Dahsyatnya Rumah Makan Padang

Sebagai Orang Minang tentu saya ikut bangga dengan bertebarannya Rumah makan padang di seantero negeri ini. Meskipun kadang kebanggaan itu harus saya tebus dengan setiap hari mengkonsumsi masakan Padang yang menurut istri saya yang orang Minang gadang dirantau itu adalah masakan yang sangat tidak sehat. Tidak sehat karena banyak lemak, bersantan dan memacu kolesterol juga tidak sehat dikantong. Setidaknya bila dibandingkan makan di warung tegal misalnya.

Bagaimanapun juga rumah makan padang adalah salah satu kalau tidak satu-satunya kebanggaan kita yang tersisa saat ini. Sekedar rujukan bahwa orang minang masih piawai dalam berdagang dan mempunyai keunggulan yang patut dibanggakan.

Secara konsep rumah makan padang sesungguhnya mencerminkan “isi’ dari keminangan sesungguhnya. Sebuah dapur yang menghasilkan beragam cita rasa yang masing-masing berupa unit otonom. Konsep rumah makan padang yang tegas dengan identitas keminangan namun tidak semata-mata menonjolkan keminangan yang kaku , terlalu percaya diri dan suka membanggakan diri..

Keluarga istri saya yang memiliki usaha rumah makan padang di Lampung yang cukup laris memiliki kiat tersendiri agar pelanggan tetap ramai. Mereka tidak memasak makanan yang memakai resep asli (original Receipt) tetapi menyesuaikan rasa dengan lidah orang Lampung atau jawa yang menjadi target pasar. Masakan yang dibuat tidak terlalu pedas sehingga pelanggan yang mayoritas bersuku Jawa tersebut tidak kepayahan mengunyah dendeng balado misalnya.

Begitu juga nenek saya yang punya tiga rumah makan di Jogja. Rendang yang dimasak tidak selayaknya rendang asli MInang yang berwarna hitam dan berminyak karena disangai lebih dari 4 jam. Kalau dimasak sepetri itu maka orang akan menganggap rendang yang dimasak itu hangus, jadilah rendang di rumah makan padang di Jawa khususnya berwarna coklat ke abu-abuan karena tidak disangai dengan api kecil terlampau lama.

Inovasi dan kreativisme yang muncul didapur rumah makan padang sejagad itu adalah cerminan falsafah MInang dima bumi dipijak disinan langik dijunjuang, kalamak dek awak katuju dek urang. Perubahan yang terjadi dalam resep masakan adalah suatu keniscayaan bila ingin tetap eksis didalam persaingan yang telah mengglobal. Bila identitas keminangan dibungkus dengan rasa ke-egoan yang tinggi, kaku, jumud maka barangkali rumah makan MInang tidak menjamur seperti sekarang. Rasa identitas keminangan tetap terpelihara namun tetap menerima perubahan dari luar. Itulah kunci eksistensi rumah makan minang yang dapat saya simpulkan.

Sesungguhnya dinamisasi konsep rumah makan padang adalah contoh ideal bagi perkembangan sosial budaya dan ekonomi masyarakat Minangkabau. Bila ingin tetap bertahan dengan identitas cultural, keunikan maka setiap perubahan harus kita terima, saring dan pakai mana yang sejalan demi kemajuan masyarakat minang itu sendiri. BIla tetap bertahan dengan apa yang ada sekarang maka secara budaya, sosial dan ekonomi minang itu akan tergerus jaman karena jaman terus berubah.

Ada seorang teman yang selama ini mengaku menjadi pengamat Minangkabau khususnya perjalanan organisasinya menyatakan para pedagang Minang/saudagar terkesan telah kalah dan menyerah dengan persaingan dan percaturan ekonomi yang telah menglobal. Semakin banyaknya oraganisasi minang yang mengerucut kepada bidang kajian tertentu adalah ekspresi ketidak berdayaan dari tekanan akibat persaingan. Temu saudagar MInang yang diadakan di Padang belum lama ini menurutnya adalah membuktikan hal itu. BIla saudagar MInang itu telah mampu unjuk diri mengapa pula akan berkumpul sesama Minang ? lebih jauh lagi masih menurut teman saya itu saudagar yang berkumpul dimomentersebut itu pastilah saudagar yang sama-sama litak (lapar). Bila ternyata daging yang mereka harapkan tidak bertemu jua maka tidak musthail antara mereka akan saling memakan.

Tentunya saya tidak mengamini saja apa yang disampaikan teman saya itu. Tapi hipotesanya yang mengerikan itu masuk akal juga. Semasa kuliah dulu saya termasuk mahasiswa yang anti kemapanan. Sangat anti terhadap barat termasuk orang Indonesia yang sekolah keluar negeri dan pulang menenteng iajazah gelar sarjana bergengsi.

Setelah memasuki dunia kerja saya memahami bahwa sikap anti kemapanan dan ketidak sukaan terhadap lulusan luar tersebut sesungguhnya ekspresi dari ketidakmampuan bersaing dengan lulusan luar.

Setidaknya ada 4 faktor yang menyebabkan lulusan dalam negeri tidak mampu memenangi persiangan bahkan sekedar menyamai. Pertama faktor bahasa, boleh dikatakan sedikit sekali mahasiswa dalam negeri yang menguasai dengan fasih bahasa inggris. Padahal rekrutmen perusahaan besar semacam multinasional mensyaratkan itu. Kedua, kualitas lulusan dalam negeri terus terang belum memenuhi permintaan perusahaan,kalau dibandingkan dengan lulusan luar maka lulusan dalam negeri lebih tidak siap kerja. Ketiga, masalah keuangan, lulusan luar negeri tentu saja berasal dari keluarga kaya yang mampu menyekolahkan anaknya keluar negeri. Faktor ini sedikit banyak mempengaruhi kenapa banyak mahasiswa dalam negari menjadi anti kemapanan. Keempat, terakhir faktor gengsi. Lulusan luar negeri memiliki gengsi yang jauh melebih lulusan dalam negeri sehingga gampang mendapatkan pekerjaan.

Hal itulah sesungguhnya pencetus kenapa saya dan banyak mahasiswa lainnya cenderung membentuk kelompok anti kemapanan, anti barat, anti liberalisme yang berkembang di badan-badan intra sekolah bahkan mayoritas pengurus BEM. Jadi bukannya karena ingin menyatukan persepsi dan jejaring tetapi lebih sebagai ungkapan kekesalan dan ketidakberdayan menghadapi persaingan

Lalu apa korelasinya dengan rumah makan padang ? hal sebaliknya terlihat pengusaha rumah makan padang tidak pernah membuat perkumpulan rumah makan padang kecuali arisan-arisan nagari. Kalaupun ada hanyalah dilapisan minoritas yang mau diperkuda oleh elite yang gila organsiasi dan gila jabatan. Pengusaha rumah makan padang dengan tetap mengusung identitas budaya yang jelas namun mampu mengakomodasi perubahan, tetap berdiri tegak, kokoh tanpa goyah oleh badai krismon yang mengguncangkan sendi2 ekonomi masyarakat. Dengan memodifikasi resep masakan, sembari tetap mempertahankan identitas budaya. Ya..rahasianya cuma itu mau menerima perobahan demi eksis tensi dalam persaingan ekonomi yang makin mengglobal. Bukannya megerucut kedalam malah berkembang keseantero jagad. Ini dadaku, mana dadamu !

1 komentar:

Jual Rumah said...

thanks untuk infonya...