Politik Pengampunan.


Sepertinya keberuntungan selalu mengikuti kehidupan soeharto. Setidaknya bisa terlihat ketika setelah penjajahan jepang pangkatnya yang sersan langsung naik menjadi letnan colonel, kemudian ketika G/30/S meletus Soeharto adalah pihak yang paling diuntungkan yang akhirnya membawa Ia berkuasa di republic ini selama 32 tahun. Dan sekarang setelah soeharto tidak lagi berkuasa Ia masih di liputi keberuntungan karena petinggi bangsa ini terlihat melindunginya dari kejahatan korupsi maupun kemanusiaan yang terjadi selama Ia berkuasa.

Tidak ada peristiwa politik yang paling fenomenal yang lebih menarik, lebih kontroversial dan menyedot energi bangsa selain pro kontra kasus soeharto saat ini. Memburuknya kondisi kesehatan Soeharto menghasilkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) dari Jaksa Agung Abdurahman Saleh yang diperkuat oleh keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menghentikan pengadilan Soeharto sampai Ia sembuh. Keluarnya surat ini semakin menegaskan kearah mana kasus Soeharto ini akan dibawa.

Pengadilan Sinetron

Sesungguhnya polemik pengadilan Soeharto ini bermula sejak Ia lengser dari kursi presiden 8 tahun lalu. Kasus ini menggantung begitu saja tanpa ada arah yang jelas dalam penyelesaiannya. Tidak ada keputusan yang tegas dari presiden yang menggantikannya mulai dari BJ Habibie, Gusdur, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Ketidak tegasan pemimpin bangsa ini mungkin disebabkan karena kasus Soeharto ini begitu kotroversial dan berbahaya bagi pemerintahan mereka, ketika keputusan yang diambil tidak bisa memuaskan semua pihak yang pada akhirnya menimbulkan perpecahan dalam masyarakat yang berujung kepada ke tidak stabilan politik.

Kecemasan inilah yang ketika dicermati menjadi sebab utama mengapa pengadilan ini terkesan seperti skenario yang telah diatur sedemikian rupa agar masalah ini terus menggantung. Selalu ada dualisme sikap yang ditunjukkan pemerintah. Keputusan SBY untuk mengendapkan sementara kasus ini setelah ada keputusan dari jaksa agung sebelumnya yang menyatakan pengadilan dihentikan. Padahal kalau kita cermati kasus yang dituduhkan pada Soeharto barulah kasus korupsi di 7 (tujuh) yayasan yang beliau kelola. Kasus tersebut belumlah menyentuh kejahatan kemanusiaan / HAM serta korupsi yang lebih besar ketika ia masih berkuasa.

Ketidak tegasan sikap pemerintah memang tidak bisa dilepaskan dari unsur politik. Soeharto adalah penguasa yang berkuasa 32 tahun di republik ini. Selama berkuasa Soeharto telah membangun “kerajaan”nya sendiri yang diperkuat dengan menempatkan orang orang terdekatnya menduduki posisi strategis dalam pemerintahan hingga saat ini.

Orang orang soeharto itulah yang tersebar dalam jajaran pemerintahan menyiapkan skenario pembebasan Soeharto atas nama hukum. Skenario yang bisa kita perkirakan akan menjadi happy ending bagi Soeharto ketika “sakit” menjadi fakor kunci bagi dia dan kroni-kroninya mempermainkan hukum dengan memanfaatkan celah celah yang ada.

Tanggung jawab moral

Soeharto sungguh beruntung, setidaknya jika dibandingkan dengan koruptor lainnya. Jika dicermati sepertinya memang tidak ada lagi produk hukum yang dapat menjerat mantan penguasa orde baru ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diharapkan bisa mengambil alih kasus korupsi soeharto juga tidak dapat berbuat apa apa karena kasus ini sudah dalam proses pemeriksaaan pengadilan.

Begitu juga dengan wacana pengadilan in absentia merujuk ke pasal 38 UU Tipikor tidak dapat dilakukan mengingat pengadilan ini hanya bisa dilakukan jika terdakwa tidak hadir sebagai bentuk pembangkangan terhadap peradilan seperti apabila terdakwa melarikan diri, menyembunyikan diri atau berada di suatu tempat yang tidak dapat dijangkau.

Kondisi yang demikian seakan menjadi pembenaran bagi sebagian kalangan yang ber opini termasuk pemerintah agar Soeharto dimaafkan saja demi hukum dan menghingat jasa jasanya terhadap bangsa ini. Namun satu hal yang perlu diperhatikan siapa yang memiliki kewenangan untuk memafkan soeharto ?

Sesungguhnya kasus soeharto ini tidak menyangkut masalah politik dan hukum saja namun juga meliputi masalah moral. Betapa pelanggaran HAM begitu kentara semasa orde baru. Sebutlah pembunuhan ratusan ribu rakyat yang terlibat maupun yang tidak dalam G/30/S tanpa melalui pengadilan terlebih dahulu. Begitu juga bentrokan dengan Islam di tanjung priok, lampung penembakan misterius (petrus) dan banyak lagi kasus lainnya.

Dosa orde baru yang dipimpin soeharto tersebut tidak lah serta merta bisa dimaafkan begitu saja oleh pemerintah karena ini menyangkut tanggung jawab moral soeharto terhadap korban2 penindasan serta keluarganya. Sementara itu pemerintah walaupun punya kuasa politik namun tidaklah memiliki kewenangan secara moral untuk memaafkan Soeharto.

Mahkamah rakyat

Kecenderungan pemerintah dan perangkat pengadilan yang menghendaki dibebaskannya Soeharto dari jeratan hukum sesungguhnya menjadi preseden buruk bagi bangsa ini kedepannya. Tidak berdayanya hukum menyentuh symbol KKN di Indonesia itu akan berakibat buruk bagi pemberantasan KKN saat ini dan masa akan datang.

Terlepas dari apakah preseden ini merupakan keberuntungan yang senantiasa menaungi Soeharto atau bukan, pengadilan musti tetap dijalankan. Ketika perangkat hukum legal sudah tidak bisa diharapkan lagi maka pengadilan rakyat adalah satu2 nya jalan yang tersisa untuk menunjukkan bahwa kebenaran tidak boleh kalah. Pengadilan rakyat ini bukanlah pengadilan jalanan (street justice) seperti yang terjadi di Rumania. Namun pengadilan yang dilaksanakan oleh pakar2 hukum bersama rakyat yang dilengkapi dengan elemen2 pengadilan seperti halnya pengadilan biasa.

Walaupun pengadilan ini tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena tidak ada dalam UU Negara namun cukup ampuh untuk memberikan tekanan kepada pemerintah bahwa rakyat menghendaki keadilan dengan mengadili Soeharto. Mahkamah rakyat ini juga pembuktian rakyat bahwa jika pengadilan dilaksanakan dengan prinsip keadilan dan keterbukaan maka tidak ada lagi pengadilan yang penuh skenario yang berujung kepada politik pengampunan kepada penjahat- penjahat yang selama ini merugikan Negara.


0 komentar: