Pasrah yang Membahayakan

Seringkali kita tidak menyadari bahwa agama yang kita anut, pada dasarnya adalah sebuah “label” yang dilekatkan kepada kita sejak kita lahir. Otomatis, kita beragama A atau B adalah karena pilihan orang tua dan bukan pilihan sendiri. Mungkin hal itu wajar, ketika kita masih bayi memutuskan suatu pilihan adalah hal yang tidak mungkin. Namun, saat kita telah beranjak dewasa di mana rasionalitas jauh memainkan peranan masihkah kita musti menerima begitu saja apa yang disampaikan oleh orang tua atau pun agamawan tanpa memainkan peran akal dalam mencernanya ?

Hal ini saya utarakan mengingat kecenderungan kita beragama masih seperti itu. Kita melaksanakan sholat ketika kecil karena takut akan lecutan lidi atau takut dengan seramnya neraka sehingga kita beragama bukan karena rohani (cinta Tuhan) melainkan karena paksaan atau tuntutan sosiologis. Kondisi itu semakin parah ketika kita tumbuh dalam lingkungan yang kaku dan tidak memberikan kebebasan dalam berfikir. Ketika kita membicarakan Tuhan atau bahkan mencoba membahas agama secara kritis, kita tidak mendapatkan tempat untuk itu. Akhirnya kita terbuai dengan gemerlapnya dunia hingga lupa akan esensi ajaran agama.yaitu eksistensi Tuhan .

Kita hanya tinggal menjalankan aturan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Sehingga masyarakat yang kurang menggunakan nalarnya akan kehilangan daya kritisnya. Pada satu titik masyarakat akan sampai kepada tahap pasrah pada nasib (fatalisme) yang pada kondisi tertentu seperti hidup bermasyarakat dan bernegara sangat merugikan masyarakat itu sendiri.

Hal semacam ini tidak dimonopoli oleh masyarakat desa yang minim informasi saja. Fatalisme telah berjangkit di seluruh lapisan masyarakat. Kita selalu dihadapkan kepada indoktrinasi bahwa setiap sesuatu keburukan yang menimpa negeri ini adalah berpangkal dari Tuhan yang memberikan cobaan atau musibah. Kemiskinan, banjir, longsor, harga beras naik, BBM mahal dan lapangan kerja sulit dalam berbagai forum agama selalu dibahas dan dikategorikan sebagai cobaan Tuhan terhadap manusia.

Dalam hal ini kita musti lebih dalam mengkaji makna dan batas batas dari cobaan dan musibah itu. Namun kali ini kita tidak akan membahas itu melainkan menunjukkan betapa berbahayanya fatalisme ataupun ignorance yang melanda masyarakat kita. Karl Marx memberikan konsep penting yang menganggap agama itu adalah candu bagi masyarakat. Ia melihat bahwa agama adalah saluran pelarian bagi kaum kaum lemah yang tertindas dan tidak mampu untuk melakukan perlawanan.

Yang perlu diingat Karl Marx bukannya mengakui tidak ada Tuhan melainkan kondisi sosial religius masyarakat ketika itu larut dalam fatalisme. Dalam hal ini peran agamawan (gereja) sangat dominan mempengaruhi masyarakat hingga kondisi terburuk apapun mereka menjadikan agama sebagai pelarian.

Hal ini saya kira sudah mulai berjangkit di negara kita Indonesia. Contoh kongkritnya kelaparan jamaah Haji di Mekah yang bulat bulat kesalahan departemen agama namun digiring kepada premis bahwa semua keburukan adalah dari Tuhan. Tidak itu saja setiap bencana alam yang terjadi karena ulah tangan tangan tak bertanggung jawab juga bermuara kepada cobaan Tuhan. Saya yakin lama kelamaan korupsi pun akan dianggap sebagai cobaan dari Tuhan.

Yang menjadi korban dari kesemuanya ini tetap masyarakat. Bolehlah dengan melarikan diri ke dalam agama penderitaan akan berkurang dalam sekejap akibat kepasrahan absolut kepada Tuhan. Namun dalam jangka panjang masyarakat jugalah pihak yang paling dirugikan. Kemiskinan , kelaparan, busung lapar, bencana alam akan terus melanda tanah ini jika tidak ada kesadaran untuk mengubah nasib.

Ketika pemerintah selalu berlindung dibalik cobaan Tuhan terhadap kesalahan dan ketidak mampuannya menyejahterakan rakyat maka tidak akan ada evaluasi sehingga setiap kelalaian dan kecurangan yang terjadi lambat laun dianggap sebagai suatu kewajaran. Bahkan dengan dalih menghindari cobaan Tuhan kebebasan berfikir masyarakat bisa diberangus. Bukankah akal pikiran dianugerahkan Tuhan untuk menghargai kemanusiaan itu sendiri ? Dan jika kita dipaksa menerima bulat bulat indoktrinasi maka secara tak langsung kita telah menyepelekan kemanusiaan itu sendiri.

Sekali lagi saya yakin setiap bencana yang terjadi saat ini bukanlah sepenuhnya cobaan dari Tuhan melainkan lebih diakibatkan ulah tangan manusia manusia yang tak bertanggung jawab. Saya percaya Tuhan adalah Maha Pengasih dan Penyayang kepada umatnya. Banjir, kecelakaan, kemiskinan, kelaparan, biaya hidup yang makin mahal bukanlah azab Tuhan buat kita melainkan karena masih kurangnya usaha untuk memperbaiki kekurangan dan evaluasi diri maupun kebijakan publik. Bukankah nasib suatu kaum tidak akan akan berubah kecuali kaum itu sendiri yang berusaha merubahnya ?

0 komentar: