang anggota KPU boleh dikatakan cacat hukum karena UU No 22/2007 mengharuskan melantik 7 orang anggota KPU. Namun pemerintah bisa berkelit karena presiden sudah menerima surat dari Syamsul Bahri yang isinya menyatakan permintaan yang bersangkutan tidak usah dilantik dahulu karena kasusnya sudah naik kepengadilan.

Dalam kasus Syamsul Bahri, yang telah ditetapkan sebagai tersangka namun tetap diloloskan ini menimbulkan kecurigaan, proses seleksi anggota KPU kali ini sarat dengan kepentingan partai politik (parpol). Karena sejak awal status tersangka ini sudah diketahui namun DPR tetap meloloskan bahkan dengan memperoleh banyak suara dan skor penilaian yang tinggi. Kalau memang Parpol bermain dibelakang proses seleksi ini maka wajarlah kredibilitas dan kemampuan anggota terpilih diragukan oleh masyarakat. Terlebih calon-calon yang bepengalaman dan sangat memahami UU Pemilu, Parpol dan demokrasi berguguran sejak awal proses seleksi.

Inti persoalan sesungguhnya bukanlah terletak kepada personal anggota KPU terpilih, melainkan mekanisme dan sistem yang menjaring anggota KPU ternyata meloloskan seorang tersangka kasus korupsi. Hal ini menandakan mekanisme dan sistem yang dibuat tim seleksi KPU itu miskin validitas dan reliabilitas akademis, bahkan menonjolkan nepotisme, sehingga menghasilkan output yang mengundang polemik.

Hemat kita, tugas KPU sangat kompleks dan berat tantangannya ke depan. Selain akan mengelola dana triliunan rupiah, sekalipun diurus oleh Sekretariat Jenderal, KPU merupakan organisasi yang bersifat tetap, nasional dan mandiri. Siapa pun yang hendak menjadi presiden, wakil presiden, kepala daerah, anggota DPR/DPRD atau DPD, akan sangat tergantung pada keputusan-keputusan yang diambil oleh KPU. Penyelesaian masalah penyelenggaraan pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Maluku Utara tahun 2007 misalnya akan menjadi ajang pembuktian bagi KPU apakah mereka mampu atau tidak menjalankan tugas yang sangat berat ini.

Bagaimanapun juga masyarakat tidak bisa menolak anggota KPU yang telah dilantik. Masyarakat, akademisi, LSM harus lebih awas dalam pemilihan anggota KPU periode berikutnya dengan mencermati dan mengawasi proses rekrutmen termasuk pelaksanaan fit and proper test di DPR.