Desentralisasi Pariwisata

Dimuat di Sinar Harapan, 31 Maret 2008

Saat ini telah memasuki bulan ketiga Tahun Kunjungan Indonesia 2008 dicanangkan oleh pemerintah Indonesia. Selama tiga bulan ini belum jelas kemungkinan apakah jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia yang ditargetkan sebesar 7 juta dengan perolehan devisa sebesar US$ 6,7 miliar akan tercapai atau tidak. Namun, target itu sesungguhnya realistis apabila diiringi dengan program yang benar-benar padu dan mampu menonjolkan keunikan Indonesia.

Untuk mengejar target tersebut, pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp 103,57 miliar untuk pengembangan 10 destinasi pariwisata unggulan yang tersebar di luar Jawa dan Bali. Suatu jumlah yang bisa jadi cukup besar atau bisa juga tidak mencukupi tergantung implementasi kemana dana itu diarahkan. Karena, anggaran sebesar apapun sesungguhnya tidaklah dapat berbuat banyak apabila hanya digunakan untuk menutupi biaya promosi atau perbaikan infrastruktur semata.

Pembangunan industri pariwisata tidak cukup hanya dengan membangun hotel dan infrastruktur lainnya saja. Dunia pariwisata lebih membutuhkan daya tarik yang mampu membuat wisatawan betah untuk berlama-lama tinggal di Indonesia. Destinasi wisata manapun, dengan anggaran berapapun, tidak akan sukses bila masyarakat tidak memiliki peran yang sinergis dan visi dan misi yang sama dengan pemerintah. Seindah apapun sebuah objek wisata, hanyalah akan menjadi benda mati apabila tidak diimbangi oleh budaya masyarakat yang sadar wisata (hospitality).

Inilah persoalan sesungguhnya dalam pengembangan wisata Indonesia. Budaya melayani masyarakat masih sangat kurang kalau tidak dikatakan minim, sehingga menjadi momok terbesar dalam membentuk citra wisata Indonesia. Pelayanan hotel banyak yang masih dibawah standar internasional, begitu juga dalam pelayanan transportasi yang banyak diwarnai oleh premanisme di terminal-terminal angkutan hingga ke bandara berkaliber Internasional. Wisatawan masih banyak yang mengeluhkan taksi di beberapa kota yang tidak menggunakan argometer dalam melayani penumpangnya sehingga tarif yang digunakan sangat mencekik leher. Begitu juga harga cendera mata dan makanan tradisional daerah yang harganya bisa melonjak drastis tergantung dari tampilan si pembeli.

The World is Flat

Dari sekian banyak daerah tujuan wisata mungkin hanya Bali atau Jogja saja yang sudah memiliki budaya pelayanan yang memadai yang dipadukan dengan kekayaan budaya tradisional serta infrastruktur yang memadai. Beberapa daerah lain yang juga memiliki potensi pariwisata yang besar, belum terlihat tindakan nyata untuk mendongkrak pariwisata sebagai penghasil devisa terbesar. Apalagi melibatkan masyarakat sebagai salah satu penggerak industri pariwisata. Kondisi ini tentu tidak mampu menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat yang sesungguhnya adalah modal awal berkembangnya budaya melayani dalam masyarakat.

“The world is flat” begitu kesimpulan Thomas Friedman, seorang kolumnis tersohor dari the New York Times. Bukan menantang kesimpulan Copernicus, melainkan lontaran kata-kata itu lahir setelah dia menyaksikan efek globalisasi yang dahsyat dalam berbagai bidang.

Memang, dinamika ekonomi dan politik internasional tidak lagi menjadi aktifitas yang terisolasi di arena global saja. Dinamika itu memiliki dimensi dan efek lokal yang sangat tinggi. Dalam laporan Bank Dunia tahun 2000, kecenderungan desentralisasi dan globalisasi disinyalir berjalan secara bersamaan. Desentralisasi membuat unit-unit yang berkompetisi di tingkat internasional bisa menjadi lebih kecil. Kompetisi di bidang perdagangan dan investasi misalnya, tidak lagi merujuk pada tingkat negara, tetapi sudah pada tingkat sub-nasional.

Dalam konteks inilah desentralisasi pariwisata di Indonesia menjadi relevan. Pariwisata muncul menjadi Industri yang tumbuh tidak hanya di level nasional namun mampu menunjukkan karakter yang berbeda di setiap daerah yang memiliki potensi pariwisata.

Koordinasi dengan Daerah

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata merilis kajian yang menarik tentang daya saing pariwisata daerah. Kajian yang dilakukan pada tahun 2006-2007 ini mengungkap bahwa wisatawan mancanegara dari negara yang berbeda memiliki kecenderungan untuk berkunjung kedaerah yang berbeda pula. Fakta ini memberikan pesan bahwa setiap destinasi wisata yang tersebar diberbagai daerah harus bisa menyusun blueprint pariwisata dengan menetapkan target yang tepat sesuai dengan karakteristik wisatawan mancanegara tersebut atau sesuai dengan pasar yang dominan selama ini.

Luas dan tersebarnya daerah tujuan wisata Indonesia juga menyebabkan semakin berbeda pula keunggulan dan potensi yang dimiliki daerah tersebut. Manado misalnya berpotensi untuk menjadi gerbang daerah wisata Indonesia bagian Timur yang siap mengolah negara-negara Asia Pasific. Begitu juga Sumatera Barat mempunyai potensi besar untuk menjadi pintu gerbang wisatawan yang berasal dari Asia Tenggara dan negara-negara timur tengah.

Oleh karena itu dalam rangka Visit Indonesia Year 2008, program destinasi unggulan dan program Visit Indonesia Year 2008 seharusnya dikoordinasikan dengan daerah agar diperoleh hasil yang optimal. Berbagai program kegiatan yang cerdas dan menarik harus disusun dengan baik sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing.

Kembali kepada pernyataan Thomas Friedman, desentralisasi membuat dunia usaha pariwisata di tingkat sub-nasional memiliki peluang untuk menaklukan globalisasi demi peningkatan kesejahteraan populasi di wilayahnya. Ini adalah ilustrasi betapa masyarakat lokal memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap globalisasi.

Oleh karena itu sekaranglah saatnya seluruh daerah yang memiliki potensi pariwisata melaksanakan program bersama secara terpadu. Pemerintah pusat cukup berperan dalam mengoptimalkan kegiatan promosi dan mengupayakan kemudahan bagi kunjungan wisman dan investasi pariwisata. Namun, dalam urusan menentukan corak dan karakteristik pariwisata yang akan dibangun, Pemerintah Daerah beserta masyarakat lokal-lah yang akan menentukan.

0 komentar: