Kompensasi BBM sebuah solusi gampangan dari pemerintah yang sontoloyo


Mengapa pemerintah terkesan "miskin pemikiran" dan miskin inovasi” dalam menghadapi derita rakyatnya meskipun di Bappenas, Depdagri, Depsos, dan Menko Kesra dan BKKBN, sebenarnya banyak birokrat yang sudah cukup banyak "makan asam garam" dalam program-program penanggulangan kemiskinan yang dibutuhkan ?.
Alangkah tragis pemerintah "SBY-JK" yang berjanji mengadakan perubahan-perubahan ternyata sekadar melanjutkan kebijakan dan program-program penanggulangan kemiskinan yang sudah diketahui banyak keliru dan banyak kebocorannya.

Memang kenaikan BBM bukan hanya kali ini saja, namun kenaikan kali ini sama sekali beda motifnya dengan kenaikan sebelumnya. Kenaikan kali ini tidak hanya berdalih mengurangi subsidi atau menyesuaikan dengan harga pasaran Internasional tetapi juga suatu dalih yang sepintas kedengaran sangat indah yang katanya manfaat dari kenaikan BBM kali ini bakal dirasakan oleh penduduk miskin. Mereka akan menerima dana kompensasi sebesar Rp 100.000 untuk penduduk yang berpenghasilan kurang dari Rp 175.000 perbulan.

Jelasnya, setiap keluarga yang memiliki penghasilan kurang dari Rp. 175.000 /bln berhak mendapatkan jatah tersebut. Bahkan supaya dana itu tidak susut di jalan. Pemerintah mengirimkan dana tersebut melalui kantor pos maupun BRI. Namu rencana yang begitu menakjubkan dan mengundang decak kagum itu menyimpan pertanyaan tentang siapakah yang sungguh sungguh berpenghasilan kurang dari Rp. 175.000 sebulan ?

Faisal seorang tukang parkir di pasar Tapi Selo Lintau ( sebuah nagari terletak dipedalaman Sumbar) yang terdaftar sebagai penduduk miskin di kantor Walinagari berpenghasilan minimal Rp 30.000 sehari itupun kalo lagi sial alias pasaran sepi, berarti dalam sebulan ia mengantongi Rp 900.000. Kemudian Mak Inal seorang tukang tambal ban di pasar Piladang mengaku mengantongi paling tidak Rp 20.000 sehari dan Mak Inal pun telah terdata sebagai GAKIN atau warga miskin yang berhak menerima dana kompensasi….Wuih..

Walau bagaimanapun ironinya program itu tetap dijalankan oleh pemerintah tidak peduli siap atau tidaknya stake holder yang akan terlibat. Dan akibatnya kekonyolan kekonyolan seperti paparan diatas pun terjadi merata di seluruh Tanah Air. Diantara pengantri penerima kompensasi banyak terselip orang berpakaian rapi serta mengendarai motor yang baru dikredit. Sementara dibeberapa daerah di Jawa maupun daerah lainnya banyak banyak orang miskin yang dirasa pantas menerima kompensasi tersebut tidak mendapatkan kartu miskin. Kemudian betapa banyak laporan adanya potongan potongan yang dilakukan oleh perangkat desa dan BPS sebuah kekonyolan yang seharusnya sudah diprediksi oleh pemerintah.

Banyak penyebab dalam hal ini. Pertama, petufas BPS tidak bekerja atas dasar kategori yang ketat. Kedua, desa desa di Indonesia yang sudah merdeka 60 tahun tidak memiliki system administrasi pendataan penduduk yang benar berdasarkan kemampuan social ekonomi. Ketiga, petugas BPS hanya menerima data dari kepala Desa tanpa mengecak kebenarannya.keempat, membayar tunai kepada 15 juta kepala keluarga di Indonesia adalah pekerjaan raksasa yang sangat terbuka terhadap penyelewengan (media Indonesia, editorial,12/10/2005.

Kekonyolan demi kekonyolan diatas membuktikan Pemerintah maupun masyarakat tidak siap untuk melaksanakan program ini. Yang dibutuhkan masyarakat miskin Indonesia bukan uang kontan sesungguhnya. Tetapi peluang dimana mereka dapat berkarya untuk memperoleh uang tersebut. Dengan kata lain bukan ikan yang mereka butuhkan melainkan kail. Tindakan yang memberi uang adalah tindakan kuratif yang tidak menyentuh akar permasalahannya. Jelasnya yang dinantikan rakyat bukan belas kasih. Ia tidak mau disayangi apalagi dimanjakan. Ia memiliki potensi diri untuk bekerja hingga dapat menghasilkan sesuatu yang berguna untuk keluarganya.

Dari uraian diatas jelaslah bahwa program kompensasi BB mini adalah program yang tidak melalui kajian mendalam dari Pemerintah hanya sekedar melarikan diri dari akibat menaikkan BBM.

Jelasnya program gampangan dari Pemerintah yang sontoloyo.

0 komentar: