Meninggalkan Adat, Memajang Agama

Pareman adalah topik yang sedang hangat dibahas di Palanta Rantaunet beberapa hari ini. Pareman kalau di tarik akar katanya berasal dari Free Man atau orang bebas. Bebas dalam artian tidak punya pekerjaan atau pengangguran, bebas dalam artian dia berhak melakukan apa saja yang diinginkannya tanpa mengindahkan orang lain.

Topik ini sesungguhnya menarik karena fenomena kerajaan preman ini menyebar diseluruh nusantara bahkan dunia. Disetiap kota yang penduduknya padat atau pusat perekonomian, pusat keramaian separti terminal, tempat wisata dan sebagainya corps preman ini hampir dipastikan selalu ada. Mulai dari tukang palak, copet, pengutip uang kemanan hingga preman berdasi.

Premanisme di Sumatra barat mudah terlihat begitu menginjakkan kaki ke Bandara Internasional Minangkabau (BIM). Ketika kaki mulai menginjak halaman bandara detik itu pula agen taksi dan angkutan bandara akan datang menghampir dan tak jarang terjadi menarik-narik antara agen bus dan supir taksi dengan calon penumpang. Tindakan premanisme ini tentu saja meninggalkan kesan yang menyeramkan terhadap bandara BIM.

Tindakan premanisme lainnya sering kali kita jumpai di terminal-terminal besar macam aur kuning bukit tinggi. Mulai dari agen tiket yang memaksa membeli tiket bus tertentu hingga tukang angkat barang yang memalak penumpang dengan menurunkan barang dari bagasi bus dengan meminta bayaran yang tidak masuk akal.

Sesungguhnya banyak lagi tindakan premanisme di sumbar yang bisa kita bicarakan. Namun tulisan ringan kali ini tidak akan membahas fenomena ini lebih lanjut namun akan memberikan sedikit tinjauan dari sudut pandang penulis terhadap fenomena ini.

Palanta Rantaunet sebagai milis paling aktif yang membicarakan keminangan, beranggotakan berbagai macam latar belakang sosial, pendidikan dan ekonomi yang berbeda. Tak heran setiap komentar ataupun analisis sederhana yang muncul lebih bersifat subjektif sesuai latar belakangnya itu. Namun secara garis besar dapat dikelompokkan kepada yang pro adat, pro agama, dan diantara keduanya.

Bagi yang pro adat maka asal usul premanisme di sumbar ini lebih disebabkan oleh tidak efektifnya ceramah agama, pengajian, khutbah yang disampaikan oleh ustad2 yang menguasai agama. Isi atau matan dari pengajian yang disampikan hampir tidak menyentuh sisi moral dan akhlak umat. Pengajian yang disampaikan hanya berputar kepada isu nasional atau hukum agama/fikih saja.

Bagi yang pro agama maka pihak yang paling bertanggung jawab adalah adat dan budaya minangkabau yang berisikan ajaran yang mengajarkan orang untuak cadiak, lipeh, menang sendiri. Tentu saja hal ini di di perkuat oleh kenyataan para penghulu adat sekarang yang tidak mempunyai kepemimpinan yang mumpuni bagi kaumnya.

Selain dua kelompok itu juga ada yang menyalahkan pemerintah daerah yang tidak mampu menanggulangi premanisme yang bersumber dari lemahnya kemampuan ekonomi masyarakat. Pengangguran adalah penyebab utama munculnya tindakan premanisme di sumbar.

Sesungguhnya ketiga pendapat itu adalah benar semuanya. Gejala premanisme ini adalah masalah yang penuh kompleksitas dan dialami oleh hampir setiap daerah di indoneisa.

Kalau kita merujuk kepada ajaran adat MInangkabau maka premanisme atau tukang palak atau cadiak/licik/lipeh itu adalah sangat bertentangan dengan adat MInangkabau. Sistem adat MInangkabau berdasarkan atas keseimbangan antara individu dan masyarakat

Nan rancak diawak, katuju dek urang

Sakik diawak sakik diurang; lamak diawak lamak dek urang

Kok mandapek awak, urang jan maraso kahilangan handaknyo

Ajaran adat MInangkabau inilah yang dinamakan adat sabana adat, adat nan tak lapuak dek hujan dan tak lakana dek paneh. Ajaran ini sesuai dengan adagium adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

Sehingga kalau kita menilik lebih jauh ajaran adat minangkabau dan ajaran agama Islam maka tidak ada pertentangan atau saling menegasikan antara keduanya khususnya dalam kasus premanisme ini. Aturan beradat dalam masyarakat banyak sekali atau boleh dikatakan hampir keseluruhannya telah mengalami asimilasi dengan ajaran islam.

