Melacak Harta Tommy

Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) pada 26 Maret 2006, menggugat Banque Nationale de Paris and Paribas Guernsey (BNP Paribas Guernsey) karena membekukan uang sebesar Rp 425 Miliar milik Garnet Investment Limited, perusahaan miliknya yang berbasis di British Virgin Island. Pembekuan ini dilakukan BNP Paribas dugaan uang itu adalah hasil korupsi. Berdasarkan count order dari Royal Court di Guernsey, Kejaksaan Agung 22 Januari 2007 memutuskan meng-intervensi persengketaan ini karena Tommy diduga tersangkut kasus korupsi di Indonesia dan mempunyai utang kepada pemerintah yang belum juga dituntaskan pembayarannya.

Ada dua fakta penting yang diajukan Kejaksaan Agung dalam dalil tertulis di pengadilan London pada 8 maret 2007 lalu. Pertama, Tommy adalah putra presiden Soeharto. Dalam pemerintahan Orde Baru Soeharto kerap mengambil keputusan yang menguntungkan anaknya. Oleh karena itu Kejaksaan melampirkan keputusan Soeharto yang menguntungkan Tommy. Kedua, kejaksaan juga membawa bukti kewajiban pajak dan utang Tommy yang tak kunjung dibayar. Utangnya antara lain di BPPC, Timor Putra Nasional, Goro dan maskapai Penerbangan Sempati Air. Dengan berkas-berkas tersebut Kejaksaan Agung menyatakan keyakinannya bisa membuktikan uang Tommy itu adalah hasil korupsi dan dapat disita sebagai milik negara.

Intervensi Kejaksaan Agung terhadap kasus ini adalah proses hukum yang biasa dilakukan pemerintah suatu negara dalam melacak uang yang diduga hasil korupsi yang dilarikan ke luar negeri. Berdasarkan asas hukum praduga tak bersalah maka kita juga tidak bisa serta merta menyatakan uang tersebut adalah benar hasil korupsi. Proses persidangan akan membuktikan apakah uang itu bermasalah atau tidak.

Namun dalam kasus uang Tommy ini yang menjadi sorotan utama berbagai kalangan dalam negeri adalah sikap pemerintah sebelumnya yaitu Menteri Departemen Kehakiman dan HAM ketika itu, Yusril Ihza Mahendra, pernah memberikan jaminan bahwa uang itu bebas masalah. Jaminan pemerintah itu diberikan ketika Motorbike Corporation milik Tommy hendak mencairkan uang Rp 90 milyar dari BNP Paribas cabang London. Ketika itu BNP Paribas menolak mencairkan dana tersebut dan meminta persyaratan berupa keterangan tentang asal muasal dana dalam rekening tersebut serta beberapa persyaratan lainnya.

Pada akhirnya dalam kurun waktu 2004-2005 Tommy yang menggunakan jasa pengacara dari Kantor Pengacara Ihza dan Ihza berhasil mencairkan dananya setelah memenuhi semua persyaratan yang diajukan BNP Paribas, yakni Legal Opinion dari Departemen Kehakiman tentang asal uang tersebut, Surat Keterangan bebas korupsi dari Pengadilan Tinggi Jakarta, Surat keterangan Motorbike Corporation tidak terlibat pencucian uang dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan meminjam rekening Direktorat Administrasi Hukum Umum Departemen kehakiman untuk keperluan pencairan dana.

Good Governance

Kasus pencairan uang Tommy yang melibatkan pejabat dan Lembaga Negara ini menggambarkan betapa lemahnya penegakan good governance yang menyebabkan rapuhnya fundamental hukum di Indonesia. Tumbuh suburnya masalah korupsi atau KKN di negeri ini, karena prinsip-prinsip good governance tidak diterapkan secara serius dalam sistem pemerintahan. Dalam kasus Pencairan uang ini kita sangat menyesalkan penyalahgunaan kewenangan pejabat dan lembaga negara. Tindakan Yusril yang memberikan rekomendasi pencairan uang tersebut dinilai telah melampaui kewenangannya, karena yang berwenang menyatakan ada atau tidaknya suatu tindak pidana adalah Kepolisian dan Kejaksaan.

Sementara itu Hamid Awaluddin yang mencairkan uang Tommy dalam masa jabatannya dengan menggunakan rekening negara juga dinilai telah melampau kewenangannya. Guru Besar Universitas Padjajaran, Romli Atmasasmita menyatakan rekening Direktorat Administrasi Hukum Umum hanya boleh dipakai untuk menampung pendapatan dari sidik jari, pengangkatan notaris atau pengesahan akta pendirian perusahaan. Auditor Utama BPK Soekoyo juga menegaskan bahwa penggunaan rekening pemerintah seperti yang terjadi pada kasus Tommy tidak dibenarkan, karena dana yang masuk ke rekening milik negara harus ditetapkan dulu sebagai uang negara. Berdasarkan UU 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi pasal 3 maka kedua pejabat negara serta pelaku terkait lainnya sudah bisa di tuntut dan dijebloskan ke penjara karena menyalahgunakan kewenangan mereka.

Bagaimanapun juga proses persidangan antara BNP Paribas, Tommy dan Kejaksaan Agung adalah proses hukum yang musti dijalani untuk membuktikan bermasalah atau tidaknya uang Tommy tersebut. Namun penyalahgunaan wewenang pejabat negara dalam pencairan uang tommy sepanjang 2004-2005 yang beraroma KKN juga musti disikapi dengan serius oleh pemerintah.

Untuk itu, jika pemerintah benar benar berkomitmen memberantas korupsi dan menegakkan Good Governance maka sudah waktunya Kejaksaan Agung dan Kepolisian menyelidiki pejabat negara terkait dengan tuduhan melanggar pasal 3 UU No 31 tahun 1999 tentang tindak Pidana Korupsi (tipikor). Langkah selanjutnya adalah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyelidiki apakah ada aliran dana dari rekening Tommy ke rekening pejabat yang turut berperan mencairkan dana tersebut. Jika terbukti ada tindakan korupsi atau KKN dari hasil penyelidikan dan pengusutan, maka KPK segera menyeret pejabat terkait serta Tommy Soeharto kepengadilan.

Satu hal yang pasti Presiden RI harus memberikan pernyataan tegas memberikan ijin bagi Kejaksaan Agung dan kepolisian untuk mengusut keterlibatan menterinya yaitu Yusril dan Hamid Awaluddin dalam skandal pencairan uang Tommy tersebut. Tanpa pernyataan presiden maka sudah barang tentu Kejagung dan Kepolisian tidak punya nyali mengusut pejabat negara seperti yang terjadi selama ini.

0 komentar: