Gamawan dan Sutan Zaili Asril

Tak mudah menjadi Gamawan. Ia dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui pilkada yang dilaksanakan pertama kalinya di Sumbar. Kemenangannya tak terlepas dari popularitas yang terus meroket sejak mendapatkan Bung Hatta Coruption Award bersama Saldi Isra. Atau bahkan sejak ia menjabat Bupati Solok dan sempat hilang di pegunungan bersama staffnya. Namun disaat yang sama ia dihadapkan pada kenyataan bahwa dipundaknya bergantung beban yang sangat berat, ekspektasi/harapan rakyat Sumbar untuk mampu memimpin dan memberikan perubahan. Perubahan yang begitu di nanti nanti masyarakat Sumbar yang hingga saat ini masih setia dengan ketertinggalan dari daerah lain.

Memang tak mudah menjadi Gamawan. Sejak awal menjabat ia berusaha membersihkan stafnya dari kemungkinan penyalahgunaan uang rakyat. Dalam penyediaan alat transportasi Gubernur ia memilih Kijang dibanding sedan mewah. Namun pada saat yang sama masyarakat menilai kebijakan itu setengah hati dan terkesan mengeluarkan kebijakan yang seakan akan populis persis ketika janji janji Pilkada sebelumnya alias jauh panggang daripada api.

Tak mudah menjadi gamawan. Banyak kalangan tidak meragukannya punya visi dan misi yang jelas serta kecerdasan yang diatas rata rata. Banyak wacana yang terlontar yang kesemuanya bagus bagus diantaranya mendapat pujian dari Presiden SBY dengan program pengentasan kemiskinan berbasis nagari. Ia terus melakukan gerakan sigap dengan memadukan kerjasama dengan Bupati dan Walikota, menjadi tuan rumah pertemuan presiden SBY dan PM Malaysia Abdullah Badawi. Ia juga sukses mendudukkan sejarah PDRI dan mengusulkan hari PDRI menjadi hari bela negara bahkan menjadikan SBY sebagai Datuk yang dilantik di Istana Pagaruyung yang kini tinggal puing. Namun rupanya kerja kerasnya serta wacana bagus bagus belum membuat masyarakat terpuaskan. Bahkan Siti Zahrah Ph.D dengan Tim dari The Habibie Center menilai Gamawan telah kehilangan momentum melakukan perubahan dan lamban mereformasi birokrasi sesuai dengan janji janji kampanye.

Jadi Gamawan sungguh tak mudah. Ia memang cerdas sehingga sering sekali diundang sebagai nara sumber diseminar seminar diberbagai daerah. Bahkan kalangan akademisi pun menilai gamawan cocok menjadi Dosen perguruan tinggi. Namun kecerdasan dan pemikirannya yang bagus bagus itu terasa terbuang percuma ketika staf dan jajaran birokrasi dibawahnya dirasa tidak mampu menerjemahkan setiap program yang diwacanakannya. Kekurangan SDM hanyalah salah satu hal yang mungkin menyebabkan Gamawan merasa hanya bekerja sendiri atau menurut istilah Sutan Zaili Asril pada akhirnya Gamawan merasa lelah sendiri dan merasa tak berdaya.

Tak mudah memang menjadi Gamawan. Menjadi Gubernur di era reformasi rupanya tak seenak menjadi Bupati di era orde baru. Kekuasaan Gubernur sangat terbatas sesuai dengan UU otonomi daerah yang memutuskan otonomi setingkat Kabupaten. Gubernur tidak bisa memaksakan programnya dan seringkali wacana Gubernur yang bagus bagus itu kembali mentah ditangan Bupati ataupun walikota.

Duh..sungguh tak mudah menjadi Gamawan, dalam keterbatasan dan ekspektasi yang sedemikian tinggi dan berat ia lagi lagi mengeluarkan wacana, yaitu penghapusan Pemerintahan Propinsi. Rupanya wacana terakhir ini menjadi bola panas ketika Sutan Zaili Asril memberikan kritikan sambalado (merah dan pedas namun membangkitkan selera) bahwa wacana itu hanya sekedar pelarian dari ketakberdayaan gamawan menghadapi problematika dalam melahirkan ide ide besar perubahan Sumbar. Kritik sambalado itu dibalas Gamawan dengan memberikan pembelaan sendiri yang tak kalah pedasnya. Ia menilai sebagai pimpinan media massa terbesar di Sumbar, Sutan Zaili Asril memberikan penilaian layaknya pendekar mabok yang sedang meradang hingga tidak bisa memberikan panilaian yang benar.

Sementara menjadi Sutan Zaili Asril juga tak mudah, seperti yang dikatakannya Ia turut andil dalam mengapungkan Gamawan sebagai sosok birokrat yang bersih. Ia sendiri mengatakan gamawan lebih sekedar teman, ia juga bahkan pernah disindir menjadikan Gamawan sebagai icon good governance sehingga Gamawan mendapatkan Bhaca Award. Namun posisi Sutan Zaili Asril sebagai insan pers maupun sebagai teman dan pendukung Gamawan tidak membuat nya serta merta tumpul dalam memberikan analisis dan penilaian. Mungkin selama ini Sutan Zaili memendam kekhawatiran jika Gamawan terus asyik berwacana dan lupa mengimplementasikannya maka ekspektasi masyarakat yang sangat besar akan berubah menjadi pisau mematikan bagi pemerintahan gamawan. Tentunya suatu hal yang tidak diinginkan oleh seorang Sutan Zaili Asril.

Memang tak mudah menjadi Sutan Zaili Asril. Sebagai insan pers yang sering disebut sebut sebagai pilar keempat demokrasi ia musti mampu memberitakan suatu fenomena apa adanya. Selain itu ia juga musti menjadi corong demokrasi dalam memberikan kritikan kepada pemerintah agar jalannya pemerintahan tetap lurus dan tidak belok belok. Namun dalam menjalankan fungsinya itu kadang terjadi benturan antara kepentingan professionalisme dan hubungan antara dua sahabat layaknya ia dengan Gamawan.

Peran media dalam membangun peradaban memang sangat vital, seperti yang dikatakan Jeremy Bentham publisitas yang dilakukan media adalah kontrol utama terhadap salah urus. Anggapan ini jugalah yang mungkin mendorong Sutan Zaili Asril menulis kritikan sambalado terhadap wacana penghapusan pemerintahan propinsi yang dilontarkan Gamawan. Sutan Zaili Asril barangkali menganggap wacana tersebut adalah wacana yang salah urus. Ibarat ota lapau wacana yang dilontarkan Gamawan memakai paradigma salah garuk. Kepala yang gatal malah pantat yang digaruk.

Memang tak mudah menjadi Gamawan Fauzi dan Sutan Zaili Asril. Keduanya memegang jabatan yang sangat vital dalam membangun peradaban. Gamawan adalah tumpuan harapan rakyat untuk mengemban misi perubahan bagi masyarakat Sumbar. Sutan zaili Asril adalah pimpinan media masa terbesar di Sumatra Barat. Sebagai bagian pilar keempat demokrasi ia punya tugas mulia memainkan peranan mengontrol laju pemerintahan. Jurnalis tak kalah mulia dengan pemimpin suatu bangsa. Seperti kata Gabriel Garcia Marquez pemegang hadiah nobel Sastra 1982, jurnalis adalah profesi paling baik didunia. Dan rasanya kita tak perlu membantah hal itu.

0 komentar: