Koalisi untuk Pemerintahan yang Kuat

Harian Jurnal Nasional Kamis 11 September 2008

Hakikat koalisi sendiri adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri (autonomuos), dan tahan lama (durable).

Benni Inayatullah

Wacana koalisi partai politik di Indonesia kembali menghangat seiring berhembusnya rencana koalisi antara Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Bila wacana ini benar-benar bisa dilaksanakan maka akan menjadi angin segar bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

Banyaknya partai yang akan bertarung pada pemilu 2009 nanti memang menggiring partai politik untuk berkoalisi agar bisa mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. Terutama bila Undang-Undang Pemilihan Presiden yang sedang dibahas saat ini memutuskan persyaratan yang tinggi bagi partai untuk bisa mencalonkan misalnya 30 persen, maka bisa dipastikan tak ada satupun parpol yang mampu mengajukan calon secara sendiri.

Pemerintahan yang Kuat


Dalam sistem pemerintahan presidensil yang multipartai, koalisi adalah suatu keniscayaan untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Hakikat koalisi sendiri adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri (autonomuos), dan tahan lama (durable). Pemerintahan yang kuat bisa diartikan pemerintah yang mampu menciptakan dan mengimplementasikan kebijakannya tanpa khawatir mendapat penolakan atau perlawanan di parlemen. Pemerintahan yang mandiri adalah pemerintah yang mampu mengimplementasikan program dan kebijakan yang populer ataupun yang tidak populer tanpa harus didikte koalisi pendukungnya. Sedangkan pemerintah yang tahan lama adalah pemerintahan yang mampu mempertahankan kekuasannya dalam periode tertentu (5 tahun) tanpa harus khawatir diturunkan oleh elit tandingannya dengan seenak hati.

Dalam sejarah politik Indonesia, koalisi yang seperti ini boleh dikatakan belum pernah terjadi. Sejak demokrasi liberal tahun 1950-an, koalisi yang terbentuk adalah koalisi yang rapuh dan cair sehingga kabinet yang terbentuk jatuh bangun. Koalisi Kebangsaan yang mengusung Mega-Hasyim pada Pemilihan Presiden 2004 yang digawangi PDIP dan Golkar juga bubar di tengah jalan menyusul kepindahan Golkar dari koalisi Kebangsaan menjadi partai pendukung SBY-JK yang diusung koalisi Kerakyatan.

Sebagai koalisi yang berhasil mengantarkan SBY-JK menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2004-2009, koalisi kerakayatan juga bukanlah koalisi dalam gambaran yang ideal. Kasus terakhir yang membuktikan ini adalah lolosnya hak angket BBM dimana yang ikut mengajukan adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang merupakan pendukung koalisi Kerakyatan. Rapuhnya koalisi yang terbentuk ini tentu saja tidak akan mampu melahirkan pemerintahan yang kuat dan tegas. Setiap program dan kebijakan yang diusulkan presiden harus mempertimbangkan kepentingan partai anggota koalisinya. Bila tidak, maka koalisi yang rapuh itu bisa saja bubar di tengah jalan dan berbalik menjadi lawan pemerintah. Situasi seperti inilah yang mungkin menyebabkan presiden SBY terlihat sering ragu-ragu dan kurang tegas.

Koalisi Permanen

Untuk membentuk pemerintahan yang kuat, mandiri dan tahan lama, maka koalisi yang harus dibentuk adalah koalisi yang permanen. Yaitu koalisi yang terbentuk dari adanya nilai-nilai bersama, tujuan politik yang sama dengan adanya konsensus dan kontrak politik untuk mepertahankan koalisi. Bukanlah koalisi pragmatis yang hanya berdasarkan kepentingan sesaat untuk merebut kekuasaan.

Koalisi permanen ini memang tidak bisa dibentuk dengan sembarangan. Mengacu pada teori Arend Lijphart, setidaknya terdapat empat teori koalisi yang bisa diterapkan di Indonesia. Pertama, minimal winning coalition dimana prinsip dasarnya adalah maksimalisasi kekuasaan. Dengan cara sebanyak mungkin memperoleh kursi di kabinet dan mengabaikan partai yang tidak perlu untuk diajak berkoalisi. Kedua, minimum size coalition, dimana partai dengan suara terbanyak akan mencari partai yang lebih kecil untuk sekadar mencapai suara mayoritas. Ketiga, bargaining proposition, yakni koalisi dengan jumlah partai paling sedikit untuk memudahkan proses negosiasi. Keempat, minimal range coalition, dimana dasar dari koalisi ini adalah kedekatan pada kecenderungan ideologis untuk memudahkan partai-partai dalam berkoalisi dan membentuk kabinet.

Dalam praktik, koalisi kerakyatan yang mengusung SBY-JK pada Pilpres 2004 tidak memenuhi teori di atas. Sehingga dalam perjalanan pemerintahan tidaklah mengherankan bila koalisi yang terbentuk tidak memenuhi hakikat koalisi (strong, autonomuos, durable). Presiden kita, SBY berasal dari partai kecil dan gabungan partai kecil (Demokrat, PBB, PKPI, PKS dan belakangan Golkar). Meskipun dipilih langsung oleh rakyat, pemerintahan SBY masih harus menghadapi kekuatan oposisi PDIP yang kekuatannya masih berimbang. Sehingga pemerintahan yang terbentuk tidak terlalu kuat, kemandirian pemerintahan juga masih diragukan karena sering didikte oleh koalisi sehingga terkesan presiden SBY terlalu berhati-hati dalam membuat kebijakan dan mengambil keputusan. Bahkan untuk mempertahankan pemerintahan pun SBY harus cermat dalam menjalankan roda pemerintahan bila tidak ingin dilengserkan oleh lawan-lawan politiknya.

Cerita koalisi seperti itu tentu tidak akan terjadi bila parpol di Indonesia menciptakan koalisi permanen yang berdasarkan teori yang jelas. Koalisi yang mudah memang berawal dari kesamaan ideologi. Namun kesamaan ideologi juga harus disertai oleh adanya nilai-nilai bersama dan tujuan politik yang sama untuk diperjuangkan. Nilai bersama dan tujuan yang sama itulah yang akan menimbulkan saling percaya (trust) yang akan menjadi perekat bagi anggota koalisi untuk menciptakan pemerintahan yang tahan lama (durable).

Merujuk kepada wacana koalisi Golkar-PDIP saat ini, secara teori koalisi ini bisa terbentuk karena kedua partai ini adalah partai terbesar sehingga mudah mencapai suara mayoritas (minimal winning coalition), koalisi dengan jumlah partai yang sedikit (minimum size coalition), dan ideologi yang hampir sama (minimal range coalition). Pertanyaan selanjutnya apakah kedua partai ini mempunyai nilai-nilai bersama dan tujuan politik yang sama untuk diperjuangkan? Bila tidak tentu saja koalisi ini hanyalah koalisi pragmatis yang hanya bertujuan untuk merebut kekuasaan namun mengabaikan hakikat koalisi. Sepertinya syarat terakhir itu belum dimiliki oleh Golkar dan PDIP sehingga kemungkinan untuk berkoalisi masih tipis dan bilapun terbentuk maka koalisi tersebut tak lebih dari koalisi pragmatis yang berorientasi kekuasan ketimbang membentuk pemerintahan yang kuat dan efektif yang kita harapkan untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Analis Politik dan Perubahan Sosial The Indonesia Institute