Nan tuo dimuliakan, nan ketek dikasihi, samo gadang dipabasokan

Ada prinsip kebersamaan disitu. Seluruh persoalan bersama yang muncul di masyarakat didasari oleh prinsip sehina semalu. Meskipun kamanakan si anu yang berbuat jahat namun semua masyarakat ikut menanggung malu.

Hati gajah samo dilapah, hati tungau samo dicacah

Nan kayo tampek batenggang, nan cadiak tampek batanyo

Nan tidak samo dicari, nan lai samo dimakan, mandapek samo balabo, kahilangansamo barugi, sasakik sasanang.

Jadi jelaslah terlihat prinsip kebersamaan, sahino samalu, hubungan baik sesama manusia mendapatkan tempat utama dalama adat MInangkabau. Dalam ajaran Islam sendiri, prinsip kebersamaan, akhlak yang baik mendapat tempat utama . seperti hadist Nabi yang mengatakan bahwa “ Sesungguhnya aku di utus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak manusia”. Atau dalam surat Al Ankabut 45 yang artinya “sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan Munkar”.

Kalau sudah begitu mengapa premanisme tetap tumbuh dalam masyarakat yang ditopang penuh oleh adat Minangkabau yang luhur dan ajaran Islam yang lurus ? Jawaban mudahnya adalah masyarakat Mnangkabau telah meninggalkan adat MInangkabau. Petatah petitih dianggap kuno dan tak terpakai. Sedangkan agama hanya di jadikan pajangan saja. Seperti alas sembahyang yang dijemur diatas balkon sebagai pertanda yang punya rumah adalah Muslim.

Atau kalau mau sedikit berspekulasi maka ajaran adat dan agama itu tidak berpengaruh. Lihat saja tetangga singapura yang tak memiliki adat seluhur MInangkabau dan juga bukan muslim. Penduduk mereka teratur, disiplin, sejahtera dan selalu menjaga kebersihan. BUkankah kesemuanya itu intisari ajaran adat MInangkabau dan Islam ? lalu mengapa masyarakat MInangkabau yang memiliki kedua-duanya ternyata tidak bisa berlaku seperti rakyat singapura ? jawaban mudahnya adalah pemerintah Indonesia dan Sumatra barat khususnya tidak mampu mengatur kehidupan masyarakat, tidak mampu mengakkan hukum dan kedisplinan bagi warganya.

Akhirnya kesemua pembahasan kita bermuara kepada pembenaran semua opini yang ada di palanta rantaunet. Premanisme memang penuh kompleksitas dan membutuhkan pemahaman semua pihak untuk ikut mencarikan jalan keluar permasalahan ini.

Namun satu hal yang penting untuk disadari. Orang rantau dan orang ranah itu layaknya sebuah tubuh yang apabila satu organnya sakit maka organ yang lain akan merasakan hal yang sama. Sehingga ketika ada hal buruk yang terjadi maka tidak ada saling mencaci atau menyalahkan yang bermuara kepada kepicikan. Prinsip sahino samalu yang ada dalam nilai adat kita musti dihidupkan kembali.

Bagaimanapun juga preman di ranah dalah korban berputar kencangnya peradaban. Mereka korban ketidak adilan sosial. Mereka adalah korban tidak meratanya pendidikan. Mereka adalah korban kecilnya lapangan kerja yang tersedia. Mereka adalah korban persaingan global yang makin memuncak.

Oleh karena itu sebagai korban maka sepantasnyalah mereka mendapatkan kasih sayang dari kita. Walaupun tidak dengan memberikan uang atau pekerjaan setidaknya tetap menganggap mereka sebagai bagian dari kita yang butuh perolongan dan penyelamatan. Bukan cacian dan hinaan. Dengan itulah mereka merasa dihargai dan tentunya harga diri kita juga.

0 komentar: