Pariwisata dan Masyarakat

Teras utama Padang Ekspres
Sabtu 17 Februari 2007


Saya selalu memimpikan Ranah Minangkabau dikunjungi oleh orang-orang dari penjuru dunia karena keelokan alam dan kealamian budayanya. Mereka mendapati alam yang asri dan alami dikombinasikan oleh keramah tamahan penduduknya yang terbuka namun kuat menjaga keaslian budaya dan adat istiadat setempat. Mereka bebas menikmati keberadaan mereka di ranahminang tanpa ada kecemasan apalagi ketakutan dan ketidaknyamanan.

Itulah sekelumit mimpi saya mengenai daerah kita yang merupakan daerah tujuan wisata nasional ini. Kenyataannya sampai saat ini mimpi itu sulit untuk diwujudkan karena sejak dulu belum ada gebrakan yang cukup kuat merubah ke kebuntuan itu. Begitu banyak kendala dan problematika sehingga Sumbar belum menjadi pilihan favorit bagi wisatawan.

Sosialisasi Inklusif

Saya sendiri menilik dari berbagai macam aspek kelemahan mendasar dari industri pariwisata kita yang paling dominan adalah belum dilibatkannya masyarakat secara menyeluruh. Pemerintah sebagai regulator selama ini mempercayai indikator keberhasilan pariwisata adalah jumlah kunjungan wisatawan, tingkat hunian hotel berbintang, jumlah uang yang dibelanjakan dll. Pemerintah belum menempatkan tolak ukur keberhasilan dari kesejahteraan masyarakat yang bersentuhan langsung dengan wisatawan.

Hal ini juga dikuatkan oleh masih terbatasnya sosialisasi ke masyarakat tantang industri pariwisata sumbar sehingga menyebabkan: pertama; Kurangnya kesadaran masyarakat tentang potensi daerahnya serta timbulnya ekses negatif atas keberadaan pariwisata dimata sebagian masyarakat. Tanpa sosialisasi masyarakat kita sesungguhnya tidak menyadari betapa besar potensi alam kita yang apabila dioptimalkan akan mendatangkan kesejahteraan. Malah muncul pendapat dikalangan masyarakat bahwa pariwisata akan menimbulkan akibat negatif bagi budaya dan adat istiadat Minangkabau yang berlandaskan ABS_SBK.

Kedua; tidak adanya rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat terhadap dunia pariwisata khususnya dalam budaya pelayanan. Akibatnya buruknya pelayanan menjadi masalah yang tidak pernah terselesaikan. Efek dari keadaan ini bisa dilihat dari tingginya angka pelaku copet, tukang palak, WC umum yang kotor, sampah berserakan, harga yang melonjak seenaknya dll. Hal ini juga disebabkan pemerintah hanya fokus kepada pembangunan fisik berupa infrastruktur sementara melupakan pembangunan budaya masyarakat terhadap dunia pelayanan pariwisata (hospitality).

Ketiga;Belum dimilikinya pedoman yang komprehensif dalam upaya pengembangan strategi/program pembangunan pariwisata berbasis masyarakat baik dilihat dari aspek kriteria, konsep model (karakteristik daerah) maupun pedoman, mencakup: produk, market, pedoman, pelatihan SDM dan perencanaan bisnis (statement operational procedure) menyebabkan tersendatnya upaya pening-katan peran serta masyarakat di bidang pariwisata.

Pariwisata berbasis Masyarakat

Sesungguhnya jika memahami persoalan yang ada banyak hal yang bisa kita lakukan demi memajukan industri pariwisata Sumbar. Hal yang mendasar sekali adalah melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pariwisata tersebut. Dengan membentuk Community Based Tourism Development (CBT) akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat setempat sekaligus memelihara budaya, kesenian dan cara hidup masyarakat. Sehingga kekhawatiran budaya global akan meracuni budaya Minangkabau yang berlandaskan ABS-SBK bisa di netralisir.

Selain itu CBT akan melibatkan pula masyarakat dalam proses pembuatan keputusan, dan dalam perolehan bagian pendapatan terbesar secara langsung dari kehadiran para wisatawan. Sehingga dengan demikian CBT akan dapat menciptakan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan dan membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga dari peningkatan kegiatan pariwisata.

Salah satu contoh signifikansi peran masyarakat terhadap pertumbuhan industri pariwisata adalah dihidupkannya kembali kereta wisata yang melewati lembah anai. Hal ini dapat di selenggarakan karena adanya stimulant dari masyarakat Sumbar yang tergabung dalam Masyarakat Pecinta Kereta Api Sumbar (MPKAS). Dan bukannya tidak mungkin jika seluruh anak nagari dilibatkan semua potensi pariwisata Sumbar akan terkelola dengan baik dan menyumbang kesejahteraan bagi masyarakat keseluruhan

Yang perlu diperhatikan juga, saat ini telah terjadi perubahan consumers-behaviour pattern atau pola konsumsi wisatawan dunia . Mereka tidak lagi terfokus hanya ingin santai dan menikmati sun-sea and sand, saat ini pola konsumsi mulai berubah ke jenis yang meskipun tetap santai tetapi dengan selera yang lebih meningkat yakni menikmati produk atau kreasi budaya ( culture ) dan peninggalan sejarah ( heritage ) serta nature atau eko-wisata dari suatu daerah atau negara.

Sumatra Barat khususnya mampu menyediakan kreasi budaya yang unik serta mempunyai peninggalan sejarah yang tidak sedikit. Sesungguhnya culture dan heritage ini adalah nyawanya atau “roh” dari kegiatan pariwisata Indonesia dan Sumbar khususnya. Tanpa adanya budaya yang bersumber dari masyarakat maka pariwisata akan terasa hambar dan kering, dan tidak akan memiliki daya tarik untuk dikunjungi. Sepertinya kembali merumuskan daya tarik wisata Sumbar yang menempatkan masyarakat sebagai elemen terpenting adalah sesuatu yang musti dilakukan secepatnya. “West-Sumatera Naturally Asia” adalah gambaran awal keunggulan wisata Sumbar yang sepertinya akan menarik minat wisatawan seluruh dunia untuk berkunjung ke Sumbar.

1 komentar:

Dessy Eka Pratiwi said...

Sebenarnya kalau menurut saya antara Pariwisata dan Masyarakat, memiliki hubungan yang sangat erat, karena banyak wisata diIndonesia yang lokasinya saling berdekatan dengan pemukiman penduduk dan mereka jugalah yang menjaga, melestarikan Alam Obyek Wisata Indonesia