Peta Jalan Bali: Babak Baru Penyelamatan Hutan Indonesia

Padang Ekspres


The United Nations Climate Change Conference (UNCCC) 2007 yang berlangsung di Denpasar 4 Desember 2007 – 15 Desember 2007 lalu dinilai sukses dengan dilahirkannya beberapa kesepakatan penting diantaranya Bali Road Map. Bali Road Map ini merupakan kesepakatan aksi adaptasi, pengurangan emisi gas rumah kaca, transfer teknologi dan keuangan yang meliputi adaptasi dan mitigasi.

Konvensi ini berjalan alot karena sikap keras negara-negara maju seperti Amerika Serikat yang selalu menjadi penghalang utama kesepakatan yang akan diambil dalam konvensi. Sikap Amerika Serikat ini disertai oleh Kanada dan Jepang yang juga tidak menyetujui target penurunan emisi karbon yang diperbesar (deeper cut) bagi negara-negara maju yakni sebesar 25-40 persen pada 2020.

Penolakan tiga negara maju ini berdasarkan kekhawatiran bahwa penurunan emisi karbon akan mengganggu kepentingan ekonomi negara mereka. Sebaliknya Uni Eropa dan negara-negara berkembang yang tergabung dalam G 77 + China menyetujui target tersebut bahkan meminta kesepakatan itu bersifat mengikat dan masuk deklarasi Bali.

Perdebatan sengit di konvensi itu memberikan gambaran yang jelas bahwa negara-negara berkembang sudah menunjukkan komitmen mereka untuk melakukan penyelamatan hutan. Namun sebaliknya negara maju terutama AS, Kanada dan Jepang belum menunjukkan komitmen yang tegas terhadap penurunan gas emisi karbon,

Padahal penurunan emisi karbon adalah faktor yang paling esensial untuk mengurangi efek pemanasan global. Pengamat lingkungan dan LSM pemerhati lingkungan menuding negara-negara dunia terlalu tunduk dengan kemauan AS, sehingga hasil konvensi kurang memenuhi apa yang seharusnya menjadi solusi dari problem dunia yang paling mendesak saat ini.

Dari tabel 1 terlihat bahwa Amerika, Kanada dan Jepang termasuk peringkat atas penghasil emisi karbondioksida terbesar dunia .

Tabel 1: Negara penghasil gas CO2 terbesar dunia perkapita

Negara

Emisi CO2 perpopulasi (juta ton)

Perkapita (ton)

Australia

226

10,7

AS

2790

9,3

Afsel

222

4,6

Rusia

661

4,6

Jerman

356

4,3

Polandia

166

4,3

Kanada

144

4,3

Korsel

185

3,8

Spanyol

148

3,7

Ingris

212

3,5

Jepang

400

3,1

Itali

165

2,8

China

2680

2,0

Ukhraina

79,1

1,7

Turki

102

1,4

Iran

86,2

1,3

Yhailand

76.4

1,2

Meksiko

101

0,9

India

583

0,5

Indonesia

92,9

0,4

Sumber: Carma/CGD

Presiden Conferency of The Parties (COP) 13 UNCCC, Rachmat Witoelar secara keseluruhan melaporkan tiga hal penting dari hasil konvensi UNCCC di Bali, pertama tercapainya kesepakatan dunia yang disebut Bali Road Map. Bali Roadmap meliputi lima hal yaitu Komitmen Pasca 2012 (AWG on long-term cooperative action under the convention), Dana Adaptasi (Adaptation Fund), alih Teknologi (Technology transfer), REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation).) dan CDM (Clean Development Mechanism).

Kedua, disepakatinya 4 agenda yaitu; 1. Aksi untuk melakukan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim. 2. Cara-cara untuk mereduksi emisi Gas Rumah Kaca. 3. Cara-cara untuk mengembangkan dan memanfaatkan teknologi ramah iklim (climate friendly technologi ). 4. Pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi. Sedangkan kesepakatan ketiga adalah adanya target waktu yaitu 2009.


REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation)

Salah satu poin terpenting yang dihasilkan dan berkenaan langsung dengan Indonesia adalah disetujuinya program REDD. Program ini bertujuan untuk memperluas cakupan kegiatan penurunan emisi tidak hanya melalui pencegahan deforestasi tapi juga melalui upaya penurunan kerusakan hutan.

Secara keseluruhan, kondisi sumber daya hutan dan lahan Indonesia saat ini ditandai oleh kerusakan lahan dan hutan yang mencapai 59,2 juta hektar (dephut 2007). Pada periode 1982-1990 laju deforestasi tercatat 0,9 juta hektar pertahun. Pada periode 1990-1997 naik menjadi 1,8 juta hektar pertahun dan 1997-2000 menjadi 2,8 juta hektar pertahun. Pada kurun waktu 2000-2006 laju deforestasi turun menjadi 1,19 juta hektar pertahun.

Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), mengungkapkan data yang berbeda. Pada periode 1985-1997 tercatat sebesar 1,6 juta hektare (ha) per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta ha per tahun atau yang tertinggi di dunia. Data 2007 menunjukan, sekitar 2,72 juta ha hutan Indonesia musnah tiap tahunnya.

Dengan adanya program REDD ini, negara hutan tropis akan melindungi keberadaan hutannya untuk menyerap emisi karbon dari negara maju. Sebagai imbalan, negara maju akan memberikan bantuan dana dan teknologi kepada negara hutan tropis.

Inggris misalnya siap mengucurkan dana untuk Indonesia dengan menjadikan Indonesia sebagai kandidat kuat mendapatkan US$ 30 juta melalui Forest Carbon Partnership Facility (FCPF). Inggris juga telah menyiapkan US$ 1,6 miliar melalui Environmental Transformation Fund (ETF) untuk mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang.

Program ini memang berpotensi besar mendatangkan aliran dana ke negara-negara yang memiliki hutan luas seperti Indonesia. Meskipun begitu terdapat beberapa hal yang musti diperhatikan terkait dengan pelaksanaan program ini;

1. Pelaksanaan kegiatan REDD akan memiliki potensi kebocoran karbon sehingga sulit untuk menjamin bahwa penurunan emisi yang terjadi di wilayah bersifat nyata dan terukur. Misalnya keberhasilan melindungi kawasan hutan konservasi yang dijadikan proyek REDD dari upaya konversi menjadi lahan pertanian, bisa saja berdampak pada meningkatnya konversi hutan di kawasan yang tidak menjadi sasaran proyek REDD. Dengan demikian karbon yang diselamatkan pada satu kawasan tersebut sifatnya tidak nyata karena telah meningkatkan kehilangan karbon dari kawasan hutan lain.

2. Indonesia belum memiliki teknologi dalam memperkirakan luasan tutupan hutan dan kerusakan hutan dengan akurasi yang cukup tinggi seperti yang dimiliki Brazil ( lihat di www.dpi.inpe.br/prodesdigital/prodes.html). Sehingga sulit menentukan luasan tutupan hutan dan kerusakan hutan dengan metodologi analisis dari citra satelit yang dipakai saat ini.

3. Terdapat kemungkinan besar terjadinya benturan antara program REDD dengan masyarakat yang selama ini mengambil manfaat dari hutan berdasarkan hukum adat yang telah mereka warisi turun temurun.

4. Mekanisme REDD diterapkan pada kawasan hutan produksi, kawasan hutan konservasi atau lindung, hutan gambut, hutan tanaman industri (HTI) dan sawit. Karena kompensasi REDD hanya terbatas pada kelima kawasan hutan itu, maka hanya pihak Pemerintah, Perhutani dan pengusaha saja yang memiliki konsesi atau berhak mengelola kompensasi dana REDD.

Namun terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi laju emisi dari kegiatan deforestasi dan degradasi hutan (REDD).

1.Mengkaji ulang skema REDD dengan memasukkan masyarakat sebagai unsur yang turut serta dilibatkan sehingga berhak mendapatkan kompensasi dana REDD.

2. Melarang hutan alam di konversi menjadi hutan tanaman industri atau perkebunan. Hutan tanaman industri atau perkebunan harus dibuka di dalam kawasan hutan yang sudah mengalami kerusakan berat atau tidak produktif. Selama ini pembukaan hutan tanaman industri dan perkebunan justru di hutan alam dimana hasil penjualan kayu hutan alam dijadikan biaya pembangunan hutan tanaman industri dan perkebunan tersebut.


3.
Melarang konversi lahan gambut menjadi hutan tanaman industri dan perkebunan. Pemerintah sesegera mungkin mengeluarkan program restorasi hutan gambut yang sudah rusak dengan memperbaiki kondisi hidrologi-nya serta mempecepat laju regenerasi hutan gambut melalui kegiatan pengayaan alam buatan.

4. Menekankan kembali kewajiban melaksanakan sistem pengelolaan hutan yang berkelanjutan sesuai dengan pedoman dalam aturan internasional untuk Reduced Impact Logging (RIL) dimana Indonesia ikut dalam menandatangani kewajiban ini.


5. Memverifikasi ulang data luas hutan yang ada sehingga lebih dapat dijustifikasi keakurasiannya melalui analisis yang lebih rinci.

6. Melakukan sesegera mungkin perhitungan tingkat emisi dari hutan dengan menggunakan data yang sudah diperbaharui (sesuai hasil dari kegiatan butir 5) dengan metode yang direkomendasikan oleh sekretariat UNFCCC. Apabila hal ini tidak dapat ditunjukkan, kemungkinan kualitas hasil perhitungan akan dinilai rendah dan akan mempengaruhi nilai tawar atau harga jual karbon dari REDD Indonesia.

1 komentar:

Anonymous said...
This comment has been removed by a blog administrator.